Tonggak Maiyah dan Ketidakadilan Global
Bergelimang Virus
Kalau seorang bintang berlaga di panggung, disorot spotlight dan tata lampu warna-warni, kita menyebut ia bergelimang cahaya. Hari ini manusia sedunia, termasuk kita, hidup di dalam kungkungan kekuasaan Covid-19. Covid-19 adalah hantu, yang ilmu pengetahuan manusia yang tercanggih pun tidak bisa menolong kita, tidak sanggup menginformasikan secara jelas dan kasat mata tentang hantu itu. Maka orang Maiyah memilih satu respons di antara tiga pendekatan.
Pertama, seluruh tubuh kita dipenuhi virus, pakaian, rambut, dan jari-jari tangan dan semua bagian badan kita sendiri penuh virus, sampai bahkan kita sendiri adalah virus. Maka pilihan kemuliaan hidup adalah menjaga dan melindungi jangan sampai ada siapapun manusia lain yang terjangkit. Maka kita terapkan prosedur kewaspadaan, protokol kesehatan, jangan sampai kita membahayakan siapapun.
Kedua, seluruh permukaan bumi bergelimang virus. Semua manusia di dunia bergelimang virus. Manusia dikepung dan diliputi virus di mana saja dan kapan saja. Di rumah, kamar, meja makan, piring sendok garpu, baju, barang-barang apa saja, termasuk apa saja yang keluar dari tenggorokan dan mulut kita bergelimang virus. Bahkan siapa tahu ketika telepon kita sebenarnya sedang mengirimkan virus kepada teman di seberang. Karena setiap menarik napas, kita mengimpor virus, ketika melepaskan napas, kita mengekspor virus. Maka kita memprotokoli setiap langkah, perilaku dan keberadaan kita dengan kewaspadaan fisik.
Ketiga, karena hantu, maka ukurannya tidak kontan dan hitam putih, melainkan gradual dan berlapis-lapis sangat tipis. Karena kengerian tiap saat, kita bisa menjadi lebay. Atau karena kita yakin kepada Maha Subjek Kehidupan, kita bertawakkal, tapi bisa terseret sampai ke area sembrono. Orang Maiyah tiap saat meningkatkan kepekaan dan sensor presisi yang tepat antara ranah lebay dengan area sembrono. Pelatihan presisi itulah yang membimbing setiap langkah, keberadaan, dan keputusan orang Maiyah.
Itulah Tonggak Maiyah 18 September 2020. Surat ke-18 adalah Al-Kahfi. Ayat ke-09 adalah “Am hasibta anna ashhabal Kahfi war Raqimi kanu min ayatiNa ‘ajaba”. Apakah kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) Raqim (atau Kitmir, anjing penjaga Gua Lockdown) itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mentakjubkan? Bahkan sejak awal pandemi kita sudah berpikir sangat jauh ke depan: mengandaikan suatu uzlah panjang “Lockdown 309 Tahun”. Tidak hanya mengkontemplasikan, merenungkan, men-tadzkir dan men-tafkirkan Covid-19, tapi juga “Covid-1945”, virus Internet dan Medsos dll. Gua Lockdown adalah maqam, peluang dan momentum yang paling ideal, efektif dan indah untuk perenungan dan kreativitas. Maiyah sudah punya terminologi pembidangan Zira’ah, Shina’ah dan Tijaroh. Tinggal di-breakdown oleh setiap pelaku Maiyah.
Kedaulatan Bersama
Sebuah pertemuan khusus di Rumah Maiyah Kadipiro 17 September 2020 merekomendasikan tiga kata kunci atau tiga pintu kreativitas. Pertama, yang paling mendasar: semua dan setiap Jamaah Maiyah, di areanya masing-masing, di Simpul dan lingkarannya masing-masing memastikan keberdayaan hidup keluarganya masing-masing. Pekerjaannya yang lama atau baru, usaha ekonominya, iguh dan ubet kreatifnya untuk menafkahi keluarga. Makan minumnya, sekolah dan kegiatan rutinnya, ide-ide kreatif dalam keluarga, pekerjaan dan nafkahnya serta seluruh dimensi penghidupan dalam kehidupannya.
Setiap problem, kemandegan atau masalah di suatu titik, dipersambungkan dengan lainnya, berentang kemashlahatan, berangkai atau mata-rantai survivalitas, mensinergikan segala kemungkinan keberdayaan sesama Maiyah. Teritorial Negeri Maiyah bukan mengacu pada geografi Negara, melainkan berdasar ukuran daya jangkau pemaiyahan. Lingkup daya jangkau pemaiyahan itulah desanya, kecamatannya, kabupatennya, provinsi dan Negaranya. Itulah bottom-up, penyebaran dan peluasan sel-sel Maiyah.
Pertemuan Rumah Maiyah Kadipiro itu memastikan Maiyah tidak menyelenggarakan gerakan berupa mobilisasi top-down misalnya melalui Ormas dan Parpol atau gerakan revolusi nasional. Maiyah tidak melakukan upaya penggantian kekuasaan Negara, sebagaimana momentum 1945, 1966, 1998 atau di semua sejarah Kerajaan-kerajaan di tanah air kita. Tidak melakukan terorisme fisik. Tidak ngebom dan membunuh. Tidak melakukan berbagai paksaan dan pemaksaan.
Negara Indonesia dan dunia ini ibarat sebuah kebun, yang tanam-tanaman kecilnya tidak tumbuh subur karena sinar matahari ditutupi oleh sebuah pohon besar (ingat album KK “Menyorong Rembulan”). Maiyah meletakkan diri di pojok seberang pohon besar itu. Wirid dan Hizib Wabal menghasilkan taburan virus dari angkasa, menimpa Maiyah sendiri karena berada di kebun yang sama.
Tetapi tha’un dari angkasa qudratullah itu cepat atau lambat merontokkan pohon besar itu serta merusak semua tanaman di kebun, yang Maiyah berada di lingkupnya. Andaikan pohon besar itu tumbang atau ditumbangkan, reruntuhannya juga akan ngembyuki atau merusak semua tanaman di kebun. Maka Maiyah membatasi watak revolusioner dan gerak radikalnya hanya di area workshop berpikir jamaahnya, dengan sangat berhati-hati jangan sampai merusak kebunnya.
Ketidakadilan
Sesudah sampai pada tahap yang signifikan dan nyata untuk berkeberdayaan hidupnya, baru Maiyah menyusun Kedaulatan Maiyah. Yakni kedaulatan bersama. Bersama siapa? Bersama siapa saja yang terjangkau oleh kemashlahatan Maiyah, yang juga membersamai dan dibersamai oleh Kanjeng Nabi dan Allah Swt. Maiyah tidak berpikir dan berniat untuk berkuasa atas (ukuran, term) Negara atau Dunia. Tetapi Maiyah berikhtiar, berjuang, berjihad dan berijtihad untuk berdaulat atas diri dan tanah airnya sendiri.
Kedaulatan Maiyah pasti berjumpa, bergesekan atau bahkan berbenturan dengan kekuasaan di lingkup kehidupannya, misalnya Negara. Pertemuan Kadipiro memastikan bahwa kata kunci dari kendala terhadap Kedaulatan Maiyah adalah berlangsungnya ketidakadilan. Ketidakadilan sistemik dan struktural. Ketidakadilan sosial, ketidakadilan pengetahuan dan informasi, ketidakadilan atas harkat manusia dan rakyat, ketidakadilan budaya, ketidakadilan hati dan pikiran, ketidakadilan peradaban, ketidakadilan kepada keniscayaan Tuhan dan semua yang dianugerahkan oleh-Nya, dari Nabi-Nabi hingga sumber daya alam yang melimpah-limpah.
Selama memperjuangkan keberdayaan hidup dan kedaulatan bersama, para pelaku Maiyah memandang ke depan (waltandhur ma qaddamat li-ghad), berpikir dan membuka hati lebar-lebar memohon petunjuk Allah, menabung kesadaran-kesadaran, menggali di bumi dan memetik di langit apa-apa saja yang bisa dilakukan terhadap ketidakadilan menyeluruh itu.
Mungkin terdapat di antara Jamaah Maiyah yang sudah menjadi tokoh masyarakat, menjadi pemimpin lingkungannya pada konteks Imam, Rais, Hakim, Lurah, Camat, Bupati, Dalil, Za’im, ‘Amid atau Mursyid sosial dan satuan-satuan Khalifah lainnya, bahkan seandainya Presiden pun. Atau pada posisi “ing ngarsa sung tulada” atau “ing madya mangun karsa” atau “tut wuri handayani”. Dan semua itu tidak masalah dalam Maiyah sejauh mengendalikan diri dalam koridor Maiyah.
Dengan niat dan konsep dasar yang disumpahkan bahwa Maiyah selalu mendasari langkahnya dengan “ud’u ila sabili Rabbika bilhikmati wal mau’idhatil hasanah”. Selalu bil-hikmah. Maiyah sudah lama belajar peta dan prinsip aktivasi kebenaran, kebaikan, keindahan, dapur dan warung, hingga benar sejati dan hikmah. Maiyah tidak menggunakan paksaan atau kekerasan, apalagi kekejaman. Tidak melakukan kudeta atas Pemerintah. Tidak melakukan revolusi rakyat karena tidak mungkin bisa menjamin nasib mereka yang akan “kembrukan atau kambyukan” pohon besar. Tidak memadatkan diri dengan mekanisme top-down menjadi Ormas atau Parpol atau apapun yang selama ini terbukti gagal menyelenggarakan perubahan yang mendasar dan signifikan. Maiyah hanya melakukan yang aman bagi semuanya dalam lingkup “rahmatan lil’alamin”. Maiyah hanya mengerjakan yang diizinkan oleh nilai-nilai Allah, atau yang diinspirasikan atau diperintahkan oleh Allah Swt.
Sebagaimana Maiyah itu sendiri bukanlah hasil bangunan saya atau orang-orang Maiyah sendiri. Maiyah bukan suatu model berkah yang saya pribadi pernah atau berani mencita-citakannya. Maka “la raiba fihi hudan lilmuttaqin”. Tak ada keragu-raguan apapun pada saya dan semua Jamaah Maiyah, bahwa “hudan” itu selangkah di depan pijakan kaki kita — akan segera didawuhkan oleh Allah Swt. Maka Tonggak Maiyah 18.09.2020 ini, kalau Surat 18 ayat 9 adalah uzlah lockdown sebagaimana dituturkan di awal tulisan ini: maka Surah 20 ayat 20 adalah:
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ
“Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”.