Tuhan yang (Tidak) Melenakan
Pada suatu hari, ada teman menelepon dan menanyakan, “kamu suka musik to?”. Kebetulan saat menerima telepon, saya sedang nge-tune perangkat audio. Saya jawab, “iya”.
Kemudian teman saya menyarankan saya untuk tidak terlalu sering mendengarkan musik. Karena hal itu membuat kita mudah terlena dari ibadah. Saya jawab, “Jangankan musik, hal lain pun bisa membuat kita terlena, bahkan Tuhan pun bisa membuat kita terlena”.
Tampaknya teman saya agak jengah dengan jawaban tersebut. Kemudian saya jelaskan (tanpa menyebut narasumbernya) di dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa Allah Maha Bekerja, Maha Sibuk. Saya berikan analogi sederhana, jika pimpinan perusahaan saja selalu sibuk dan terus bekerja maka sebagai anak buah atau karyawan tentu harus ikut menyibukkan diri dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kalau karyawan yang setiap saat menyebut nama pimpinan, sangat takut dimarahi pimpinan, dan (hanya) mau ditegur oleh pimpinan, berdasarkan pengalaman saya dalam memimpin perusahaan, mereka bekerjanya kurang efektif, meskipun juga tidak buruk. Hanya saja itu agak melelahkan, karena setiap ada hal yang kurang sesuai harus saya tegur sendiri. Mereka itu saya sebut sebagai “karyawan yang terlena oleh pimpinan”. Bahkan gajinya pun kalau saya potong, dengan takzim mereka tidak bertanya sebabnya.
Sementara itu, ada karyawan lain yang tampak kurang jangkep sopan santunnya dengan saya, cara bicaranya lurus blak-blakan, bahkan kadang berani membantah jika dia menemukan hal yang lebih baik, tetapi di jam istirahat dan di luar jam kerja sering saya pergoki dia masih melakukan tugas yang saya berikan. Mereka itu saya sebut sebagai karyawan yang tahu hakikat dirinya. Dan itu membuat saya sering mengamati apa saja keperluan dia yang urgent, yang tidak pernah secara khusus meminta bantuan saya, hingga saya merasa perlu memberikan padanya.
Saya kemudian melanjutkan imajinasi enteng-entengan setelah cukup lama bercakap-cakap dengan teman saya tadi. Apakah semacam itu ya aneka ragam cara manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada yang tampak biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus, baik pakaian, gaya bicara, bau minyak wangi dan kegiatan rutin yang agamis, tetapi kegiatan hariannya secara efektif bermanfaat kepada diri, keluarga, dan lingkungan sejauh yang berada dalam jangkauannya.
Saya pun akhirnya melakukan flashback tentang kualtias pekerjaan saya selama ini. Teringat beberapa waktu lalu ketika Mbah Nun menyampaikan hakikat khusyu’-nya shalat yang sangat tidak bisa saya bantah, benar-benar membuat saya menjadi kesulitan memohon kepada Allah atas kesulitan yang pernah saya alami.
Bahwa benar saya selalu bekerja bahkan di luar yang disebut “jam kerja”. Bahwa benar uang hasil kerja tidak saya gunakan untuk yang disebut “maksiat”, bahkan mungkin semua syarat agama tentang harta sudah sedikit banyak saya penuhi. Ternyata bukan itu. Khusyu’-nya shalat adalah adanya totalitas, passion, bergembira dengan pekerjaan. Apa yang menjadikan kita “sibuk” dan membuat kita “bekerja” hingga output-nya adalah asas manfaat, itulah hakikat shalat. Maka kita harus menumbuhkan iklim untuk khusyu’. Dan itulah yang saya selama ini masih abai, terlena.
Saya tidak begitu memperhatikan janji ketika berjanji. Tanggal sekian harus mengirim barang, tidak saya mempersiapkannya jauh-jauh hari. Saya tidak mengkalkulasi dengan detail semua beban pekerjaan, rodo nggampangne sehingga tidak mendapatkan sisa keuangan yang disebut “margin” . Sementara ketika saya melihat alam semesta kecil di sekitar saya, peredaran matahari, pepohonan, tetumbuhan, hewan piaraan, di situ saya melihat kesempurnaan. Berarti di balik kesempurnaan, tentu ada kalkulasi, perencanaan, dan manajemen risiko yang lengkap. Itu semua membutuhkan passion, antusiasme, dan itu pasti pekerjaan yang sangat “menyibukkan”-Nya.
Maka benar bahwa Tuhan Maha Bekerja, Tuhan Maha Sibuk. Dan jika saya menisbatkan diri “berusaha menjadi orang yang beriman” maka saya harus sibuk bekerja mengkalkulasi, menghitung, memikirkan dan mengaplikasikannya sehingga produk pekerjaan saya disukai karena kualitanya, karena ketepatan waktu selesainya. Dan pada akhirnya terakumulasi keuntungan, yang selanjutnya berlaku asas pertumbuhan, di mana buah dinikmati oleh banyak orang yang memerlukan.
Saya baru sadar, selama ini saya masih taraf “terlena kepada Tuhan”. Sama sekali belum “waspada kepada Tuhan” sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan istilah taqwa. Jika saya mentadabburi ayat 102 surat Ali Imron, yang terasa dalam benak saya adalah agar saya menerapkan “kewaspadaan yang logis dan jangan sampai meninggalkan suatu kesibukan dengan status wanprestasi.”