CakNun.com

Time for a Grand Accord

Ian L. Betts
Waktu baca ± 5 menit
Cak Nun bertemu pendeta Hofman saat Beliau bersama Kiaikanjeng ke Belanda tahun 2008. Pertemuan kembali setelah 24 tahun. Dok. Progress.

Indonesian Version

A number of senseless recent deaths have resulted from the repeated publication of the “Muhammad cartoons” in France. Since their first publication by the Jyllands Post in Denmark these cartoons, intended to be satirical in nature, have been the cause of numerous deaths as Muslims, deeply offended by the insult to their prophet react with what they believe to be rightful and just violence.

This has to end.

President Macron of France responded to the string of killings by accusing militant muslims of seeking an “Islamic separatism” and justified the publication of the cartoons in the name of free speech. Indonesia’s President Widodo replied, condemning the French president’s comments and the implication that these acts of terror were connected to Islam.

In 2006, Emha Ainun Nadjib, Cak Nun, responded to the original publication of the cartoons with an essay called “Karikatur Cinta”, or “Caricatures or Love”. In it, he called for a measured response, one that would help to resolve and mitigate the issues at hand without violence. In 2006 he was the keynote speaker at The Age Writers Festival in Melbourne, Australia, responding to the concerns felt in that country about the campaign of violent terrorism that was being perpetrated at that time by the militant Jemaah Islamiyah jihadist movement.

Two years later in 2008, with the gamelan-fusion orchestra KiaiKanjeng, he toured the Netherlands with a series of speaking engagements, performances, high level meetings and media appearances. These were held in churches, mosques, synagogues, government offices and television studios and were made in response to the release of the film “Fitna” by Dutch politician Geert Wilders, a film that like the Muhammad cartoons, offended a great many Muslims around the world and led to violence, unrest and calls for boycotts. That engagement would result in an.

Agreement on Good Relations between Faith Communities in the Netherlands. It would be followed by a similar trip to Finland shortly after, designed to assist agencies in that country to support and adjust to the presence of Muslim communities there.

These and countless other engagements, events and writings, demonstrate that Cak Nun, and the Maiyah movement he founded and leads in Indonesia, is a legitimate voice in the Islamic spectrum. The Maiyah movement, which strives for inclusivity and pluralism in Islam and in its relations with all faith communities and those of none, is an authentic partner in the global discourse on faith. We say it is time for a Grand Accord on religious tolerance and freedom of speech.

The western democracies were built on liberal principles, and their establishment was only achieved after a long struggle. They can be proud of that and the impact and influence those principles have had on world cultures. Equally, Islam and the nations and peoples who follow it have attained great heights in their own cultures. Their contributions to world cultures are of less significance than those of the west.

With this in mind, and considering the emotions and values that are invested in both the principles of free speech and the honour of the Prophet Muhammad respectively, we call on the governments and leaders of Islamic communities around the world to join in a Grand Accord wherein all peoples uphold freedom of speech but agree to refrain from the publication or use of cartoons and other media that would clearly offend Muslims around the world.

We, the people of the Maiyah, with our authentic voice in Islam and long experience in diverse social engagement, are ready to convene a dialogue and forum of peoples designed to achieve this objective.

In the name of humanity, let’s end the violence.

Bangkok, 4 November 2020
Ian L Betts

Saatnya Membangun Kesepakatan Besar

Sejumlah kematian yang mengerikan baru-baru ini terjadi disebabkan oleh penerbitan secara berulang-ulang “kartun Muhammad” di Perancis. Sejak publikasi pertamanya oleh Jyllands Post di Denmark, kartun-kartun yang sejak awal telah diniatkan untuk satir ini telah menjadi penyebab banyak kematian ketika umat Muslim, karena sangat tersinggung oleh penghinaan terhadap Nabinya, bereaksi dengan tindakan kekerasan yang mereka yakini benar dan setimpal. Ini harus diakhiri.

Presiden Perancis Macron menanggapi serangkaian pembunuhan tersebut dengan menuduh Muslim militan memperjuangkan “separatisme Islam” dan melegitimasi penerbitan kartun tersebut atas nama kebebasan berbicara. Presiden Indonesia Joko Widodo mengutuk komentar presiden Perancis tersebut dan menolak penyimpulan bahwa tindakan teror ini ada kaitannya dengan Islam.

Pada tahun 2006, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun menanggapi penerbitan awal kartun-kartun itu dengan esai berjudul “Karikatur Cinta”. Dalam esai ini, Cak Nun mengajak kita untuk merespons secara terukur, sesuatu yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan dan mengurangi masalah tanpa adanya kekerasan.

Pada tahun 2006 Cak Nun menjadi narasumber pada acara “The Age Writers Festival” di Melbourne, Australia, di mana beliau merespons isu-isu yang dirasakan prihatin di negara tersebut tentang kampanye menentang terorisme kekerasan yang sedang dilakukan oleh gerakan jihadis Jamaah Islamiyah.

Dua tahun kemudian pada tahun 2008, bersama kelompok musik Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun melakukan tur ke Belanda dengan serangkaian pertemuan dialog, pementasan, rapat koordinasi tingkat tinggi, dan kehadiran di depan media. Acara ini diadakan di gereja, masjid, sinagog, kantor pemerintah dan studio televisi dan dimaksudkan sebagai respons atas dirilisnya film “Fitna” oleh politisi Belanda Geert Wilders, sebuah film seperti kartun Muhammad, yang menyinggung perasaan sebagian besar umat Muslim di seluruh dunia sehingga menyebabkan timbulnya kekerasan, kerusuhan, dan ajakan untuk boikot. Dialog-dialog Cak Nun di Belanda tersebut menghasilkan Perjanjian tentang Hubungan Baik antara Komunitas Antar Agama di Belanda. Tur ke Belanda itu tak lama kemudian disusul dengan perjalanan serupa ke Finlandia, yang dirancang untuk membantu badan-badan di negara itu untuk memberikan dukungan dan mengakomodasi keberadaan komunitas-komunitas Muslim di sana.

Seluruh keterlibatan, acara, dan tulisan di Belanda dan Finlandia itu, serta di lain-lain tempat yang tak terhitung jumlahnya, menunjukkan bahwa Cak Nun, dan gerakan Maiyah yang beliau inisiasi dan pimpin di Indonesia, adalah suara yang representatif dalam spektrum Islam. Gerakan Maiyah, yang berjuang untuk inklusivitas dan keragaman dalam Islam dan dalam hubungannya dengan semua komunitas agama dan non-agama, adalah mitra otentik dalam wacana global tentang iman. Kami berpendapat bahwa sudah waktunya untuk membuat Kesepakatan Besar tentang toleransi beragama dan kebebasan berbicara.

Negara-negara Demokrasi di Barat dibangun di atas prinsip-prinsip liberal, dan pembentukannya dicapai setelah melewati perjuangan yang panjang. Mereka boleh bangga akan hal itu dan bangga akan dampak serta pengaruh prinsip-prinsip tersebut terhadap budaya dunia. Demikian pula, Islam dan bangsa-bangsa dan orang-orang yang mengikutinya telah mencapai ketinggian dalam budaya mereka sendiri. Kontribusi mereka terhadap budaya dunia kurang signifikan dibandingkan dengan kontribusi Barat.

Dengan pemikiran ini, dan seraya mempertimbangkan perasaan serta nilai-nilai yang ditanamkan dalam prinsip-prinsip kebebasan berbicara dan penghormatan kepada Nabi Muhammad, kami menyerukan kepada seluruh pemerintah dan pemimpin komunitas Islam di seluruh dunia untuk bergabung dalam Kesepakatan Besar di mana semua orang menjunjung tinggi kebebasan berbicara tetapi setuju untuk menahan diri dari publikasi atau penggunaan kartun dan media lain yang jelas akan menyinggung umat Muslim di seluruh dunia.

Kami, orang-orang Maiyah, dengan suara otentik kami dalam Islam dan pengalaman panjang dalam keterlibatan sosial yang beragam, siap untuk mengadakan dialog dan forum yang dirancang untuk mencapai tujuan ini.

Atas nama kemanusiaan, mari kita akhiri kekerasan.

Ian L. Betts
Ian Leonard Betts, lahir di London April 1964. Lulusan Exeter University, Master International Studies, 2003. 1994 belajar Pokok-Pokok Al Qur’an dan Filsafat Islam di Institut Paramadina. Author of Jalan Sunyi Emha.
Bagikan:

Lainnya

Zaeta, Bidadari Surga (3)

Zaeta, Bidadari Surga (3)

27 April, 8:52 pm

Malam hari sesudah praktek, saya mendapat berita meninggalnya Zaeta, dari ibunya.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Bencana Yang Sesungguhnya

Bencana Yang Sesungguhnya

Coronavirus lebih populer dari apa pun dan siapa pun saja hari-hari ini di seluruh dunia.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version