CakNun.com

Yai Tohar Pendidik Sejati Yang Sangat Telaten

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit

Saya selalu ingat salah satu wasiat Kyai saya di Gontor dulu yaitu agar jangan sampai para santrinya meninggalkan aktivitas mengajar. Memang, kepada santri Gontor selalu ditanamkan bahwa bagi para Kyai Pimpinan Pondok, prestasi yang membanggakan adalah ketika melihat alumninya menjadi pengajar. Bukan berarti menjadi selain pengajar adalah sebuah kegagalan di mata Kyai Gontor, bukan itu. Tetapi, ruh mengajar jangan sampai hilang. Dan tentu saja, mengajar itu tidak terbatas pada aktivitas di ruang kelas, bahwa mengajar bisa di mana saja, dengan media apapun saja.

Hampir semua kita hapal salah satu pesan Rasulullah SAW; Uthlubul-l-‘ilma mina-l-mahdi ila-l-lahdi. Carilah ilmu dari buaian ibu sampai liang kubur. Bahwa belajar itu sepanjang hayat. Dan pada proses belajar kita dalam kehidupan, kita kemudian memahami bahwa proses belajar tidak hanya ketika kita menjadi seorang murid. Seorang Guru yang mengajari murid-muridnya sejatinya juga tetap menjalani proses belajar. Mungkin itu salah satu alasan yang mendasari kenapa Kyai di Gontor lebih mengutamakan aktivitas mengajar untuk para alumninya.

Banyak dari kita menyebut Maiyah sebagai Universitas Kehidupan. Kita belajar banyak hal di Maiyah, bahkan multidimensi ilmu. Tidak berlebihan jika sebagian dari kita meyakini bahwa Maiyah adalah sebuah universitas. Tentu saja tidak bisa disamakan dengan Universitas mainstream pada umumnya. Di Maiyah, kita bebas mengambil ilmu yang mana saja yang menurut kita layak dijadikan bekal hidup. Tidak ada paksaan untuk sepakat sepenuhnya di Maiyah. Di sinilah menurut saya kenapa banyak orang merasa betah di Maiyahan, duduk melingkar hingga larut malam, bahkan menjelang subuh tanpa merasa ngantuk. Karena atmosfer yang dibangun adalah Sinau Bareng.

Pandemi Covid-19 ini mengubah kebiasaan kita sebelumnya. Ada banyak hal yang sebelumnya wajar-wajar saja menjadi sesuatu hal yang dihindari untuk dilakukan. Kita tidak bisa Maiyahan seperti biasanya, berkumpul di sebuah area terbuka, duduk melingkar, sampai menjelang subuh. Kita memasuki bulan ke-4 tanpa Maiyahan secara offline. Mocopat Syafaat sempat melakukan live streaming, yang juga dilakukan oleh Bangbang Wetan, Juguran Syafaat dan beberapa Simpul Maiyah lainnya. Kreativitas dalam merespons situasi memang diperlukan pada saat-saat seperti sekarang ini.

Salah satu inspirator kita di Maiyah ialah Pak Toto Rahardjo, atau kita sering menyebut Yai Tohar. Beliau patut kita contoh ketelatenannya pada masa Pandemi Covid-19 ini, terutama dalam urusan pendidikan. Sepak terjang Yai Tohar dalam dunia pergerakan tidak terbantahkan. Jam terbangnya dalam memperjuangkan hak-hak wong cilik sudah tidak diragukan lagi.

Bersama Mbah Nun, Yai Tohar memperjuangkan nasib warga Kedungombo yang dipaksa angkat kaki oleh penguasa Orde Baru demi sebuah proyek infrastruktur bendungan. Di dunia pergerakan dan aktivis mahasiswa, nama Toto Rahardjo adalah legenda. Tahun lalu, ketika seluruh elemen masyarakat turun ke jalan di Gejayan, Yai Tohar ikut dalam agenda tersebut. Melihat generasi muda masih semangat dalam menyuarakan kebenaran adalah suplemen tersendiri bagi Yai Tohar.

Di Maiyah, Yai Tohar sangat bersemangat ketika diminta berbagi ilmu. Baik dalam Maiyahan rutin di Simpul-Simpul Maiyah, maupun ketika di luar Maiyahan rutin, Yai Tohar tidak pernah menolak jika dimintai waktu untuk berbagi pengalaman. Kalau kita pernah mendengar istilah Flower Generation, Yai Tohar termasuk salah satu orang yang mengalami sendiri masa-masa itu, dan menurut saya Yai Tohar adalah salah satu dari Flower Generation itu. Kesetiaan Yai Tohar untuk terus menemani Mbah Nun hingga hari ini adalah bukti betapa murninya perjuangan Yai Tohar selama ini.

Dunia pendidikan adalah salah satu concern Yai Tohar. Beliau memiliki catatan khusus mengenai pendidikan di Indonesia. Bukan Yai Tohar namanya jika tidak memberikan perlawanan terhadap sebuah sistem yang menurutnya tidak baik. Namun, perlawanan yang dilakukan oleh Yai Tohar bukan sekadar omong kosong belaka. Bersama sang Istri, Bu Wahya, di bulan Juni tahun 2000 Yai Tohar mendirikan SALAM (Sanggar Anak Alam), sebuah alternatif pendidikan bagi anak-anak sejak usia dini. Yai Tohar melihat pendidikan di dunia saat ini tak ubahnya mesin pencetak pekerja, ajang kompetisi dan komodifikasi dagang, yang pada akhirnya justru meninggalkan jati dirinya sebagai pembentuk karakter potensial di masyarakat.

Yai Tohar adalah sosok anti-kemapanan yang patut kita teladani. SALAM benar-benar menjadi arena pembuktian Yai Tohar bersama Bu Wahya bahwa pendidikan di Indonesia tidak melulu tentang persaingan nilai dan rangking di kelas pada setiap akhir tahun ajaran. Menggali potensi dan bakat anak-anak tidak hanya melalui kurikulum yang disusun oleh Pemerintah. Yai Tohar pun menyebut SALAM sebagai Sekolah Biasa Saja, sebutan yang kemudian menjadi judul buku yang ditulisnya pada 2014. Baginya, sekolah adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang berilmu, bebas sesuai dengan yang diinginkan oleh anak itu sendiri tanpa ada tekanan dari siapapun.

Dalam kaitannya sebagai seorang pengajar, Yai Tohar adalah juga sosok yang sangat telaten. Pandemi Covid-19 ini tidak menghentikan kreativitasnya untuk berbagi ilmu. Sejak akhir Maret 2020 lalu, Yai Tohar hampir setiap hari melakukan Live Instagram bersama beberapa sahabatnya untuk berbagi ilmu. Mulai dari isu ekonomi, ketahanan pangan, perikanan, daur ulang sampah plastik, industri makanan, kesenian, pendidikan, hingga urusan sosial. Isu ketahanan pangan dan pendidikan merupakan tema yang beberapa kali menjadi edisi pembicaraan Yai Tohar di Live Instagram. Video-video tersebut masih bisa disaksikan di akun Instagram @toto_rahardjo. Beberapa diantaranya sudah diupload pula di channel Youtube Toto Rahardjo. Bahkan ketika tulisan ini saya tulis, Yai Tohar pun sedang sibuk Live Instagram.

Dengan jumlah followers yang cukup banyak, Yai Tohar memanfaatkan akun Instagram miliknya sebagai media pembelajaran online. Tidak hanya Live Instagram, Yai Tohar juga beberapa kali hadir sebagai narasumber dalam forum online yang diselenggarakan oleh beberapa komunitas, salah satunya adalah Kongres Kebudayaan Desa beberapa hari yang lalu. Begitu juga ketika beberapa Simpul Maiyah menyelenggarakan Live Streaming, Yai Tohar pun aktif terlibat.

Tidak terkecuali dengan Reboan on the Sky yang diselenggarakan teman-teman Kenduri Cinta. Sejak edisi pertama hingga edisi ke sepuluh, Yai Tohar selalu ikut terlibat. Dari sepuluh edisi, Yai Tohar menjadi narasumber di edisi ketiga. Ketika menjadi peserta, Yai Tohar pun sangat tertib, menyimak narasumber dan peserta lain yang sedang berbicara, dengan sabar menunggu kesempatan untuk berbicara, bahkan pernah dalam satu edisi Yai Tohar baru mendapat kesempatan di sesi akhir, dan waktu saat itu menunjukkan pukul 1 dinihari.

Tidak ada kata bosan bagi Yai Tohar dalam menemani generasi muda, semangatnya terus membara dalam mendidik dan mengajar. Yai Tohar memang seorang pendidik sejati dengan jiwa kepengasuhan yang sangat teruji.

Fahmi Agustian
Koordinator Simpul Maiyah dan Anggota Redaksi caknun.com. Penulis bisa dihubungi di @FahmiAgustian.
Bagikan:

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa