Unser Herzlichstes Beileid, Syeikh Kamba
Waktu di Jerman Selatan masih menunjukkan pukul 22.57 CETS. Bertepatan hari Jum´at, 19 Juni 2020. Iseng setelah menata obat untuk seluruh pasien, saya mengusap layar hape. Mata terpana melihat status Whatsapp Mbak Nink Kenduri Cinta yang menuliskan, “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Ya Allah Syeikh”.
Saya terkaget tak percaya dan menanyakan kebenaran berita itu kepada Mbak Nink, dan benar-benar terkonfirmasi bahwa Syeikh telah berpulang ke pangkuan-Nya. Sejurus kemudian saya bilang ke kolega, “Jangan kaget ya kalau liat saya nangis”. Kebetulan saat itu saya sedang dapat tugas jaga malam di Bangsal Penyakit Dalam Rumah Sakit.
Malam itu rasanya sangat banyak air mata tertumpah, karena tak berselang lama kemudian, kurang dari 3 jam, salah satu pasien di bangsal kami juga meninggal.
Mudik tahun lalu ingin sekali rasanya sowan langsung ke Ndalem Buya Syeikh Nursamad Kamba bersama Teh Nissa Jamparing Asih. Namun, waktu belum memungkinkan karena saat bersamaan Beliau sedang berada di Sulawesi. Rasanya pertemuan langsung pertama dan terakhir saya dengan beliau adalah saat diadakannya Silaturahmi Nasional (Silatnas) Maiyah kedua di Magelang pada 4-6 Desember 2015 lalu. Sisanya bermuwajjahah via Zoom di masa Corona ini atau 3 kali saja via Whatsapp di tahun 2018. Entah kebetulan juga, tanggal dari salah satu chat Whatsapp itu tepat pada 20 Juni 2018, dua tahun sebelum Syeikh berpulang.
Di antara momen itu, masih segar dalam ingatan ketika pertama kali melihat tiga Marja duduk bersama dalam satu forum di Silatnas Maiyah 2015. Syeikh Kamba membuka paparan dengan mengupas Maiyah dan Puisi Jalan Sunyi yang dituliskan Mbah Nun pada 1996. Pada kalimat, “Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata” itu suara beliau tiba-tiba parau, seakan tercekat dan seluruh ruangan menjadi hening ketika sejenak kemudian beliau semakin tergugu dan meneteskan air mata. Momen yang sangat sulit ditangkap dan digambarkan dengan kata-kata.
Syeikh melanjutkan, para pelaku Maiyah harus semakin bergembira dalam meneguhkan diri untuk terus setia menanam dan menanam. Jalan Sunyi Maiyah ini bukanlah jalan yang benar-benar sunyi, melainkan sebuah cara pandang. Bahwa cara Maiyah melihat dan memperlakukan dunia tidak sama dengan kebanyakan orang.
Di Magelang itu, Syeikh Kamba pula menuturkan ciri cinta Rasul dengan banyak bersholawat. Maiyah itu sholawatan, Indonesia bisa selamat kalau sholawatan tetap ada. Lalu muncullah segala kebaikan yang berusaha meneladani Rasulullah dan puncaknya yakni kesediaan berkorban untuk kekasihnya. Orang Maiyah bekerja saja di kesunyian, nanti Allah-lah yang akan meneruskannya.
Selain itu, menurut Beliau, kemurnian Islam adalah cinta Rasulullah. Di sanalah muara seluruh ajaran agama yaitu pada upaya untuk me-Muhammadkan diri kita. Dalam bermaiyahan pula Allah-lah yang mengikat hati kita semua. Hal ini mengingatkan kita pada Hadits Nabi yang mengatakan tidak beriman seseorang di antara kamu yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Di situlah filosofi Maiyah, di mana terdapat semangat pengembanan yang luar biasa ketika seseorang sudah melarutkan diri ke dalam cinta rasul.
Sementara itu pada 2018, saya pernah bertanya soal apakah setiap muslim itu harus memiliki Tarekat? Beliau pun menjawab secara formal tidak harus, namun setiap muslim dituntut untuk menempuh jalan yang sesuai dengan karakteristik dan keunikannya menuju lebih dekat kepada Allah dan Kanjeng Nabi. Demikianlah Maiyah berada dalam konteks ini.
Hingga kesimpulan jawaban beliau kepada saya ialah berarti Gusti Allah telah memilihkan Maiyah sebagai jalannya, sebab dalam tradisi tarekat tidak bisa dipaksakan apalagi dibuat-buat. Dalam bertarekat, seseorang harus tulus dan sukarela. Diperjalankan bertemu Maiyah itu sama dengan karunia. Inilah yang menurut Syeikh Kamba disebut sebagai seseorang yang menemukan jati dirinya di Maiyah. Jawaban Syeikh di atas sangat melegakan hati saya, dan betapa takjub serta syukur luar biasa ketika beliau berkenan menjawab via Whatsapp, bahkan pada anak cucu Maiyah yang mungkin sama sekali belum dikenalnya. Terima kasih sedalam-dalamnya, Syeikh.
Lewat Takziah Virtual yang digagas Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) kemarin saya menjadi lebih tahu tentang siapa Syeikh Kamba. Di masa muda, beliau pernah menjadi pelopor didirikannya HPMI Mesir, setelah sebelumnya PPI Mesir dibubarkan karena menolak asas tunggal. Syeikh Kamba juga termasuk S17, 17 orang Indonesia terpilih yang pada tahun itu diterima untuk studi di Al-Azhar Asy Syarif. Kesaksiam sahabat beliau, Bapak Syarifuddin yang hari ini sedang bertugas di KBRI Belanda, salah satu kunci kesuksesan Syeikh Kamba dalam belajar ialah membaca buku-buku induknya sampai tamat. Itulah yang membuat beliau sangat mudah memahami dan memahamkan orang lain, bukan saja di ranah keilmuan beliau namun juga pada masalah yang lebih luas lagi.
Prof. Rosihan Anwar, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung juga menyebutkan bahwa kepada Syeikh Kamba-lah tempat rujukan dan konsultasi Tasawuf beliau, pun Syeikh Kamba juga yang mendirikan Jurusan Tasawuf Psikoterapi, bagaimana beliau mendobrak dan mengawinkan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Psikologi. Sehingga lahirlah anak kandung bernama Tasawuf Psikoterapi yang membuat animo mahasiswa yang mendaftar Fakultas Ushuluddin meningkat besar setelah sebelumnya Fakultas itu sempat sepi peminat. Syeikh Kamba juga berkiprah puluhan tahun di Kementrian Agama, eksekutor ide-de dari banyak Menteri yang menjabat, dan yang paling berkesan saat bersama Menag Maftuh Basyuni mereformasi manajemen Haji.
Syeikh Kamba bukan saja diplomat, birokrat, cendekiawan, kamus nesar tasawuf, motivator, inisiator, tapi beliau juga Sufi yang memiliki prinsip kuat. Sebagaimana tagline dari takziah virtual itu, “Sejati baktinya, Hakiki ilmunya, Sufi jalannya”. Hingga di penghujung usianya beliau tidak mau mengurus kepangkatan (ASN 3d yang terakhir) dan keprofesorannya. Beliau berprinsip gelar Profesor itu seharusnya diberikan oleh negara kepada orang yang berjasa, bukan orang tertentu yang harus mengejar gelar itu. Dr. Muchlis Hanafi, Sekjen OIAA, salah seorang inisiator takziah Virtual itu juga mengatakan bahwa setelah semua pengabdian yang beliau berikan kepada negara itu, diakhirnya Syeikh Kamba memilih jalan sunyi bersama Jamaah Maiyah.
Ya Syeikh, ketika saya pamit untuk ke tanah suci pada Desember 2018 lalu, Njenengan berpesan titip salam kepada Kanjeng Nabi dan Para Sahabat. Bolehkah kali ini kami titip salam rindu kepada Sang Maha Cinta, Kanjeng Nabi dan Para Sahabat.
Albstadt, Jerman
22 Juni 2020