Tiga Nilai Hidup dari Mbah Nun
Di Kenduri Cinta edisi September 2018 Mbah Nun menyampaikan, “Hendaklah Anda waspada kepada Saya. Anda harus hati-hati kepada Saya. Anda harus tidak boleh menelan begitu saja omongan Saya. Anda harus mempunyai kecurigaan sedikit positif. Jangan sembrono mendengarkan Saya…. Jangan percaya sama Cak Nun, tanpa mengerahkan kedaulatan akal, nurani, dan kerohaniaan Anda.”
Dari situ saya menangkap Mbah Nun tidak berkenan dikultuskan. Bahkan disebut Ustadz dan Kyai pun enggan. Beliau lebih nyaman ketika disapa dengan Mbah.
Mbah adalah bahasa Jawa yang berarti orangtuanya orangtua kita. Mbah sendiri secara istilah dapat bermakna sebagai pengayom dan pemberi petuah.
Tak berbeda dengan para Jamaah Maiyah lainnya, saya memandang Mbah Nun sebagai seseorang yang multidimensional. Banyak aspek dan keilmuan yang Beliau bisa kemukakan. Mbah Nun adalah manusia ruang. Siapapun yang datang, Beliau terima. Bahkan orang yang membencinya pun Beliau maafkan dan terima.
Mbah Nun adalah magnet dalam pusaran Maiyah. Mbah Nun adalah mata cincin, sedangkan lingkarannya adalah Jamaah Maiyah. Betapa pengayoman Beliau sangat kuat bagi para anak cucu Jamaah Maiyah. Pada kegiatan Maiyahan ribuan orang berduyun-duyun datang. Mereka duduk berjam-jam. Anak kecil ikut berkumpul dan merasa nyaman. Walaupun hujan, jamaah tetap bertahan.
Hal demikian sudah lumrah di Maiyahan. Apakah gerangan yang membuat mereka mau datang dan duduk berjam-jam kalau tidak ada campur tangan Allah? Empat ribu lebih titik kunjungan yang tercatat. Mbah Nun berkeliling membesarkan hati masyarakat kecil agar menjadi diri yang bermartabat.
Masing-masing Jamaah Maiyah pasti akan berbeda bila mendeskripsikan Mbah Nun. Antara Jamaah satu dengan yang lain pasti berbeda pula. Tergantung apa dan bagaimana mereka mengenal Mbah Nun. Namun secara pribadi ada tiga nilai hidup dari Mbah Nun yang hingga sekarang saya jadikan pegangan.
Pertama, penyampaian mengenai konsep Segitiga Cinta antara Allah, Rasulullah, dan Hamba. Setiap langkah hidup, situasi apapun harus menghadirkan Allah dan Rasulullah. Seorang hamba harus selalu online kepada Allah dan Rasulullah. Seorang pemimpin harus meletakkan prinsip dasar itu di setiap pengambilan keputusan-keputusan.
Kedua, prinsip hidup menjadi diri sendiri. Allah telah memberikan fadhilah kepada tiap manusia. Fadhilah yang diberikan Allah akan berbeda pada setiap manusia. Tinggal manusianya itu sendiri mau meneliti atau tidak. Pada kenyataan yang sering terjadi adalah banyak sebagian manusia yang belum mengenal akan dirinya.
Ketiga, mengenai produktivitas kepenulisan Mbah Nun. Banyak buku dan tulisan Beliau yang sudah terbit, baik cetak maupun online. Di usia Beliau sekarang ini, masih berlanjut soal menulis. Isi tulisan Beliau pun sangat sesuai dengan keadaan yang sedang berlangsung. Selama pandemi Covid-19, tulisan Mbah Nun hadir di Caknun.com bahkan telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan judul Lockdown 309 Tahun.
Di usia Beliau yang memasuki 67 tahun ini, kami semua mendoakan Mbah Nun dan keluarga terus dianugerahi kesehatan oleh Allah Swt. Kami berharap Mbah Nun selalu membersamai, menasehati, dan menuntun kami dalam menemukan “jalan pulang”.