CakNun.com

Universitasnya Para Mahasiswa Yogyakarta

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Pengajian Mocopat Syafaat sudah berlangsung sejak Juni 1999, dan hari ini nanti adalah edisi Januari 2020. Tanpa terasa telah memasuki hitungan ke-21 tahun.

Yogyakarta, tempat Mocopat Syafaat berlangsung, adalah kota dengan sekian brand. Kota budaya. Selain itu juga dikenal sebagai kota pelajar. Banyak pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah belajar di sini.

Dalam perspektif budaya, tak perlu diperjelas lagi keberadaan KiaiKanjeng di Mocopat Syafaat yang sejak awal sudah menjadi bagian tak terpisah. Dalam hal budaya (seni, musik, musik puisi, teater), merekalah aktor dan representasi utama.

Akan tetapi, lantaran dalam berkarya dan bermusik, mereka mengintegrasikan karya-karya untuk suatu konteks yang lebih luas (yakni bukan seni untuk seni), kadang kita lupa menyadari posisi mereka sebagai seniman. Saking kentalnya integralitas di dalam atomosfer Mocopat Syafaat.

Perlu diingat pula, tahun-tahun awal Mocopat Syafaat ada kelompok shalawatan Jawa yang terdiri mayoritas ibu-ibu. Mereka warga asli Tamantirto Kasihan yang mendapatkan penemanan dari keluarga Mbah Nun utamanya dalam pengembangan ekonomi/koperasi dan kegiatan ngaji.

Setiap Mocopat Syafaat, shalawatan-shalawatan Jawa dari ibu-ibu inilah yang mengawali perjumpaan. Mbah Nun kemudian memberi nama kelompok ini dengan nama “Khadijiyah”. Penamaan yang dimaksud untuk mengingat peran dan jasa besar Khadijah bagi Nabi Muhammad Saw.

Tahun-tahun berikut Mocopat Syafaat bahkan seperti menjadi forum tempat berbagai kelompok kesenian mempersembahkan diri. Meski dengan intensitas yang agak berbeda dengan tahun-tahun awal itu, pada tahun-tahun kemarin kita juga menyaksikan para seniman asuhan Pak Tanto Mendut, misalnya, hadir di Mocopat Syafaat. Dan yang paling istiqamah adalah puisi rusak-rusakan Pak Mustofa W Hasyim.

Demikianlah secara sederhana jika kita melihat Mocopat Syafaat dengan lensa budaya. Namun, jika kita melihat dengan lensa yang lain, lensa urban dan pendidikan, kita dapat menemukan feature lain dari Mocopat Syafaat. Yaitu, diikuti oleh banyak mahasiswa di Yogyakarta. Dan itu sejak awal hingga saat ini. Kenyataan demikian mudah dipahami mengingat Jogja adalah kota pelajar atau kota pendidikan.

Pengamatan sekilas tetapi dengan tajaman yang lebih dekat mungkin menemukan situasi seperti ini. Mereka, para mahasiswa yang tak mau hanya kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang), mereka tentunya butuh sarana aktivitas lain yang menunjang pembelajaran dan isi waktu mereka.

Sementara, dalam konteks pengembangan pengetahuan, bisa juga mereka menjumpai kuliah-kuliah yang melelahkan, membosankan, dan pada saat yang sama mereka butuha wawasan yang aktual, kontekstual, dan terkini. Tatkala sarana dan unit-unit kegiatan yang lain barangkali tak memenuhi, maka diam-diam di dusun Jetis Tamantirto Kasihan Bantul mereka menemukan “kerumunan” yang menarik dan menjanjikan.

Alhasil, Mocopat Syafaat sedari dulu dihadiri oleh banyak mahasiswa (meski mereka datang tidak memakai jas almamater). Jika mereka sudah lulus kuliah, lalu pulang ke kampung, di dalam hati mereka, mereka tidak hanya menyebut dirinnya alumni perguruan tinggi tertentu di Yogyakarta, tetapi juga almuni Mocopat Syafaat.

Bukan tidak mungkin malahan yang disebut terakhir itu adalah “universitas” yang sebenarnya lebih banyak menyuplai perspektif ke dalam kepala mereka dalam memandang macam hal, fenomena, dan peristiwa yang berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dll. Maka mereka suka kangen ingin datang lagi ke Mocopat Syafaat.

Dari situ kita dapat melihat dan merasakan Mocopat Syafaat telah menjadi univeristasnya banyak para mahasiswa di Yogyakarta yang menemani pembelajaran mereka dengan cara-cara belajar dan berpikir yang berbeda namun diusahakan komprehensif dalam membaca berbagai hal. Pulang dari universitas ini, mereka membawa pelajaran mengenai metodologi berpikir terutama yang dicontohkan oleh Mbah Nun.

Sebuah universitas yang salah satunya mengajarkan dan mendorong kepada para mahasiswanya untuk jangan sampai tidak lulus dari kampus “satunya” itu dengan alasan mendasar, di antaranya, demi membahagiakan kedua orangtua mereka yang telah membiayai kuliah mereka dan punya harapan besar kepada mereka.

Yogyakarta, 17 Januari 2020

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version