CakNun.com

Wirid dan Shalawat Sebagai Imunitas Diri

Maneges Qudroh Edisi 3 Mei 2020
Taufan Andhita Satyadarma
Waktu baca ± 4 menit

Malam minggu pertama awal bulan insyaAllah akan selalu ada rutinan. Sebuah kewajiban diri yang dilaksanakan dengan kegembiraan, berharap dapat istiqomah atas amanah Maiyah pada sebuah “rumah” bernama Maneges Qudroh. Acara rutin sebulan sekali ini menjadi ruang untuk saling bersilaturahmi antara penghuni rumah dan siapapun saja, sekaligus untuk saling sinau bareng satu sama lain.

Dalam kesempatan rutin ke-111 ini, penggiat mengangkat tema “Dhepe-Dhepe” atau merayu yang dikhususkan kepada Allah beserta Rasulullah melalui wirid dan sholawat bersama. Tema ini pun sebenarnya berangkat atas respons simpul terhadap Coronavirus yang sedang menjadi wabah dunia.

Selama ini, sebagian para sedulur Maiyah Magelang tetap berkumpul dalam jumlah kecil dan terbatas setiap minggunya dalam Selasan. Melakukan wirid dan sholawat dengan harapan sanggup memberikan imunitas khusus terhadap diri sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.

Kami meyakini Coronavirus bukanlah sesuatu yang harus dilawan. Karena mau bagaimanapun juga keadaan yang sudah terjadi tak mungkin bisa diantisipasi. Oleh karena itu, pandemi ini tidak lain adalah sebuah kelembutan rahmat yang hanya bisa kami balas dengan dhepe-dhepe atau merayu kepada Sang Maha Pemberi Rahmat.

Jikalau keadaaan ini merupakan sebuah ujian ataupun hukuman, kami pun tak mengingkari. Akan tetapi, kami percaya bahwa segala masalah yang datang selalu datang bersama kemudahan. Bisa jadi, pandemi ini memang didatangkan untuk memuliakan bagi mereka yang telah menahan diri dengan kesabaran.

Malam ini terasa hangat terlebih dalam nuansa bulan Ramadhan yang penuh keberkahan. Meskipun keadaan di lingkungan Magelang sendiri sedang gelisah dengan maraknya pencurian. Warga dari tiap Dusun telah siaga dengan senjata-senjatanya untuk mencoba menangkap si biang kegelisahan. Ini menjadi pemandangan malam yang meresahkan akhir-akhir ini.

Situasi itu pun berimbas pada patroli petugas keamanan yang lebih ditingkatkan. Keamanan memang seharusnya lebih diutamakan tidak untuk diri sendiri saja tetapi juga untuk lingkungan di sekitarnya.

Antisipasi dan Solusi Bergantung Kepada Keberangkatan Nilai Subjektif

Kembali ke rutinan, acara yang seharusnya dimulai pukul 21.00 pun mundur dari jadwal semestinya dikarenakan kendala timing Ramadhan dengan kesibukan ba’da isya’ oleh masing-masing Penggiat. Beberapa yang sudah berkumpul pun menunggu dengan saling berbagi informasi mengenai kondisi lingkungannya masing-masing.

Keadaan telah bergeser, semula orang gelisah mencari masker dan hand-sanitizer, sekarang orang-orang gelisah mencari maling. Gagap dan latah dalam menerima informasi yang masuk masih menjadi kendala oleh masyarakat dari beberapa wilayah. Padahal, dengan kondisi banyak yang di rumah saja dan lockdown kampung-kampung, seharusnya tingkat keamanan sudah meningkat. Namun, mengapa untuk mengantisipasi maling pun mesti pamer alat pemukul bahkan senjata tajam? Terlebih banyak di antara mereka adalah para pemuda.

Sebelum acara wirid dan sholawat dimulai, beberapa sedulur yang sudah hadir mencoba untuk memaknai peristiwa tersebut. Mengapa kita mudah terbawa arus informasi? Dengan respons yang justru terkesan lebay. Mereka yang “kaya” tetap stay di rumah, sedangkan yang melakukan sweeping apakah pasti mereka peduli dengan keadaan lingkungannya? Atau hanya ingin ikut kehebohan untuk memukuli si maling jika akhirnya tertangkap? Meski sampai sekarang masih nihil. Respons dari petugas keamanan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keamanan pun masih terlihat lenggang di sepanjang jalanan. Kecuali di pos-pos ketupat yang sudah mulai terbangun menjelang hari raya Idul Fitri.

Terkait ketahanan pangan di wilayah Magelang khususnya tak luput dari pembahasan. Orang yang lapar dan tidak memiliki makanan biasanya ketika lapar, yang dilakukan pertama adalah meminta bantuan kepada keluarga. Akan tetapi, jika ada inisiasi untuk bercocok tanam mumpung masih ada modal tentu lebih bagus. Yang menjadi pertanyaan bagi yang berdiskusi, “Apakah sanggup keistiqomahan bercocok tanam itu bertahan? Berapa lama?”

Khusus di daerah Magelang dengan kondisi geografis dikelilingi oleh lima gunung, tentu kegiatan bercocok tanam sudah menjadi kebiasaan dan pemandangan sehari-hari serta mudah ditemukan. Kondisi pasar-pasar tradisional juga masih ramai oleh hasil-hasil bumi yang sudah di drop sejak tengah malam. Permasalahan di lingkungan kami yang perlu diantisipasi adalah kemampuan membeli.

Namun, salah satu kawan mengatakan bahwa untuk urusan makan, asal tidak terlalu banyak memilih juga pasti cukup. Yang menjadi masalah adalah menuruti keinginan selera “makan apa”. Namun, pernyataan itu kemudian disanggah, itu kemungkinan bisa berlaku pada diri sendiri ataupun semua yang hadir disini. Tapi, apakah mereka yang berkeluarga atau yang bergantung pada selera akan mampu bertahan? Hal itu berlanjut sampai, bagaimana dengan keadaan keluarga besar? Apakah di keluarga besar tetap tidak ada yang sanggup memberi pertolongan? Atau jangan-jangan ada masalah apa dengan keluarga besar?

Tentu, diskusi menjadi semakin rumit dan berkepanjangan jika mesti ditelusuri berbagai faktor kendala hingga menemukan solusi yang tepat. Karena, setiap minggu di “Selasan” topik Corona selalu menjadi headline diskusi. Tentu saja, antisipasi dan solusi akan berlaku bagi mereka yang membawa nilai-nilai keberangkatan yang sama dalam memaknai situasi dan kondisi.

Selama tujuh hari, semua pasti memiliki langkah dan solusi setidaknya bagi diri sendiri ataupun dengan peran tanggung jawab di lingkungan sosial yang diamanatkan. Lalu, terselip di antaranya sebuah malam untuk kembali berkumpul menghimpun energi dan kepasrahan melalui lantunan-lantunan wirid dan sholawat sebagai bekal mengarungi perjuangan di hari berikutnya.

Ramuan Rayu yang Tak Boleh Dilepaskan

Diskusi terus beranjak hingga sekitar pukul 23.00. Kemudian acara wirid dimulai dengan dipandu oleh Mas Munir, Mas Eko, dan Pak Baihaqi. Lantunan-lantunan kemesraan yang terdengar pasrah seolah menjadi keluh kesah atas keadaan yang menyulitkan bagi mereka yang tidak sanggup menahan diri. Sapaan kepada kekasih Allah pun mengiringi ketidaktegaan kami melihat kegelisahan-kegelisahan atas kelembutan yang datang menyapa. Permohonan-permohonan doa pun dipungkasi setelah lebih dari satu jam kami melantunkan wirid dan sholawat.

Berbagai wirid yang telah diijazahkan selama masa pandemi pun melengkapi pembacaan wirid munajat Maiyah. Selain wirid penjagaan, Luthfi Muhammad, wirid Yaa Rahman Yaa Rahiim Yaa Syifaa Yaa Haliim Yaa Hadi Yaa Mubin tetap menjadi suatu ramuan rayu yang tak boleh dilepaskan. Kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kepada Yang Maha Menyembuhkan pun Maha Penyantun, kepada Yang Maha Memberi Petunjuk dan Maha Menjelaskan disuarakan dengan sabar dan lembut sebanyak 33 kali.

Yaa, mungkin saja Maneges Qudroh pada akhirnya hanya sanggup melakukan tindakan yang begitu sederhana. Terkait informasi dan sains tentang solusi dan inovasi, mungkin kami akan belajar kepada yang ahli di bidangnya dan menerapkannya. Dan, yang nyata-nyata bisa kami lakukan selama ini adalah dhepe-dhepe seperti ini.

Setelah acara wirid selesai, respons atas beberapa tanggapan di kolom komentar pun diberikan. Sembari mendinginkan dan mencairkan suasana kembali. Mengucap kasih kepada saudara-saudara lain yang ikut membersamai acara live streaming. Sebelum pukul 02.00 dinihari, acara pun mesti segera dipungkasi untuk kembali bersiap melaksanakan ibadah yang lain, terutama sahur.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta