CakNun.com
Majelis Ilmu Gambang Syafaat Semarang, 25 Oktober 2020

Waktunya Kembali ke Makna Asal

Mukhamad Khausar
Waktu baca ± 5 menit

Forum silaturahmi Maiyah Gambang Syafaat edisi 25 Oktober 2020 membawakan tema ‘Radikal Ra nakal’. Dilihat dari penggunaan kata, tema ini tergolong menarik. Kang Hajir mengulang mukadimah di awal. Nakal sering disamakan dengan kata mbeling. Sebuah kata yang dipersepsikan sebagai sifat susah diatur, menerjang semua aturan-aturan. Seringkali orang nakal memiliki kreativitas tinggi.

Beralih ke kata radikal. Radikal menjadi kata yang sering diberi label negatif oleh masyarakat umum. Orang mudah menuduh seseorang bersifat radikal hanya karena penampilan luar seperti; berpeci, memakai baju koko atau berjenggot panjang. Radikal berasal dari kata radic yang artinya dasar atau fundamental. Penyematan radikal kepada kelompok tertentu sering digunakan oleh kelompok lain. Perbedaan ideologi antarkelompok memaksa munculnya penggunaan kata-kata tertentu untuk mendefinisikan kelompok tersebut. Radikal, liberal atau mungkin moderat menjadi beberapa pilihan yang sering digunakan.

Mas Ali Fatkhan memandang radikal dari sudut pandang anak kecil. Anak kecil menangis biasanya karena kondisi yang diharapkan tidak terpenuhi. Keinginan anak kecil untuk mendapatkan permen atau pergi jalan-jalan ke mall dijadikan kebutuhan mendasar. Saat kebutuhan dasar anak kecil tidak terlaksana, dia akan merespons dengan tangisan. Anak kecil menangis karena menginginkan permen tadi termasuk pengaplikasian sifat radikal. Apakah anak kecil ini tergolong nakal?

Kata radikal kemudian ber-evolusi menjadi sebuah paham kepercayaan yang disebut radikalisme. Radikalisme muncul saat kondisi yang diharapkan makin lama menjadi abstrak. Kondisi ini perlahan berubah menjadi sebuah kepercayaan. Ketika ada beberapa atau sekelompok orang meyakini sesuatu, menganggapnya hal mendasar dan memperjuangkannya, maka dikenal istilah radikalisme. Kelompok ini akan memperjuangkan hal mendasar yang mungkin saja tidak disepakati banyak orang.

Mas Ton, salah seorang pegiat budaya Kota Semarang juga membersamai jamaah. Beliau merupakan penggiat yang sering mementaskan pagelaran wayang kulit setiap malam Jumat Kliwon. Pagelaran ini sudah berjalan sejak tahun 1991 sampai Febuari 2020, berhenti sementara karena ada pandemi. Menurut beliau, orang yang tidak punya budaya berarti tidak memiliki akhlak. Mas Ton dan para dalang yang sering mengisi pagelaran setiap malam Jumat Kliwon mempunyai cara pandang sendiri. Mereka menganggap bahwa tampil dalam pagelaran tersebut menjadi ladang sadaqah. Nilai persaudaraan lebih bermakna dibanding jumlah honor yang diterima.

Semua ciptaan Allah merupakan makhluk termasuk Coronavirus. Ajaran leluhur Jawa menganggap makhluk apapun sebagai sedulur manusia. “Seharusnya kita juga berdamai dengan makhluk yang namanya Corona itu. Kita sebagai manusia tentu diberikan bekal untuk mensyahadati,” ucap Gus Aniq.

Budaya Jawa memiliki tradisi penanganan sawan atau sakit tersendiri. Mereka mensyahadati sawan dengan menggunakan terapan nabati, misalnya penggunaan kunir dan suruh. Mencerminkan bahwa orang Jawa memiliki cara penyelesaian keseduluran untuk merangkul semua makhluk ciptaan Allah.

Agama berasal dari kata hagama. Gama berarti aturan, Ha tan kena kinaya ngapa. Hagama artinya tuntunan tan kena kinaya ngapa. Allah menampilkan diri melalui Asmaul Husna. Allah berasal dari kata Walahun, dzat yang menghenyakkan/mengagetkan. Ketika kata Allah digunakan bukan untuk hal yang menghenyakkan tapi sebagai permainan dan kepentingan tertentu, maka bukan Allah yang tampil.

Masyarakat sekarang sering meyakini konotasi yang didenotasikan. Radikal sering dimaknai sepihak menjadi kekerasan atau ekstrem. Gerakan antiradikal dinilai sebagai respons menolak semua bentuk kekerasan. Padahal banyak sendi kehidupan yang memerlukan kekerasan.

“Bagaimana jika Allah mengabulkan slogan, antikekerasan? Punggung kita dibuat lemas. Tulang kaki kita dihilangkan. Sehingga kita perlu kembali dan memahami makna asal,” imbuh Gus Aniq.

Banyak orang menyuarakan antiradikal. Menurut Gus Aniq, agama Islam sendiri mengajarkan radikal. Puasa, harusnya makan tapi tidak makan. Shalat, harusnya bisa santai malah disuruh shalat. Perlu pemaknaan lebih mendalam tentang kata radikal agar tidak terjebak dalam konotasi makna.

Masalah makna asal sebuah kata sangat sensitif. Bukan hanya orang biasa, di lingkungan ahli tafsir juga mengalami kekeliruan pemahaman makna asal dari sebuah kata. Misalnya kata sholeh, banyak orang yang melahirkan seorang anak kemudian didoakan menjadi anak soleh. Secara pengertian umum, kata sholeh dimaknai sebagai baik. Kenyataannya sholeh itu artinya layak. Jika diteliti melalui makna dasar, maka mendoakan seorang anak agar soleh dapat menjadi pertanyaan. Layak yang bagaimana?

Ciri khas Maiyahan adalah diskusi. Maiyah menjadi ruang tumbuh bagi jamaah untuk berkembang, salah satunya berani menyatakan pendapat. Mas Ali Fatkhan memoderatori sesi diskusi untuk mendapatkan respon dari jamaah. Kembali ke kata radikal, hal fundamental apa yang diajarkan dan didapatkan selama Maiyahan?

Ada tiga repons dari jamaah terkait hal radikal di Maiyah yang harus diperjuangkan. Pertama, belajar istiqamah, melakukan kebaikan secara bertahap dan berkesinambungan. Kedua, keterbukaan berpikir, jamaah tidak harus sama dengan pendapat narasumber. Jamaah boleh memiliki sudut pandang yang berbeda dari para narasumber. Ketiga, tidak mudah menyalahkan pendapat orang lain. Selalu mengambil banyak sudut pandang untuk menghadapi satu kasus masalah. Sebuah masalah bisa memiliki banyak solusi penyelesaian.

Ada pertanyaan menarik dari jamaah, “Kenapa muncul Islam nusantara, Islam progresif sampai Islam radikal. Lalu di mana posisi Islam yang diajarkan di Maiyah?”

Kang Hajir merespons dengan sebuah cerita. Beliau awalnya bersentuhan dengan keindahan Islam melalui budaya. Latar belakang sebagai seorang pemain teater membuatnya lebih tertarik dengan Islam yang cenderung dekat dengan budaya. Kegiatan Maiyah sering diwarnai dengan gitar, puisi, dan penampilan seni lain. Kang Hajir menilai Gambang Syafaat sebagai jalan menarik untuk mengenal indahnya islam. Seseorang memiliki tipologi atau latar belakang masing-masing. Mereka memasuki keindahan Islam melalui jalan yang berbeda-beda. Identitas Islam di Indonesia yang berbeda-beda menjadi daya tarik dan berkah sendiri.

Maiyah menjadi contoh wahana pertemuan berbagai warna Islam yang ada di Indonesia. Bukan hanya antar aliran islam, bahkan Mbah Nun sering menerima seseorang dari kelompok agama di luar Islam. Penamaan identitas Islam tertentu sebenarnya berasal dari luar. Misal ada warna Islam Amereka tidak pernah menamai warna Islamnya melainkan dinamai oleh warna Islam tertentu. Secara mendasar, Islam hanya ada satu.

Mas Ton menambabhkan bahwa Islam itu cinta kasih. Sesuatu yang tidak berangkat dari cinta kasih maka bukan Islam. Mengacu pada budaya Jawa, orang Jawa matinya dipangku seperti ha-na-ca-ra-ka kalau ketemu tanda pangkon maka mati. Artinya saat seseorang diorangkan atau dihargai, dia selalu diberikan senyuman maka tidak ada sakit hati dan dosa. Sebaliknya, jika seseorang yang salah sekalipun digetak/dimarahi maka malah jadi semakin parah. Mesem iku agawe ayu. Label atau penamaan terhadap Islam tidak begitu penting.

Pertemuan ditutup dengan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan doa bersama oleh Gus Aniq. Malam itu jamaah juga menikmati penampilan musisi lokal; Mas Ibnu, Mas Anggu dan Mas Rio. Ada juga Cak Noeg yang membawakan puisi untuk menghangatkan suasana malam. Selama pandemi, forum Maiyahan Gambang Syafaat Semarang dapat diikuti melalui siaran tunda di chanel youtube resmi: Gambang Syafaat.

Lainnya

Sunda Mengasuh___

Sunda Mengasuh___

Sudah sejak pukul 18.00 penggiat Jamparing Asih berkumpul di gedung RRI.

Jamparing Asih
Jamparing Asih
Bareng-bareng Ngrembuk Gambang

Bareng-bareng Ngrembuk Gambang

Pada Jumat-Sabtu (16-17/03/2018) Jannatul Maiyah Gambang Syafaat dan simpul Maiyah di Jawa Tengah mengadakan acara bertajuk “Rembuk Gambang”.

Gambang Syafaat
Gambang Syafaat