Tolong, Maaf, dan Terima Kasih
Beberapa waktu lalu saya ditegur istri lantaran hal yang (sepertinya) sepele. Saya memintanya mengambil tisu untuk mengelap sisa coklat yang menempel di pipi anak saya tanpa mengucapkan kata tolong terlebih dahulu. Spontan Ia berujar, “asakan untuk mengucapkan kata tolong.”
Dengan perasaan sedikit malu, saya pun meminta maaf kepada istri, lantas mengulangi kalimat saya.
“Bu, minta tolong ambilkan tisu.”
Istri saya langsung beranjak dari tempat duduknya, sembari tersenyum dan bergegas mengambil tisu di meja kamar.
Kebiasaan mengucap kata tolong sebetulnya sudah menjadi tradisi di keluarga kecil kami. Namun entah karena lupa, kelupaan, terburu-buru, atau mungkin faktor ngantuk dan capek, saya alpa untuk mengucap tolong sebelum meminta bantuan atau pertolongan.
Selain kata tolong, kata maaf dan terima kasih juga akrab terdengar dalam obrolan kami sehari-hari. Kata maaf biasa digunakan apabila melakukan hal-hal yang kurang berkenan pada orang lain. Baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kata terima kasih lazim diucapkan ketika kita merasa ditolong, diberi, diapresiasi, diuntungkan atas kebaikan orang lain.
Perihal tradisi mengucapkan terima kasih, Mbah Nun punya pengalaman unik saat “menggelandang” di Eropa silam. (Silakan teman-teman menyimak video Maharaja Sebab Akibat di caknun.com). Di Eropa sana Mbah Nun sempat bersinggungan dengan berbagai macam orang lintas profesi. Ada dosen, ilmuwan, dokter, akademisi, pendeta, seniman, dll.
Mbah Nun berkisah, dalam obrolan ringan bersama rekan-rekan di sana, acapkali beliau mengucap kata terima kasih (atau dank je dalam bahasa Belanda, danke-Jerman, thanks – Inggris) di sela-sela obrolan. Spontan, mereka pun menegur Mbah Nun. “Kenapa kamu ucapkan terima kasih terus padaku, padahal aku tidak memberi apapun kepadamu. Aku juga tidak berbuat apa-apa untuk negaramu.”
Tanpa mereka sadari, ucapan terima kasih yang terlontar dari Mbah Nun sejatinya bentuk refleks. Spontanitas. Atau pakulinan. Di mana setiap kali kita memperoleh kebaikan (apapun bentuknya) seketika lisan akan mengucapkan terima kasih. Hal tersebut menjadi salah satu ciri bahwa lidah orang Timur (Indonesia) sangat tidak pelit untuk menuturkan kata terima kasih.
Di sisi lain, Mas Sabrang mentadabburi ayat Maaliki yaumid-diin (Al-Fatihah ayat ke-4) lebih komprehensif. Menurutnya, Allah tidak hanya sebatas Raja di hari pembalasan. Tetapi, Allah juga berposisi sebagai Maharaja sebab-akibat. (Kalau Maa di panjangkan artinya penguasa/Maharaja. Kalau ma di pendekkan berarti raja, coba tengok surat An-Naas). Ini sangat masuk akal. Bukankah episode kehidupan kita selalu diwarnai hubungan sebab-akibat?
Bersebab makan, akibatnya kenyang. Bersebab kerja, akibatnya dapat uang (penghasilan). Bersebab korupsi, akibatnya dibui. Bersebab Corona, berakibat banyak karyawan di PHK. Dan lain sebagainya.
Suatu kali Mas Sabrang pernah menggoda dengan pertanyaan, apa yang tidak dimiliki oleh Tuhan? KETERBATASAN. Karena Tuhan memiliki sifat Maha, maka Dia tidak memilki batasan-batasan. Pernyataan tersebut kian meneguhkan bahwa ayat Maaliki yaumid-diin tidak terbatas bermakna Penguasa hari pembalasan. Tetapi sangat mungkin di tadabburi Allah adalah Maharaja sebab-akibat. Allah Maharaja seluruh jagad raya (Wallahu’alam)
Berangkat dari proses ijtihad tadabbur Mas Sabrang terhadap ayat Maaliki yaumid-diin yang bermakna Maharaja sebab-akibat, saya men-ijtihad-i untuk merangkai kata tolong, maaf, dan terima kasih menjadi formasi SEGITIGA KATA (ini istilah saya sendiri).
Kata tolong ada di titik bawah sebelah kiri (berposisi sebagai sebab), kata maaf ada di titik bawah sebelah kanan (berposisi sebagai penengah/penetralisir). Dan kata terima kasih berada di titik atas (berposisi akibat).
Cara kerjanya bagaimana?
Jika tolong adalah sebab, maka akibatnya adalah terima kasih. Contoh sederhananya seperti kasus saya di atas. Saya meminta tolong kepada istri untuk mengambilkan tissu, dan setelah diambilkan, secara spontan (refleks) saya akan mengucapkan terima kasih. Saya senang karena ditolong, istri saya bahagia karena diapresiasi pertolongannya.
Bisa jadi hari ini kita yang ditolong, bisa jadi esok giliran kita yang menolong. Istilah orang Jawa, urip iki rak mung genténan. Saiki ngei, sesuk genti dikei. Saiki jajakke, sesuk genti dijajakke. Saiki nyumbang, sesuk genti disumbang. Dan seterusnya. Kalau kita menolong, kita diucapi terima kasih. Kalau kita yang ditolong, kita yang mengucapkan terima kasih. Momenlah yang menuntun dan menentukan.
Sebaliknya, andai istri saya menolak atau tidak mau menolong saya mengambilkan tisu, maka seyogianya Ia mengucapkan “maaf”. Dengan kata maaf karena tak mau menolong, maka pihak pertama (yang meminta tolong dalam konteks ini saya) mesti menerima. Legawa. Tidak marah atau memarahi. Kan sudah minta maaf. Yo nek ra ditulungi ojo nesu. Usaha dewe kan yo iso. Begitu kira-kira analoginya. Dengan begitu kata “maaf” berposisi sebagai penengah/penetralisir. Jangan lupa, meminta maaf atau memberikan maaf sama-sama mulia.
Kata tolong, maaf, dan terima kasih sepertinya terkesan sepele. Remeh. Dan tak berkontribusi apa-apa. Namun jika hal itu (SEGITIGA KATA) dibiasakan dalam komunikasi, dan perilaku hidup sehari-hari, maka akan terbangun iklim lingkungan yang baik. Orang akan saling ngajeni, peduli, tidak gampang marah, tidak mudah menyalahkan, dan pandai mengapresiasi. Kita bisa memulai “kebiasaan baik” itu dari lingkup paling kecil yakni keluarga.
Seperti yang dialami Mbah Nun, bahwa orang Timur (bangsa Nusantara) memiliki kegemaran mengucapkan terima kasih kepada hal apapun yang bernilai kebaikan. Dan itu menjadi modal bagus bagi kita untuk terus menjadi bangsa yang berbudi luhur — berakhlak mulia.
Sebobrok-bobroknya negara, jika rakyat/masyarakat masih setia membiasakan — membudayakan karakter baik tersebut, semoga dan semoga kerukunan, kedamaian, dan ke-bhinneka-an kita tetap awet, langgeng sampai paripurna.
Rumusnya sederhana, habit —> culture —> civilization.
Gemolong, 28 Oktober 2020