Welas Tanpo Alis?
Dalam percakapan sehari-hari, sering saya temui seseorang yang memanjakan anak secara berlebihan. Apa yang diminta sang anak, orangtuanya berusaha memenuhi. Orang Jawa menyebutnya “welas tanpo alis”.
Sementara kalau ada orangtua yang memperlakukan anaknya dengan wajar dan alamiah, misalnya sejak kecil dibiasakan melakukan pekerjaan harian rumah tangga, kemudian setelah dewasa tidak begitu saja menyediakan semacam fasilitas standar kekinian seperti sepeda motor dengan tahun muda, gadget merek kelas menengah, sandal sepatu yang terkesan tidak pernah terkena debu jalanan, kaos dan kemeja dengan warna selalu tampak baru bak keluar dari toko dan seterusnya malah biasanya dikomentari, “Lha golek duit ki njur nggo opo yo kui?”.
Sementara itu, kita dengan lingkungan yang relatif selalu dekat dengan aneka tumbuhan, baik di desa maupun di kota, sejatinya setiap hari disuguhi pelajaran tentang proses sebab-akibat, yang di dalam Al-Qur’an disebut “sababa”.
Aneka tumbuhan menghadapi berbagai ujian cuaca yang berubah-ubah, tanpa dibantu oleh aktivitas pemeliharaan dari manusia, dan mereka memiliki dua kemungkinan: mati atau bertahan hidup. Jika bertahan biasanya memiliki kualitas tinggi, seperti pohon jati yang tumbuh di hutan, berbeda dengan pohon jati kebon yang kualitasnya berada jauh di bawahnya. Namun jika tetumbuhan dijaga, diopeni dengan tanpa henti oleh manusia, lebih kecil kemungkinannya untuk mati. Tumbuh lebat berbuah, tetapi rentan mati jika lengah pemeliharaannya dan “tidak organik”.
Hal demikian juga berlaku pada hewan ternak. Kita sekarang sibuk kembali dengan istilah “organik” karena konon terbukti lebih sehat dan lezatnya alamiah. Sapi domba lebih sehat dan lezat jika diumbar, tidak dikandangkan seperti robot yang hanya makan dan berak sambil menunggu disembelih. Semua hal di atas menunjukkan bahwa kualitas yang dihasilkan tidak lepas dari proses di mana dan bagaimana mereka bertumbuh kembang.
Tetapi dalam proses pendidikan manusia, hal itu justru jarang diajarkan dan diaplikasikan secara mendalam dengan berdasarkan kesadaran proses sebab-akibat. Bahkan hal demikian terkadang juga merasuk dalam model pendidikan agama yang sejatinya mengajarkan hal basic tentang “proses sebab-akibat” dengan sangat jelas.
Dalam keseharian, ketika merasa bosan menjadi inferior dan berharap bisa menjadi superior, yang muncul adalah upaya memperoleh katabelece melalui orang-orang yang dianggap punya hubungan khusus dengan Tuhan. Atau juga ungkapan-ungkapan protes dengan penegasan garis demarkasi antara kaum proletar dan kaum kapitalis.
Padahal, jika kita mau mengubah sudut pandang dengan mencoba belajar kepada alam lingkungan yang notabene adalah ayat-ayat kauniyah yang sejajar validitasnya dengan ayat yang tertulis di kitab suci, maka yang muncul pertama tentu evaluasi diri, yaitu bahwa seseorang tidak memperoleh sesuatu kecuali segaris lurus dengan apa yang dilakukan. Tetumbuhan dan hewan tidak memiliki konsep “menang kalah”, yang ada adalah menjalani takdirnya dengan sungguh-sungguh.
Jika kita percaya Allah adalah abadi, maka kita harus belajar kepada segala hal yang mampu bertahan lama sebagai bentuk pendekatan kepada keabadian. Karena yang abadi hanya Allah maka kita “hanya” bisa mengekor dengan kemampuan durasi selama mungkin. Kita harus mau mengamati pohon-pohon dengan umur panjang, kita harus mau belajar kepada orang lain entah apa ideologinya, jika mereka mampu bertahan dalam bidang ekonomi, sains, dan keluasan ilmunya Allah.
Sangat make sense jika dalam sebuah video terbaru Mbah Nun menjawab pertanyaan “menunggu diserang atau menyerang” dengan hakikat yang sejauh mampu saya tangkap sangat relevan, gamblang, dan sangat “membumi”. Bahwa “menangnya” banteng adalah sekuat tenaga lari dan akhirnya diterkam kawanan kecil singa. Menangnya pohon jati adalah ditebang pada usia yang tepat sehingga mampu menemani manusia dengan menjadi perabot atau soko guru joglo ratusan tahun berikutnya.
Demikian pula kita manusia, jika saya karyawan, boleh jadi kemenangannya bukan berhasil mendemo perusahaan sehingga menaikkan gaji UMR, walaupun mungkin itu tidak salah. Tetapi menangnya karyawan adalah dengan kualitas dan tanggung jawab sebagai karyawan, yang ditunjukkan dengan disiplin menjaga waktu kerja, tidak sebentar-sebentar udud di tengah jam kerja. Sedangkan kalahnya seorang pemilik perusahaan, tidak karena lebih sedikit asetnya dibandingkan dengan pemilik perusahaan lain, tetapi kalahnya adalah mengaku tidak mampu memberikan THR tahun ini dengan alasan pandemi, tanpa rasa berdosa seolah akumulasi keuntungan puluhan tahun sebelum pandemi datang sendiri tanpa keringat para karyawannya.
Pada video Mbah Nun di atas, yang juga saya garis bawahi dengan sangat tebal adalah ungkapan Mbah Nun “menang terhadap diri sendiri” dan “menang karena Allah”. Kita semua, umat manusia ditiupkan ruh-Nya, jika kita ingin menang karena Allah berarti harus belajar jati diri kita diciptakan oleh Allah menjadi apa. Menang menurut Allah ya harus mengerti dan elegan menerima apa adanya, tidak bermimpi menjadi pemimpin kalau garis hidupnya adalah rakyat biasa. Khusyu’ sebagai makmum, sebagai muadzin, sebagai marbot atau imam sholat–dalam konteks ibadah mahdhoh.
Maiyah diartikan mata air maupun kumpulan bagi saya sama baiknya. Bagi saya Maiyah adalah kumpulan yang berada di mata air yang diharapkan mampu menjernihkan, mengikis tabir kemanusiaan kita sehingga sadar posisi, sadar diri. Antara lain sadar bahwa Allah welase kui ora welas tanpo alis. Siapa pun, entah apa ideologi dan sukunya, jika berlaku sesuai hukum sebab-akibat, akan memanen hasilnya. Dan pada saat itu dia adalah orang yang beriman, maka pahalanya di akhirat mendapat surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.
Dalam konteks tadabur endek-endek-an, jika diibaratkan lembaran kalender, akhirat adalah tanggal tua. Jika semua cicilan dan tagihan tercatat dalam administrasi yang rapi dan diselesaikan dengan tepat waktu maka surganya adalah tidak dibebani ruwetnya tagihan yang tertunda. Sungai adalah gambaran networking. Jika kerja beres, administrasi beres, bisa dipastikan networking-nya juga lancar. Simple!
Maturnuwun Mbah Nun, wedharan Panjenengan sampai detik ini turah-turah, selalu menginspirasi.