Tungtung Teuteupan
Tema yang disajikan di majelisan Lingkar Daulat Malaya kali ini, merujuk pada judul buku sekaligus bagian judul sajak sunda karya Kang Acep Zam Zam Noor, ‘Tungtung Teuteupan’.
Kata tungtung dalam bahasa Indonesia umum,secara harfiah berarti ujung. Adapun bahasa sastra bisa jadi lain lagi artinya, ada makna yang lain. Ujung tidak hanya berarti akhir, bisa jadi ia merupakan permulaan atau babak baru disetiap tahapan perjuangan dan rangkaian perjalanan manusia. Sebagaimana Mbah Nun pernah memaparkan makna lafadz ‘Kun Fayakun’ itu suatu keterjadian yang terus menerus berlangsung. Titik tekan nya ada di lafadz ‘fayakun’-nya, bentuk fiil mudhore yang bermakna sedang dan akan terjadi.
Adapun kata ‘teuteupan’, berasal dari kata dasar teuteup, yang arti umum didalam bahasa Indonesia itu melihat. Tapi konteksnya bukan melihat pada umumnya, lebih tepatnya memperhatikan-dengan penuh kekhusukan-yang dibarengi dengan adanya gerak penghayatan batin yang mendalam.
Kata teuteup (bentuk kata kerjanya neuteup) biasanya ditempatkan pada kondisi seorang bayi (kira kira umur 3 bulan keatas) yang sudah mulai awas penglihatannya, akan mulai memperhatikan dalam dalam untuk mengenal ibu bapak dan sanak keluarganya.
Penglihatan yang tidak hanya menggunakan mata raga, melainkan lebih diikat oleh mata jiwa. Kalau dalam term bahasa arab, kata kerja yang dipakai bukan nadhor, tetapi bashor, getarannya dikenal dengan istilah bashiroh. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, kita pernah atau sering menemukan potongan ayat Afalaa Tubsyiruun’ (Apakah kalian tidak memperhatikan?).
Jadi kesimpulannya bahwa ‘Tungtung Teuteupan’ itu ‘Yaa Ampun’, rupa rupa warnanya; mejikuhibiniu bagi tiap-tiap penelaahnya. Yasudahlah, intinya mari kita berjumpa kembali di malam nanti.