Wedi Nggendhong Kuwasa
Permohonan, dambaan, harapan dan kenikmatan yang disujudkan kepada Allah Swt oleh semua Jamaah Maiyah adalah sebagaimana yang terpapar oleh firman-Nya sendiri: “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran).
Apalagi Allah jelas mengatur kategorinya: “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?” (Al-An’am).
Jamaah Maiyah merenungi, meneliti, memahami kembali, mengingat-ingat apa yang kita lakukan bersama selama puluhan tahun belakangan ini: apanya yang dhalim dari yang kita lakukan? Yang mana yang dhalim di antara yang kita kerjakan bersama? Supaya kita tidak menjadi manusia yang merasa baik dan merasa tidak dhalim, tetapi justru keberangkatan utama sehari-hari kita adalah waspada dan terus-menerus teliti menyensor mana unsur kedhaliman di tengah kita.
Di banyak Maiyahan kita ber-“tahadduts binn’mah”, mengekspresikan kegembiraan kita oleh limpahan rahmat Allah, terkadang dengan shalawat riang gembira, atau bernyanyi suka ria, bahkan menggerak-gerakkan anggota badan tertentu yang aman dan mengamankan, untuk mentotalkan rasa syukur kita bersama. Di ujungnya biasanya kita bertanya: “Apa yang dhalim yang barusan kita lakukan? Apa yang maksiat? Apa yang mudlarat? Apa yang tidak halal dan tidak thayyib?”
Kita menghindari riya`, takabbur, GR, jangan sampai lupa dan tidak peka terhadap kesalahan dan keburukan kita sendiri.
Dalam filosofi sehari-hari kehidupan manusia Jawa ada istilah “milik nggendhong lali”. Arti harfiahnya: orang yang memiliki banyak harta membawa kecenderungan untuk lupa pada banyak hal sebagai manusia. Lupa orang lain, lupa Tuhan, lupa nilai-nilai. Selama bulan-bulan siksaan Corona ini tampak ada menguat kecenderungan “Wedi nggendhong kuwasa”.
Orang yang takut besok akan tidak makan, berinisiatif untuk menumpuk makanan. Orang yang takut hari-hari ke depan tidak punya ini-itu, maka ia menghimpun ini-itu. Orang yang takut akan terkena penyakit, menegakkan kekuasaannya untuk menolak kedatangan apa saja yang ada kemungkinan menularkan penyakit. Menolak tamu, menolak pengunjung, menolak jenazah atau mayat. Menolak seseorang yang meninggal karena Covid-19 dikuburkan di wilayahnya.
Babon ayam yang takut kutuk-kutuk atau anak-anaknya terganggu, maka ia meregangkan kedua sayapnya, menunjukkan kekuasaannya. Orang yang takut tidak menjadi Pejabat akan menyebarkan informasi dan kesan bahwa ia pantas berkuasa. Pejabat yang sedang berkuasa yang takut kehilangan kekuasaan, akan melakukan apa saja dalam lingkungan kekuasaannya untuk mempertahankan kuasanya. Para pendukung Penguasa karena takut pujaan hatinya besok kehilangan kekuasaan, akan berupaya keras untuk menguasai kebenaran bahwa yang tepat berkuasa adalah tokoh yang mereka puja. Kalau ada kritik, pepeling atau piweling atau peringatan yang kritis terhadap Penguasa itu, maka mereka akan meregangkan sayap-sayap kekuasaannya untuk mempertahankan kebenaran yang memang harus berkuasa adalah idolanya. Maka lahirlah buzzer.
Kalau kembali ke pameo klasik Jawa “milik nggendhong lali”, “kekuasaan menyertakan lupa”. Maka penduduk yang menolak pemakaman janazah Corona di wilayahnya, lupa bahwa tanah yang mereka tinggali itu bukanlah milik mereka. Negara membagi-bagi aturan pemilikan yang hakikatnya bukan pemilikan. Pak RT, RW, RK mewakili kuasa penduduk di wilayahnya untuk menjaga area tanah mereka dari kemudlaratan. Kalau seorang pimpinan lokal menolak jenazah Corona dimakamkan di area mereka, niatnya adalah untuk menjaga kesehatan dan keselamatan penduduk yang menjadi tanggung jawab mereka.
Penolakan ini bersumber dari “lali” atau lupa atas banyak hal. Lupa bahwa tanah itu bukan hakiki milik mereka. Lupa bahwa tubuh jenazah siapapun punya hak atas tanah karena perkenan Pemilik Tanah. Lupa bahwa sudah disusun protap prosedur pemakaman untuk semaksimal mungkin menghindarkan kemungkinan penularan. Lupa bahwa mereka kelak juga butuh tanah untuk menguburkan. Lupa bahwa penolakan terhadap hamba Allah bisa berakibat pada penolakan Allah atas hamba yang menolak sesama hamba. Lupa bahwa para penolak itu tidak punya landasan nilai dan fakta apapun untuk menolak. Lupa bahwa penolakan dunia akan dibalas dengan penolakan akhirat. Lupa bahwa penduduk penolak jenazah yang merasa sehat itu bisa jadi ternyata sudah terpapar virus yang mereka takutkan itu, cuma belum ketahuan — karena memang demikian watak dan perilaku Covid-19.
Kalau diperpanjang, diperluas dan diperdetail: mereka lupa bahwa diri mereka sendiri bukanlah milik mereka sendiri. Mereka lupa bahwa mereka sendiri pada hakikinya tidak berkuasa atas diri mereka sendiri, karena tidak ikut memiliki. Ujung kuku hitam tangan manusia adalah milik Allah. Satu partikel udara tidak kasat mata adalah hak milik Allah. Setiap uget-uget di badanmu yang hanya kelihatan kalau dilihat pakai mikroskop atau zooming camera sejuta kali, adalah milik Allah.
Sampai abad 20-21 perjalanan sejarahnya ini terbukti memang manusia adalah makhluk pemalas dalam urusan penggunaan akal, pikiran, intellect, nalar, rasio, logika. Kalau untuk rakus, serakah, berkuasa, bermegah-megah, bermewah-mewah, hubbud-dunya, mereka sangat rajin. “Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (Yunus).
Kalau untuk mempertahankan “benarnya sendiri” manusia sangat teguh dan nekad untuk berjuang. Mereka sanggup mengeluarkan kata-kata yang bisa sampai sangat kasar dan memperhinakan kepada sesama manusia, kalau untuk mempertahankan yang mereka sangka “kebenaran”. Padahal faktanya hanyalah “pembenaran diri” atau “kebenaran yang ia paksakan” kepada siapapun saja, karena substansi yang mereka sangka kebenaran itu adalah kepentingan. Kebenaran yang mereka paksakan kepada diri mereka sendiri karena takut kehilangan kekuasaan dan kepemilikan. Maka yang mereka pertahankan bukanlah kebenaran, melainkan sekadar kepentingan duniawi.
“Beginilah kamu, kamu ini semestinya bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, tetapi kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Ali Imran). Fakta peradaban manusia mencerminkan bahwa mereka tidak percaya atau mengakui pernyataan Allah itu. Mereka cenderung menggunakan mindset bahwa manusia lebih tahu dibanding Tuhan. Kata kanak-kanak di masa kecil saya di Jombang: “Wong gak iso njemok jithoke dewe ae koyok eruh-eruho, koyok pinter-pintero dhewe”. Jadi terjemahan yang relevan untuk “ahsanu taqwim” gelar manusia, mungkin adalah “kemeruh”, “keminter”, “gembagus”. Berapa jumlah penduduk Indonesia yang terpapar Covid-19? Baru memverifikasi di bawah 20 ribu dari 260 juta orang, manusia sudah berani menyebut angka: 4557. Apa namanya itu kalau bukan “kemeruh”, “keminter”, “gembagus”. Bahkan “kemendel”. Itu pun ngakunya ilmiah, valid, konstitusional.
Dengan mata telanjangnya, manusia tidak pernah saling bisa melihat materi atau jasad atau fisik hatinya. Jangankan lagi isi hati itu. Institusi besar seperti Negara, dengan peralatan-peralatan yang kabarnya sangat modern dan canggih, tidak tahu benar apa-apa yang rakyat mereka butuh untuk Pemerintah mengetahuinya.
Tapi kalau ada siapa-siapa yang mengutip firman Allah, mereka meremehkan dan memperolok-olokkan: “Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan.” (Al-Anbiya).
Bahkan manusia tidak takut kepada warning Tuhan. Jauh lebih takut kepada Covid-19 dibanding kepada Allah: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad-Dukhan).
Sungguh manusia itu sangat pemberani. Atau sangat bodoh dan dhalim. Dhaluman jahula, pakai idiom Allah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hashr). Manusia tidak ikut bertasbih. Ormasnya tidak ikut bertasbih. Kelompoknya tidak ikut bertasbih. Parpolnya tidak ikut bertasbih. Negara dan Pemerintahnya tidak ikut bertasbih.
Jangankan lagi sampai tingkat mengeluh dan menyatakan berlindung kepada Allah. Dalam pidato dan pengumuman Covid-19 tidak ada ucapan “A’udzu billahi minas-syaithanir-rajim”. Apalagi “bismillahilladzi la yadhurru ma’asmiHi syai`un fil ardli wa la fis-sama`i wa Huwas Sami’ul ‘Alim”. Padahal kalimat itu cespleng langsung menyangkut konteks dan wujud Covid-19. Included virus apapun, yang kemarin, sekarang maupun besok atau berikutnya.
Ajaib rasanya kalau sampai manusia, terutama pemimpin-pemimpin di antara mereka mengucapkan: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Yusuf).
Alhamdulillah Jamaah Maiyah tidak melewati hari dan malam tanpa kesadaran peran Allah di dalam hidupnya. Alhamdulillah Jamaah Maiyah berikhtiar keras untuk tahu diri, untuk tidak “keminter”, “kemeruh” dan “kemendel”. Dan selalu berjuang keras untuk jangan sampai tidak tahu apa kesalahannya, keburukannya dan kedhalimannya.
Alhamdulillah Jamaah Maiyah memiliki dan menjalani kebiasaan batin itu. Adapun tetangga kiri-kanan, masyarakat, ummat, rakyat, Pemerintah dan semua penghuni Negara, berlaku demikian atau tidak – bukan hak Jamaah Maiyah untuk mempersoalkan. Semoga Jamaah Maiyah tidak dikategorikan oleh Allah sebagai kumpulan orang-orang dhalim. Sehingga Jamaah Maiyah memperoleh anugerah pemenuhan janji Allah: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara dhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud).
Polarisasi yang paling sederhana adalah orang-orang dan perilaku yang mengundang adzab Allah, dan sebaliknya: orang-orang dan perilaku yang mengundang rahmat dan keselamatan dari Allah Swt. Jamaah Maiyah tidak GR, tapi mereka adalah kumpulan Al-Mutahabbina dan Al-Muqarrabina Fillah yang prinsipnya adalah berikhtiar maksimal dan penuh disiplin untuk dinilai Allah sebagai ketegori kedua. *****