CakNun.com
Kebon (176 dari 241)

Allah yang Membunuh Mereka

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Progress.

Mungkin saja setiap manusia di dunia dan sepanjang sejarah pernah didhalimi, atau sekurang-kurangnya merasa pernah didhalimi, dalam kadar besar atau kecil. Tetapi saya tidak berani berspekulasi bahwa setiap manusia pernah mendhalimi.

Dulu di Menturo bersama Ibu kami Chalimah dan di Patangpuluhan di masa-masa perjuangan, pernah merasakan apa yang disiratkan oleh firman Allah:

فَلَمۡ تَقۡتُلُوهُمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمۡۚ وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡت
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ وَلِيُبۡلِيَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡهُ بَلَآءً حَسَنًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ

Maka sesungguhnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Beriman kepada Allah itu ternyata gampang-gampang susah, meskipun terkadang justru sebaliknya. Kalau tidak percaya kepada kekuasaan dan keadilan Allah, kita menjadi seperti tak punya pertahanan hidup, bahkan menjadi Kafir. Tapi kalau beriman kepada Allah, termasuk kepada kasih sayang dan keadilan-Nya, tapi ternyata kemudian kita mengalami bahwa kedhaliman yang menimpa kita seakan-akan “dibiarkan” oleh Allah, kita jadi berpikir ulang. Mungkin beriman itu ada ukurannya, ada kadarnya, tak boleh kurang tak boleh lebih. Kalau beriman berlebihan menurut ukuran kemanusiaan kita, bisa menjadi “GR” dan kemudian kecelik.

Padahal yang terjadi bukanlah soal Allah adil atau tidak adil. Melainkan pengetahuan kita sangat terbatas untuk menjadi bahan menilai Allah adil atau tidak adil. Di Menturo maupun termasuk di kasus lumpur Sidoarjo, sebagai manusia yang berpengetahuan sangat sempit, bisa menjadi bangga dan membengkak iman kita kepada Allah tatkala menjumpai kejadian yang kita nisbahkan kepada firman “maka sesungguhnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka”.

Tatkala berikutnya kita mengalami hal yang kita pikir sama, namun tindakan Allah tidak sama dengan sebelumnya, kita bisa-bisa mengalami penurunan iman. Tentu saja itu tidak perlu terjadi. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki dan memperluas spektrum logika dan detail wawasan kita terhadap apapun yang sebenarnya terjadi. Bahkan kalimat Allah “bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” bisa jadi malah menimpa kita sendiri. Dengan catatan dan dengan kesadaran bahwa kita sendiri sebagai manusia belum tentu mengetahui secara detail dan menyeluruh beserta sebab-akibat dari perbuatan-perbuatan kita di masa silam. Istilah Jawanya, bisa saja kita kuwalat oleh perbuatan kita sendiri di masa silam yang kita sendiri tidak menyadarinya atau kurang memperhatikannya berdasar ke-MahaTahu-an Allah Swt.

Hal-hal semacam itu merupakan sabana pengetahuan yang dihausi oleh anak-anak muda masyarakat Mandar. Mereka dikenal punya kecenderungan mistis, sementara masyarakat Toraja artistik, masyarakat Makassar pekerja keras, dan masyarakat Bugis profesionalis.

Itulah gerbang ilmu yang dibukakan di Mandar pada era 1980-an akhir. Meskipun demikian, silaturahmi saya dengan anak-anak Mandar bukanlah silaturahmi mistik. Keberangkatan kami adalah proses berlatih teater, musik, sastra dan kesenian lain yang diperlukan. Tetapi saling mengamati dan diamati apakah mereka rajin atau malas-malas. Kebiasaan tanggung jawab mereka terhadap tugas dan kewajibannya seberapa tinggi dan sungguh-sungguh.

Tentu saja dalam proses itu selalu diperhatikan terhadap ragam dan jenis bakat mereka, kecenderungan-kecenderungan mental mereka, atau dalam hal apa mereka rajin dan tekun serta dalam hal apa mereka malas dan ogah-ogahan. Apa saja yang menjadi sumber kegembiraan mereka. Apa saja yang mencerahkan wajah mereka. Dan apa yang membuat mereka kuncup atau layu atau bahkan mungkin semacam putus asa.

Kisah-kisah yang saling kami tuturkan tentang “kuwalat”, karomah Imam Lapeo dan cerita-cerita tentang para Wali lainnya, membuat anak-anak muda Mandar menjadi lebih langsung “belajar dan berlatih kehidupan”. Mereka tidak terpaku pada pendekatan syariat atau norma. Melainkan benih-benih di dalam jiwanya yang menjadi sumber kepatuhan terhadap syariat dan norma. Semacam sel-sel atau saripati jiwa mereka yang menumbuhkan rasionalitas hidup dan kemampuan untuk mendisiplinkannya, Saya mengamati karakter mereka, saya mempekai kepribadian mereka, saya niteni kebiasaan mental mereka. Saya mendengarkan dengan batin saya apa aspirasi hidup mereka. Termasuk hal-hal positif dan negatif apa saja yang ikut membentuk kehidupan mereka yang berasal dari keluarganya, masyarakat kampung, bahkan juga yang dikontaminasikan oleh situasi negara.

Saya belajar dan mempelajari mereka. Saya tidak datang dengan sikap sok tahu tentang kepribadian dan kehidupan mereka. Tentu banyak saya jumpai kelemahan dan kekurangan mereka dari segi moral, budaya, dan keagamaan. Tetapi saya tidak berinteraksi dengan mereka dengan membawa tuduhan-tuduhan yang mendorong saya untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang menurut saya lebih baik.

Anak-anak muda Mandar, Dipowinatan, komunitras Patangpuluhan hingga Kadipiro bukan objek dari ilmu dan pengetahuan saya. Mereka adalah manusia-manusia, dengan sebab-akibat dan latar belakang kehidupan nyang berbeda-beda.

Yang kami lakukan adalah “lita’arofu”. Saling mengenali, mempelajari, memahami dan mengapresiasi satu sama lain. Sebelum berpikir untuk mengubah atau mendidik orang menuju egoisme pandangan kita, terlebih dulu kita sempatkan proses seluang-luangnya untuk mengenali dan mempelajari sesama kita dulu. Tahap berikutnya mencari kemungkinan untuk mengajak kerjasama berbuat baik, produktif, dan kreatif. Fokus ke dharma hidup bersama-sama dulu, di tengah-tengah itu pasti secara alamiah dan kultural akan berlangsung inter-inisitaif untuk perubahan moral, kesadaran ketuhanan, kepatuhan beragama, integritas yang konstruktif dalam keluarga, kelompok, komunitas, dan masyarakat.

Kalau kita memanusiakan manusia, mengajaknya bekerja sama menyelenggarakan bebrayan yang luhur dan kretivitas hidup yang dinamis, maka di tengah itu ada jaminan Allah bahwa Ia Maha Mengetahui dan Maha Mengabarkan. Kita akan dianugerahi ilham, hidayah, informasi, tuntunan untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan kemashlahatan yang telah dan sedang kita upayakan bersama.

Ketika saya mengalami tahun-tahun proses dan keakraban dengan kaum muda Mandar, belum ada Maiyah. Tapi kelak kita semua mengerti bahwa anak-anak muda Mandar itulah benih murni prinsip Maiyah. Mungkin sebaiknya saya mengkisahkan banyak pengalaman dengan mereka di Sungai Mandar, di pantai Tinambung, di Majene hingga Mamuju, juga terutama yang menyangkut Kiai Haji Ahmad Thahir Imam Lapeo panutan kebanggaan mereka.

Lainnya

Anakku Glundang-glundung Sepuluh

Anakku Glundang-glundung Sepuluh

Sepeninggal Marja’ Maiyah KH Ahmad Muzzammil saya dan semua Jamaah Maiyah sungguh-sungguh “kelangan enggok” dalam hal-hal yang berkaitan dengan narasi Islam terutama yang dari Kitab-Kitab Kuning.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version