CakNun.com

Amerika yang Berbudi Bawa Leksana

Aditya Wijaya
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Rehan Syed on Unsplash

Tiba-tiba, saat sedang menunggu hasil pemeriksaan GeNose di Bandara International Yogyakarta, lagu Indonesia Raya menyeruak memenuhi seluruh ruangan bandara. Setiap orang berhenti dan berdiri, bersama menyanyikan lagu kebangsaan itu. Juga saya yang meskipun tidak mengerti dalam rangka apa, berdiri sekadar menunjukan penghormatan kepada khalayak. Daripada clingak-clinguk, setelah lagu selesai dikumandangkan, saya menghampiri petugas bandara dan menanyakan perihal lagu Indonesia Raya yang disetel di setiap speaker bandara. Usut punya usut, ternyata ada instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta agar setiap jam 10:00 WIB, setiap instansi di lingkup DIY harus memperdengarkan lagu kebangsaan. Untuk menumbuhkan semangat nasionalisme katanya.

Nasionalisme sah tentu diajarkan bahkan dibudayakan dalam suatu negara. Saya jadi ingat film-film produksi Amerika yang menonjolkan tanda nasionalisme dalam bentuk bendera negara. Atau lebih ekstrem lagi, produser dan sutradara film di Amerika memproduksi film Rambo (sampai 4 seri!) untuk sekadar mempertegas hegemoni Amerika sekaligus memperbaiki citra Amerika yang kalah perang saat itu di Vietnam. Rupanya bahasa nasionalisme Amerika ini diterjemahkan oleh para pengikutnya secara komprehensif dan menyeluruh. Kaffah kalau pakai bahasa Arab-nya.

Di segala lini kehidupan, Amerika mencoba masuk dengan alat bernama kapitalisme, demokratisasi, dan globalisasi. Urusannya tentu adalah untuk melakukan kontrol dunia dan membuat sebagai negara adidaya nomor satu. Meskipun balutannya adalah demokrasi, tapi toh mereka membuat praktik demokrasi dengan memaksakan demokrasi diterapkan di seluruh dunia. Mereka tidak ridha melihat “thoghut” kecil bercokol di suatu negara, kecuali memang menguntungkan bagi mereka.

Amerika adalah negara yang menganut falsafah Jawa. Berbudi bawa leksana atau sabdha pandhita ratu. Apa yang telah terucap, akan di-setia-i dalam tindakan. Kalau bilang nasionalisme, maka yang dilakukan Amerika bukan hanya seremoni untuk mengibarkan bendera atau menyanyikan The Star-Spangled Banner di acara-acara resmi instansi. Amerika nyata mempertegas nasionalismenya bahkan dengan cara intrusi budaya pop. Dekade tahun 90-an (sebagai anak kecil di masa itu) paling tidak saya merasakan stigma bahwa kalau tidak bisa menyanyikan lagu-lagu trend di Hollywood, maka akan dicap sebagai cah ndeso.

Tak hanya lewat budaya pop yang mengajarkan konsumerisme, Amerika juga membahasakan nasionalisme lewat penguasaan-penguasaan modal asing di berbagai negara. Juga Indonesia. Perusahaan mineral dan minyak yang menghasilkan banyak revenue akan dikuasai. Dan Indonesia, sejak zaman pergerakan nasional, begitu mewarisi rasa welas asihnya. Setelah Singapura yang dibangun Raffles dengan urunan dari masyarakat Yogyakarta, abad belakangan wilayah New Orleans juga tidak luput dari santunan masyarakat adat Papua.

Amerika yang sangat narsis tentu geram melihat saingan-saingannya mulai bermunculan. China yang mulai mesra dengan Indonesia dan meminjamkan banyak sekali dana utang, membangun infrastruktur, dan gotong-royong mengeruk nikel di Sulawesi menjadi warning bagi Amerika untuk mempertahankan nasionalismenya. Setelah Amerika yang kewalahan (atau bisa disebut kalah) dalam pertarungan ekonomi di Afrika, mereka tidak mau kehilangan pengaruhnya juga di wilayah pasifik.

Indonesia tampaknya terusik juga semangat nasionalismenya. Maka meskipun bersifat kedaerahan dalam lingkup propinsi, program Indonesia Raya Menggema diluncurkan Gubernur DIY. Menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap pagi. Tetapi juga sebagai masyarakat dunia, tentunya tidak salah kalau kita saling bertukar budaya dengan Amerika, bukan? Mekanismenya seperti ini. Karena Amerika telah mengambil falsafah Jawa untuk berbudi bawa leksana dan diterapkan dalam etos bernegaranya, maka kita juga bisa mengambil bagaimana cara Amerika memaknai kata nasionalisme. Tentu tak perlu sampai memikirkan bagaimana penguasaan sumber daya alam di luar negeri, cukup dengan meniru bagaimana nasionalisme itu terdengar sampai ke hampir setiap infrastruktur dan produk yang kita gunakan atau paling tidak penguasaan modal dalam pabrik-pabrik itu juga seorang yang nasionalis Indonesia.

Soalnya jadi lucu, kalau sepanjang hari kita teriak-teriak nyanyi lagu Indonesia Raya di atas infrastruktur yang utangnya baru lunas paling tidak 30 tahun. Atau bahkan ironi, seorang remaja nyanyi Indonesia Raya dengan outfit dan skincare full bikinan luar negeri. Saya kurang tahu, apakah di sekolah-sekolah dasar dan menegah, perjuangan Indonesia hanya dilirik sebagai cerita sejarah dan bukan diperas sarinya untuk menjadi etos kerja, atau pengejawantahan perjuangan Indonesia dalam bentuk kemerdekaan yang seutuhnya. Ya modalnya, ya pekerjanya, ya produksinya. Tapi ya kayaknya memang agak susah ya, kalau ternyata pengingkar perkataan dan konsepsi seorang Soekarno tentang berdikari ditikam secara frontal (bukan pelan-pelan lagi) oleh anaknya sendiri (dan pengikut setia-nya).

Tetapi sebagai sebuah ide, menyanyikan Indonesia raya di ruang publik cukup bisa diapresiasi jika premis kita berangkat dari pernyataan, “daripada anak-anak kita lebih hapal lagu-lagu BTS (grup K-Pop asal Korea Selatan)”. Tentu jangan sampai nantinya menyanyikan lagu kebangsaan malah menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat karena sebagian menganggap sikap dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya tidak sesuai, seperti kasus belakangan tentang polaritas grup (ngaku) Pancasila dan non-Pancasila, NKRI dan non-NKRI. Meskipun kasus seperti itu sudah ada sejak zaman orang membentrokkan dengan membuat faksi revolusioner dan non-revolusioner pada akhir Orde Lama.

Tampaknya selain anak-anak sekolah diajarkan kembali cara bernyanyi yang benar, ada baiknya mereka juga diajari untuk menghitung satu-satu. Mana aset negara yang bisa dikategorikan nasionalis mana yang bukan, berapa persen kooptasi modal asing dalam suatu daerah, mana modal swasta yang bernilai sosial mana yang hanya mengenyangkan perut sendiri, mana aset yang dijual pemerintah kepada swasta mana yang dikelola seutuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Jangan-jangan kemerdekaan atau bahkan kita sendiri sudah dijual ke investor asing? Dan terakhir saya usul: mbok nyanyinya itu seminggu sekali saja. Biar ada efek-efek kangennya gitu lho.

Lainnya

Topik