Aku Bukan Siapa-siapa Bagi Indonesia
Masih banyak kisah-kisah seperti yang tertulis di nomor-nomor sebelum ini, tetapi saya dicegat oleh pertanyaan dari dalam diri saya sendiri: Untuk apa itu semua?
Kejadian dan peristiwa-peristiwa dari berbagai tempat itu, apa sebenarnya maksudnya? Pamrih apa yang dikandung di balik penulisannya? Mau memamerkan keberanian? Kehebatan? Jasa sosial? Kepahlawanan? Atau apa?
Andaikan ya, dan memang benar-benar terjadi demikian, apa hebatnya? Apa perlunya? Apa relevansi dan signifikansinya untuk kehidupan di zaman sekarang ini? Apakah itu semacam track-record yang membuat pelakunya lantas memperoleh sesuatu atau menjadi ‘seseorang’ bagi bangsa dan negaranya.
Siapa yang butuh? Apakah kau membutuhkan cermin dari kejadian-kejadian dalam sejarah? Apakah kebenaran berguna bagimu? Apakah fakta zaman menjadi pedoman langkah-langkahmu?
Lihatlah sampai hari ini saya bukan siapa-siapa bagi Indonesia, apalagi dunia. Sampai hari ini saya tetap hanya rakyat kecil. Tidak punya gelar. Tidak punya profesi yang jelas. Tidak punya jabatan. Tidak menggenggam kekuasaan dan kekayaan.
Saya berpendapat atau berkarya apapun, tidak pernah menjadi sesuatu yang penting bagi zamannya. Tidak pernah menjadi sesuatu yang mengubah apapun di sekitarnya.
Kalau umpamanya orang menggelari saya “kadrun” atau kadal gurun, mungkin ada benarnya. Saya hanya seekor kadal, tepatnya “katan” alias kadal hutan. Andaikan orang lain menyebut saya “cebong”, lebih mendekati ketepatan lagi.
Yang paling memalukan sejak seabad silam bagi manusia Indonesia adalah “katak dalam tempurung”. Sedangkan saya “percil”pun belum. Saya baru “kecebong”. Hidupnya kluget-kluget di parit-parit kotor.
Dalam khasanah pengetahuan Islam ada kata “ahmaq”, yang artinya kurang lebih ya “katak dalam tempurung” itu. Tapi dalam idiomatik mutakhir para pelaku Maiyah ada istilah “bodoh saja belum”. Jadi ada fenomena “ahmaq saja belum”.
Dan saya dengan penuh rasa minder dan hati menderita menemukan diri saya ini “katak dalam tempurung” saja belum. Bahkan percil saja pun belum. Saya lebih kecil dari percil. Lebih kerdil. Lebih remeh, rendah, dan hina.
Di tulisan “Kebon” hari-hari kemarin tampak jelas bahwa karena hakikat saya adalah cebong, maka dengan tulisan-tulisan itu saya berupaya untuk mempercil-percilkan diri, mengkodok-kodokkan diri, dan tidak berhasil. Karena memang siapa yang percaya pada apa yang saya kisahkan itu?
Apalagi kalau saya tuliskan hal-hal khusus, spesifik, dan istimewa tentang Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan tokoh-tokoh lain yang hanya saya sendiri yang mengetahuinya.
Pasti kembali pada istilah saya “diguyu tengu”, mencoba membesar-besarkan kepala saya sendiri, sehingga menjadi bahan tertawaan di dunia nyata maupun di dunia maya, di bumi maupun di langit, di dunia maupun akhirat.
Apalagi kalau sampai pada level di mana dengan perasaan berdosa saya berterus terang semula sebenarnya judul tulisan ini adalah “Pemerintahan Ahmaq”, kemudian bergeser menjadi “Para Ahmaq Memimpin Bangsa dan Menguasai Negara” serta beberapa ide lain yang sesubstansi dan senada. Padahal faktanya saya ini ahmaq saja belum.
Dan setelah berputar-putar ke seantero jagat raya, melintasi banyak galaksi probabilitas dan tata-tata surya simulasi, lantas akhirnya saya mengubahnya dengan mantap menjadi berjudul “Aku Seorang Ahmaq”.
Semua akan merespons: “Siapa yang tidak tahu?”, atau “Tidak perlu pengakuan untuk hal yang sudah sangat jelas”. Orang Menturo nambahi: “masi Wak Jan yo eruh”.
Karena saya terpapar penyakit ahmaq, maka Anda semua kalau berkenan hendaklah menolong saya.
Asal-usul istilah atau penamaan ahmaq ini dari Yesus Kristus alias Nabi Isa As. Entah mana yang benar, apakah Yesus adalah Isa, ataukah Yesus adalah manusia yang dirasuki roh Yesus, atau bagaimana, tetapi beliau pernah bersabda:
“Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan izin Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan izin Allah; juga aku obati orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan izin Allah; kemudian aku obati orang ahmaq namun aku tidak mampu menyembuhkannya!”
Maka beliau pun ditanya, “Wahai ruh Allah, siapa orang Ahmaq itu?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat beban (cacat) pada dan baginya. Yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya”.
Saya yakin sayalah itu. Saya yakin saya selama ini hidup dengan karakter dan perilaku yang seperti itu. Bagi siapa saja yang mengenal saya puluhan tahun, atau beberapa bulan, atau beberapa minggu, bahkan beberapa hari saja, akan mudah menemukan kesimpulan bahwa saya tergolong jenis ahmaq itu.
Saat ini saya maunya berteriak memekik-mekik minta tolong kepada Anda semua. Tetapi Allah sudah pasang palang pintu:
لَا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ
إِنَّكُم مِّنَّا لَا تُنصَرُونَ
“Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami.”
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia menjadi yang terbaik di antara makhluk-makhluk yang ditegakkan. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”
Anda pasti sejak SD belajar tata Bahasa Indonesia. Perhatikan dengan cermat kalimat Allah itu. Pertanyaan saya: siapakah subjek atau pelaku yang membuat manusia menjadi terbaik kemudian dijadikan terendah dan terhina?
Alhasil, kalau saya Ahmaq, bukanlah saya terdakwanya. Bahkan awal mulanya dulu saya tidak ada. Kemudian Maha Subjek itu bikin saya ada.