Wong Tuo
Mungkin di antara kita pernah mengalami suatu keanehan rasa, mengapa sebuah kata itu harus begitu bunyi dan suku katanya. Misal, suatu ketika muncul pertanyaan di benak saya, mengapa ada angka yang namanya “Satu” atau “Tujuh”. Atau mengapa kata itu berbunyi “Tugu”, “Ratu”, “Batu”, “Pintu”, “Tumpeng”. Juga mengapa ada kata yang dinamakan “Tua”.
Asal-muasal kata “Tua” ini bahkan membuat saya curiga. Barangkali itu menjadi alasan KH. Muslim Rifai Imampuro atau akrab dipanggil Mbah Lim Klaten, yang dikenal luas menjadi gurunya Gus Dur, harus mengintruksikan santri-santrinya dengan keras pada tahun 90-an agar menyapa Cak Nun dengan panggilan Mbah Nun.
Padahal, usia Cak Nun ketika itu masih 40-an dan belum punya cucu, sehingga rasanya tidak pas dipanggil Mbah.
Kecurigaan itu membuat saya menarik pendulum waktu jauh ke belakang. Untuk mengecek kembali yang sering diingatkan Cak Nun bahwa bangsa kita sudah sangat tua.
Bumi Nusantara sudah dihuni berbagai makhluk termasuk manusia, sudah sejak ratusan ribu tahun yang lalu.
Dari masa yang relatif agak dekat, yaitu sebelum datangnya pemahaman keagamaan Hindu, Budha, sampai Islam dan Kristen, leluhur kita dalam interaksinya dengan sunnatullah atau hukum alam, berkesimpulan adanya sesuatu yang sangat berkuasa atas dirinya dan alam semesta.
Karena banyak hal ternyata, baik di dalam maupun di luar dirinya, yang tidak bisa dikendalikan manusia. Maka pada masa itu, leluhur kita sudah beragama.
Sesuatu yang super berkuasa itu mereka sebut Sang Hyang Taya. Dalam bahasa Jawa Kuno, “Taya” berarti hampa, suwung, awang-uwung. Karena, Dia yang berkuasa itu tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tidak bisa didengar telinga, tidak bisa diraba tangan, tidak bisa dibayang-bayangkan, tidak bisa dipikir, tidak bisa dibanding-bandingkan dengan sesuatu.
Dia tidak berawal, tidak berakhir, tidak dilahirkan. Tidak satu pun makhluk yang bisa mengenal keberadaan-Nya yang sejati. Tan kena kinaya ngapa. Laisa kamitslihi syai`un.
Karena yakin kepada Sang Hyang Taya, maka agama leluhur kita ini sering disebut Kapitayan.
Nenek moyang kita, mengenal Dia Yang Maha Hampa, melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaan-Nya di alam ini, sebagai sumber segala sumber kehidupan yang ber-tajalli, mempribadi dalam nama dan sifat, sebagai tanda pengenal keberadaan diri-Nya. Manifestasi-Nya itu dikenal dengan “Tu” atau “To”.
“Tu” adalah tanda pengenal-Nya yang Tunggal. Tapi, meskipun tunggal, Ia dikenal punya dua sifat yang berbeda.
Pertama, adalah sifat Tu yang baik, yaitu mendatangkan kemakmuran, kebaikan, kemuliaan, dan keselamatan. Tu dengan sifat itulah yang kemudian dikenal sebagai “Tuhan”. Kedua, sifat Tu yang buruk, yaitu mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, dan kebinasaan. Sifat ini lalu dikenal dengan “Hantu”.
Manusia bisa menuju Yang Maha Tunggal lewat dua manifestasi sifat ini. Bisa lewat Tuhan, maupun Hantu.
Maka, hampir semua simbol yang berhubungan dengan mistik spiritual Jawa, banyak yang mengandung suku kata Tu. Seperti Tumpeng, Tugu, Tombak, Tumbal, Tunggul, dll.
Mereka yang punya software tingkat tinggi seperti para sufi, bisa langsung menuju Dzat, yaitu Taya. Di sinilah karakter Kapitayan yang sangat monoteis. Sedangkan yang kemampuan spiritualnya ndek-ndekan, yang pemahamannya baru kuat sampai kepada Sifat, perlu lewat banyak media perantara. Inilah karakter Kapitayan yang politeis.
Sehingga, tidak mengherankan bila manusia Nusantara sangat adaptif terhadap berbagai keyakinan: Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Islam.
Mbah-mbah kita yang telah dilimpahi kekuatan dan kekuasaan oleh Sang Hyang Taya, akan memiliki kekuatan atau sulthon yang terpancar dalam dirinya.
Jika bersifat memberkati, melindungi, mengayomi, dan menyelamatkan, maka kekuatan itu disebut “Tuah”. Tapi bila bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan bencana, dan membinasakan, kekuatan itu disebut “Tulah”. Orang-orang yang sudah memiliki Tuah dan Tulah, berhak menjadi pemimpin bagi manusia yang lain.
Pemimpin yang diberikan amanat kekuasaan politik dengan bekal Tuah, disebut “Ratu”. Atau pemimpin manusia yang disepuhkan, akan dipandang sebagai orang “Tua”. Ketika mereka yang telah mendapat Tuah ini menyampaikan Titah, akan dinamakan “Pidato”.
Dan sudah seyogianya manusia yang memimpin, harus sudah mencapai level spiritual tinggi, sehingga mendapatkan bekal Tuah. Ini karena, “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan SulThon (dari Allah).” (QS. Ar-Rahman: 33).
Nah, apakah Mbah Lim yang di mana-mana sering diakui sebagai “Wong Tuo” oleh Gus Dur, telah diberi hidayah Allah dan melihat Cak Nun adalah “Wong Tuo”, sehingga harus dipanggil Mbah Nun dengan alasan-alasan tadi? Itu monggo teman-teman tanyakan langsung kepada Mbah Lim. Hehe.[]
Chicago, 31 Agustus 2020