CakNun.com
Belajar Kepada Pasien #5

Aldi dan Keluarganya yang Tangguh (1)

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Pribadi.

Di antara para pasien yang akan saya tulis dalam seri Belajar Kepada Pasien, kok ternyata nama Aldi paling dominan muncul di benak saya.

Saya tidak tahu kenapa saya sangat terkenang dengan ‘guru’ saya satu ini. Apakah karena dia pasien saya yang paling kecil (saat itu). Aldi berumur hampir 3,5 tahun. Ataukah dia pasien saya yang berasal jauh dari RS ini.

Aldi berasal dari sebuah daerah tandus, di sekitar hutan jati Randublatung Blora. Padahal RS yang paling dekat juga ada di sekitar rumahnya yakni RS besar di Semarang atau di Solo. Atau apakah karena orang tuanya yang selalu memberi kabar selama ini, bahwa Aldi sudah besar, Aldi sudah hapal beberapa surat pendek. Aldi naik kelas, Aldi begini, begini, lengkap dengan foto yang diberikan via WA kepada saya. Atau karena hal lain yang saya tidak tahu? Entah!

Maka saya kirim WA ke bapaknya Aldi, pak Dodok. “Assalaamu’alaikum, Aldi pripun kabare, Pak?,” tulis saya.

Tak lama berselang, dijawab oleh Pak Dodok, “Allhmdulillah, sehat dokter, (dan sekaligus saya mengabarkan, bahwa) ibunya Aldi 3.minggu lalu meninggal.”

Pak Dodok berkabar bahwa dia baru saja ditinggal untuk selama-lamannya oleh ibunya Aldi. Terkejut saya membacanya. Terdiam sejenak. Langsung terbayang wajah ibunya Aldi. Seorang ibu yang sangat santun, polos, selalu tampil dengan muka yang tak pernah sedih, selalu senyum dengan tahi lalat di wajahnya.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. InsyaAllah Ibu khusnul khotimah, Pak. Saya pagi ini kok kepikiran Aldi, ” balas saya.

“Terima kasih, Dokter,” balasnya, “Saya juga baru saja selesai isoman. Alhamdulillah saya sekarang sudah sehat,” sambil dia mengirimkan foto beliau pas berjemur.

“Saya dan ibunya Aldi sakitnya bareng. Namun 5 hari dirawat ibunya Aldi tak tertolong karena serangan napas berat, ngos-ngosan. Oksigen pun tak mampu menolongnya,” imbuhnya.

Setelah berbasa-basi lewat chat di WA, kemudian saya bertanya tentang keadaan Aldi saat ini. Kemudian saya mengutarakan niat saya untuk mengisahkan tentang Aldi ini kepada sesama untuk bisa kita ambil pelajaran dan manfaatnya.

‘Saya atau Aldi yang cerita, Pak?,”tanya pak Dodok.

“Ya bapak lah yang cerita, tidak harus sekarang kok Pak, nanti kalau sudah tenang dan longgar pikirannya,” balas saya.

Dalam voice note yang dikirim ke saya, Pak Dodok berkisah bagaimana Aldi kecil saat lahir yang tidak langsung ‘cenger’ (tidak langsung menangis kuat), tidak seperti kakaknya dulu yang lahir langsung menangis kuat. Pak Dodok mulai sedikit khawatir waktu itu.

Pada umur 3,5 tahun Aldi dibawa menengok saudaranya yang sakit di Cepu (sebuah kota tak jauh dari Blora). Saya ingat betul waktu zaman SD diberi quiz peta buta di daerah itu, maka dengan hapal saya bisa menyebutkan kota-kota di sekitar daerah itu. Blora, Cepu, Randublatung, Rembang, terus ke arah barat ada Pati, Jepara, Kudus, Demak, dan Semarang. Anak sekarang mungkin akan lebih banyak buta peta, karena gadget. Ada kawan saya yang tak bisa jalan kalau tanpa google map. Dari RS Sardjito mau pulang ke Ambarketawang, nyasar ke Timoho dan berputar putar di daerah itu.

Kembali ke Aldi. Ketika menengok saudara itulah ketahuan kalau di tangan dan badannya ada memar memar seperti bekas dipukul. Telapak tangannya pucat dan kelihatan lemas. Maka mumpung di Cepu, diperiksakanlah Aldi di sana. Oleh sang dokter langsung disuruh mondok, karena melihat kegawatannya. Maka mondoklah si Aldi kecil ini selama 2 minggu di sebuah Rumah Sakit di kota Cepu.

Ia mendapatkan transfusi darah, obat-obatan dan kemudian pulang dalam keadaan lebih segar dan lebih gemuk. Kira-kira sebulan di rumah, kondisi Aldi drop lagi. Dia kembali pucat, lemas, dan tidak ada semangat kalau bicara. Aldi kemudian dibawa ke dokter spesialis anak di Blora, dekat dengan tempat tinggalnya. Saya tahu beliau dokter anak ini adalah senior saya, satu pabrik pendidikan dokter anak. Aldi mondok lagi seminggu. Transfusi lagi.

Ketika akan pulang ke rumah, Pak Dodok menyempatkan berkonsultasi dengan dokter yang merawatnya.

“Dok, kalau memang di sini (di Blora) tidak ada alatanya untuk mengupayakan anak saya, maka saya manut saja kalau mau dirujuk kemana,“ pinta Pak Dodok.

“Mohon segera ya Dok, jangan sampai terlambat,” lanjut Pak Dodok.

Akhirnya sang dokter berbicara.

“Mau dirujuk ke Semarang atau ke Jogja?,” tanya Pak Dokter.

“Lha terserah dokter,” sambung Pak Dodok.

Pak dokter diam sesaat terus bilang, “Kalau di Jogja, nanti yang menangani guru saya, saya akan bawakan surat rujukan, nanti ketemu dengan Pak ini… di sini.”

Berangkatlah Pak Dodok membawa Aldi kecil e Jogja siang hari itu. Berangkat ke jogja dengan modal nekat.

“Saya berangkat ke Jogja nggak punya sangu… (terdiam sesaat), nggak punya apa-apa”, Pak Dodok menceritakan sambil terbata, seperti ada yang mencekat di tenggorokannya. Ada jeda dari suara terbata di voice note yang dikirimkan Pak Dodok kepada saya dalam rangka menceritakan kondisi waktu itu. “Saya diberi sangu oleh kawan saya yang (anggota) DPR itu, dan mobil pun yang dipake untuk mengangkut ke Jogja diberi oleh kawan saya yang (anggota) DPR itu,” lanjut Pak Dodok.

Saya membayangkan bagaimana perjalanan dari Blora ke Yogya. Saya sangat bisa menghayati bagaimana lika-likunya perjalanan, bagaimana rusaknya beberapa segmen jalan di sekitar Purwodadi. Dan saya juga membayangkan lamanya perjalanan itu. Itu saja sudah disingkat (ambil short cut) Jogja – Blora. Kalau melewati jalan utama Jogja – Semarang tentu akan lebih makan waktu lagi. Kala itu saya melakukan perjalanan dengan mobil dinas Puskesmas saya, dan diantar oleh Gus Banar Sufa’at. Dalam rangka njagong manten-nya IIn, dokter asli Blora, teman saya waktu ko ass (dan sekarang sudah bergelar profesor) dan Rudi.

“Saya itu sudah nggak punya apa-apa. Saya modal nekat. Oleh kepala saya di Perhutani, saya disangoni, ibunya Aldi dipanggil, dikasih Madu, dan diberi sangu, bener saya sudah tak punya apa apa.”

Sampailah di Jogja sekitar jam 5 sore.

Masya Allah, saya tak bisa membayangkan. Bagaimana hebatnya orang tua ini dalam mengupayakan kesembuhan anaknya yang masih kecil ini. Allah telah memilih orang ini untuk dijadikan contoh kepada generasi muda berikutnya. Allah tidak akan memberi beban kepada hamba-Nya kalau dinilai hamba-Nya tersebut tak akan mampu memikulnya.

Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha.

Allah telah memilih Aldi dan orangtuanya untuk menjadi guru saya sesungguhnya.

Lainnya

Umat Penengah

Umat Penengah

Demikianlah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat penengah agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143)

Umat Islam telah diberi penghargaan oleh Allah dengan sebutan ummatan wasathan (umat penengah), dan di ayat lain (Ali-Imran: 110) khaira ummatin (umat terbaik).

Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA
A. Fuad Effendy
Exit mobile version