Tidak Ada Doa Tolak Rahmat
Coronavirus semakin merajalela. Para pengurus Negara tidak berlaku dalam suatu kesatuan berpikir. Setiap penduduk tidak bisa menunggu terus-menerus apa yang sebaiknya ia lakukan menit ini, jam ini, hari ini. Di sana-sini ada banyak kekaburan informasi, anjuran maupun aturan. Jangankan menjawab: sampai kapan keadaan seperti ini? Berapa minggu lagi? Berapa bulan lagi? Atau jangan-jangan berapa tahun lagi? Akan berapa kira-kira jumlah penduduk Negeri ini yang diangkut oleh para Malaikat berhijrah ke akhirat? Apakah tidak ada ahli yang mampu melakukan “waltandzur nafsun ma qaddamat lighad”, me-muhasabah-i apa yang hari-hari berikutnya akan terjadi, sebagai akibat dari (yang kita tetapkan dan lakukan) hari ini. Apakah tidak ada futurologi. Apa tidak ada anak-anak Indigo, pembelajar dan Santri-santri Kasyiful Hijab, yang bisa menuturkan kepada kita semua untuk menghadapi hari esok?
Makin hari makin banyak yang meminta doa, wirid, hizib atau apapun yang memungkinkan seorang hamba Allah terhindar dari “Tha’un” Corona. Sudah ada panduan untuk Jamaah Maiyah. Akan tetapi terkabul tidaknya doa kita terletak di perkenan Allah swt sendiri. Juga tidak tergantung pada doa apa yang dipilih, Asmaul Husna yang mana yang diwiridkan, doa-doa Rasulullah apa yang diintensifkan. Mungkin lebih tergantung pada totalitas jiwa kepasrahanmu kepada Allah. Bergantung pada penilaian Allah sendiri atas hidupmu. Jadi tidak ada SOP yang menjamin keselamatan kita, apalagi keselamatan bagi kita bermakna sangat teknis: “tidak terjangkit Corona”.
Semakin banyak kisah-kisah memilukan dari keluarga yang didera Corona. Juga ada manusia-manusia aktivis mèlsos (mèlèt sosial) yang gagah berani kepada kehidupan, kepada Tuhan dan dirinya sendiri — misalnya dengan merespons keluarga yang berduka: “O, si Anu itu dibayar untuk settingan berita” — tanpa mengemukakan data apapun. Sungguh sangat mengagumkan jenis respons orang semacam itu. Saya mengkategorikannya sebagai bagian dari “keajaiban manusia”. Kok tega, kok berani, kok bisa-bisanya bereaksi seperti itu, kok seperti tidak ada “wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarron yaroh”. Sebab-akibat dalam kehidupan, seperti tidak ada “ngundhuh wohing pakarti”, seperti tidak ada simulasi akal pikiran, juga tidak ada kelembutan perasaan ketika mengucapkan sesuatu keluar dirinya. Seolah-olah aktivis mèlsos adalah kumpulan staf khusus Allah yang 100% dilindungi hidupnya oleh Allah swt.
Untung Kanjeng Nabi Muhammad saw jauh-jauh hari sudah memaparkan harapan-harapan indah bagi siapapun kelak ummatnya yang menjadi korban wabah. “Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena ath-tha’un (wabah) adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad). “Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari).
Apalagi Rasulullah saw memaparkan suatu cara pandang yang seluruh penduduk Bumi saat ini sukar menerimanya. “Zaman dulu tha’un adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’” (HR Bukhari).
Menurut cara pandang itu, wabah penyakit menular sedunia yang dulu diturunkan Allah sebagai bentuk siksaan atau wujud adzab, kata Kanjeng Nabi “Allah menjadikannya rahmat bagi orang beriman”. Itu pun ditambahi wanti-wanti: “kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya”. Menahan diri di Negerinya, di provinsinya, di kabupatennya, di kampung dan desanya, RK-RW-RT-nya, di rumahnya masing-masing.
Bagaimana dalam kungkungan Coronavirus orang berpikir mencari atau meminta “Doa Tolak Bala”, sedangkan Kanjeng Nabi mengatakan bahwa “Allah menjadikannya rahmat untuk orang beriman”. Apakah diperlukan “Doa Tolak Rahmat”? Jamaah Maiyah sudah terbiasa menemukan kandungan-kandungan makna dari suatu peristiwa yang kaum mainstream umumnya tidak berpikir demikian. Jadi, kalau Allah bilang tha’un Corona ini rahmat, kewajiban makhluk yang dianugerahi akal adalah berjuang menemukan dimensi rahmatnya dari yang mereka alami.
Sudah pasti rahmat utama di balik Coronavirus adalah kita semua menjadi lebih berinisiatif mendekat kepada Allah. Secara substansial hidup kita menjadi berubah baik, atau menjadi lebih baik, lebih berhitung, lebih ikhlas dan khusyu’ beribadah, lebih waspada, lebih menjaga pikiran, hati, jasad dan perilaku. Di rumah siang-malam dengan anak-istri, memperbaiki silaturahmi keluarga, atau yang sudah baik ya memperindah hubungan sekeluarga. Dan tentu masih banyak sekali rahmat Allah di balik “tha’un” Corona.
Di Malaysia, sebaran Covid-19 paling banyak adalah dari Istighatsah Jamaah Tabligh di Masjid Petaling Jaya Kuala Lumpur. Teman-teman Jahulah ini kelompok Kaum Muslimin yang hidupnya mengutamakan ibadah kepada Allah, menghindari konflik, politik, perdagangan dan khilafiyah. Ketua Internasionalnya di Pakistan dulu adalah Syekh Abdul Halim Dimyathi dari Sragen. Mungkin ada di antara beliau-beliau ini mendengar jargon santri Gontor: “Berani hidup, tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut hidup, mati saja”. Mungkin ditambahi menjadi: “Tidak takut mati, asal Syahid”. Maka mereka berkerumun di Masjid Raya Petaling Jaya itu, dengan wacana dari Rasulullah di atas tentang 5 orang yang mati syahid.
Jamaah Maiyah terus sinau bareng dari tempatnya masing-masing. Jamaah Maiyah adalah Muslim aktif, namanya Mu`min. Bukan hanya orang yang ber-Islam, tapi juga beriman. Tidak hanya pasrah total kepada Allah, tatapi aktif bertindak mengamankan — bukankah hal pandemik ini “Allah menjadikannya rahmat bagi orang beriman”.