Allah Audiens Utama Kita
Memperingati 7 hari meninggalnya sahabat kita tercinta Mas Beben Jazz, saya ingin menuliskan hikmah terpenting yang pernah diajarkan oleh beliau kepada kita semua. Nasihat dan teladan kebaikan yang semoga menjadi shadaqah jariyah bekal beliau di akhirat.
Mas Beben seringkali mengatakan dalam berbagai kesempatan bahwa Allah adalah audiens utama beliau ketika bermusik. Ini adalah perkataan orang yang memang sudah ngelakoni, jadi bukan cuma teori. Kalimat yang baik hanya akan menggetarkan hati ketika orang yang mengungkapkannya benar-benar telah melakukannya, mengalaminya atau merasakannya.
Sebagai pemusik, tentu beliau memahami betul bagaimana pentingnya audiens ketika pemusik sedang perform atau tampil. Audience adalah fokus pikiran dan kepada siapa apa yang sedang dilakukan itu dipersembahkan. Audiens adalah sumber energi bagi para penampil. Kapan pun dan di mana pun Mas Beben bermusik, beliau melakukannya dengan totalitas. Saat tampil di festival musik besar dengan ribuan penonton, atau kafe-kafe dengan puluhan penonton, di mal dengan penonton yang hanya lalu lalang, atau bahkan saat berlatih dengan teman-teman komunitas jazz-nya, Mas Beben bermusik dengan totalitas yang sama. Kenapa bisa begitu? Karena Mas Beben mampu merasakan kehadiran Allah Swt sebagai audiens utamanya. Audiens lain adalah sekunder yang tidak begitu penting keberadaannya.
Walaupun tentu saja sangat manusiawi bahwa audiens sekunder — khalayak penonton — yang lain juga membawa pengaruh pada gradasi rasa kegembiraan dan kegairahan ketika tampil di panggung bermain musik. Mas Beben pernah mengatakan bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah ketika tampil di forum Maiyah khususnya Kenduri Cinta yang memberikan apresiasi secara tulus pada apapun yang disuguhkan Mas Beben. Dan beliau pun tahu sedang menampilkan yang terbaik di depan orang-orang yang mencintai dan dicintainya karena Allah Swt.
Gampang saja untuk melihat apakah seseorang benar-benar telah menjadikan Allah sebagai audiens utamanya. Tolok ukurnya sederhana saja, yaitu apakah tingkat kesungguhan dan intensitas bermain musiknya sama, tidak peduli berapapun jumlah orang yang menontonnya. KiaiKanjeng sama sekali tidak berubah atau menurun intensitas bermain musiknya di mana pun mereka perform. Lihatlah bagaimana Pak Joko Kamto dan Pak Nevi Budianto sangat khusyu’ nuthuk demung kapan pun dan di mana pun KiaiKanjeng pentas. Apakah di depan para pejabat tinggi, di luar negeri para bulé, atau di desa-desa lereng gunung. Atau bahkan ketika ‘hanya’ sedang berlatih. Sama saja intens-nya.
Demikian juga Guru kita Mbah Nun. Energi beliau ketika mengkomunikasikan kebenaran sama saja di tengah puluhan ribu jamaah ataupun hanya ketika berbicara dengan sekelompok orang yang kadang tidak jelas juntrungannya. Demikian juga dalam menulis. Dibaca atau tidak dibaca, Mbah Nun selalu menuliskan apapun saja yang diilhamkan kepada Beliau. Karena menulis itu adalah ungkapan rasa syukur kepada audiens utamanya yaitu Allah Swt.
Beliau-beliau panutan kita semua itu mampu melakukan itu semua tentu karena dalam kesehariannya pun selalu menghadirkan Allah sebagai audiens utama mereka. Itu adalah orang-orang yang sudah mencapai kesadaran bahwa “Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.”
Hendaknya itu juga yang kita lakukan. Satu-satunya cara adalah dengan melakoninya, bukan hanya menjadikannya wacana. Kita bisa belajar segala hal tentang rasa kopi. Tapi kita tidak akan pernah tahu persis rasanya, tanpa mengalami langsung pengalaman mencicipinya. Rasa yang berhubungan dengan indera fisik saja seperti itu. Apalagi yang batiniah seperti merasakan hadirnya Tuhan. Kita hanya bisa paham setelah mengalaminya. Apa pun fadhilah yang Allah karuniakan kepada kita hendaknya kita syukuri dengan melakoninya secara sungguh-sungguh.
Dan hidup sungguh akan menjadi sangat sederhana dan mudah jika kita mampu menghadirkan Allah Swt sebagai audiens utama kita setiap saat, dan memfokuskan apapun perbuatan kita untuk menyenangkan dan mendapatkan ridha-Nya. Syukur-syukur bisa menjadikan-Nya satu-satunya Audiens. Ketika dadamu sempit dan nafasmu sesak karena engkau disalahmengerti, sehingga disepelekan, ditertawakan, dihina, dibenci dan bahkan dimusuhi, maka ingatlah, selalu ada Allah sebaik-baik Saksi. Cukuplah itu sebagai penghiburan.
Itulah hakikat sabda Nabi. Beribadahlah seolah-olah melihat Allah, dan kalau pun tidak mampu maka Allah pasti melihatmu. Itulah ihsan, tingkatan tertinggi dalam beragama Islam. Lebih tinggi dari islam, dan bahkan iman.
Mas Beben bukan hanya berislam, tetapi beliau telah membuktikan dirinya sebagai orang beriman, yang siapa saja pernah berinteraksi dengan beliau akan bersaksi bahwa perilaku beliau hanyalah mengamankan. Tidak hanya mengamankan, tetapi juga menggembirakan. Saya berprasangka baik beliau juga telah mencapai tingkatan tertinggi yaitu ihsan.
Mbah Nun mengatakan, ”Ya Beben Salamullah ‘Alaika.” Saya makmum, “Salamun ‘Alaihi…”