The Real Homework
Sepanjang hidup kita mengartikan “pekerjaan rumah” atau ”PR” adalah titipan pertanyaan Guru di Sekolah yang para murid harus mengerjakannya di rumah. Padahal pekerjaan rumah bagi setiap penghuninya adalah: menjaga keamanan rumahnya, memelihara kebersihannya, anak-anak membantu Ibu dan Bapaknya mengerjakan berbagai hal yang diperlukan di rumah.
Pekerjaan rumah adalah segala sesuatu yang menyangkut keperluan sebuah rumah hunian manusia yang harus dilakukan oleh penghuni sebuah rumah. Kalau di desa dulu anak-anak ya nimba, nyapu, dandan-dandan apa saja yang rusak, Ibu masak, bikinin kopi untuk Bapak, dst. Pekerjaan rumah adalah pekerjaan keluarga. Pekerjaan rumah tangga. Kemudian dipersempit, dikhususkan menjadi pekerjaan yang dibebankan oleh Guru di Sekolah untuk dikerjakan oleh murid di rumah. Kemudian berkembang: urusan apa saja yang belum terselesaikan, di mana pun, termasuk dalam urusan Pemerintahan, disebut “pekerjaan rumah”.
Sekarang kita sedunia didatangi tamu tak diundang yang namanya Covid-19. Tamu ini menghapus, membatalkan, menghilangkan berbagai macam pekerjaan profesional, Negara dan Lembaga-lembaga bahkan pekerjaan budaya kemasyarakatan – dipaksa diganti dengan “pekerjaan rumah”. Konstitusi utama di semua Negara di muka bumi sekarang ini adalah “Di Rumah Saja”. Bahkan pekerjaan kantor dikerjakan di rumah, yang memungkinkan. Tidak ada orang berkumpul di gedung, di kantor, di lapangan, di pasar, di rumah ibadah dan di mana pun. Semua dipaksa “Di Rumah Saja’. Itu pun masih kita persempit menjadi “Di Rumah Aja“.
Kata aja ini licin. Kalau literasi Jawa, aja adalah keputusan transliterasi untuk menulis ojo. Ojo artinya jangan. Di Rumah Aja kapan-kapan akan diartikan Jangan Di Rumah. Bahkan kalau di wilayah ngapak Banyumas dan sekitarnya, langsung: Aja = jangan. Nanti kita main-main: Di rumah ? Aja. Jangan.
Demikianlah manusia. Demikianlah budaya manusia. Yang pasti direlatifkan, yang relatif dipastikan. Yang sulit dipermudah. Yang mudah dipersulit. Tanda orang pandai intelektual adalah kalau ungkapannya sulit dipahami. Untung ada eliminasinya: tanda orang bijaksana adalah kepandaiannya dituturkan dengan mudah dipahami.
Allah memberi panduan: “yassiru wa la tu’assiru”. Permudahlah, jangan dipersukar. Kalau bahasa Jombangnya, manusia memang ngewohi. Kalau lapar tidak bisa mikir. Kalau kenyang malas mikir. Ketika jomblo mengeluhkan kejombloannya, ketika sudah nikah mengeluhkan rumah tangganya. Pantas Rasulullah mengijtihadi kehidupan ini sehingga merumuskan bahwa dunia di mana manusia mampir ngombe (mampir minum, Jawa) ini adalah seperti bangkai anak kambing cacat. Kalau pakar zaman sekarang mungkin menjelaskan: kehidupan manusia di dunia ini penuh ketidakpastian kondisi psikologi, sistem sosial, dialektika budaya, relativitas ilmu dan ideologi. Atau entah bagaimana penjelasannya yang lebih mudah dipahami. Lha wong yang mudah saja belum pernah ada era, kurun atau dekade peradaban ummat manusia yang memakainya. Misalnya:
Sesungguhnya dunia adalah negeri rantauan dan bukan negeri tempat menetap. Dan Nabi Adam ‘alaihis salam diturunkan di dunia untuk menjalani hukuman. Karena itu, berhati-hatilah. (Az-Zuhd, Ibnu Abi Dunya, no. 50).
Lha terus industri perumahan bagaimana kalau dunia ini hanya magang sementara waktu. Lha kapitalisme kan membutuhkan kepastian public demand. Kalau kehidupan di dunia ini hanya tentatif, hanya berlaku sementara: lha untuk apa jadi orang hebat? Jadi pakar? Pendekar? Ahli? Presiden? Tokoh? Seleb? Konglomerat? Untuk apa?
Dari Jabir bin Abdullah RA, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah masuk ke pasar melalui jalan yang tinggi dengan diikuti orang banyak di kanan-kiri beliau. Kemudian beliau menemukan seekor anak kambing yang mati dengan kedua telinga yang kecil. Setelah itu beliau mengangkat anak kambing itu dengan beliau pegang telinganya seraya bertanya, “Siapakah di antara kalian yang mau membeli kambing ini seharga satu dirham?” Orang-orang menjawab, “Tentu kami tidak ingin membelinya ya Rasulullah. Untuk apa membeli kambing yang telah menjadi bangkai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ada di antara kalian yang ingin memilikinya tanpa harus membeli?” Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya kambing itu masih hidup, maka kambing tersebut cacat, yaitu telinganya yang kecil. Terlebih lagi kini ia telah menjadi bangkai.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu di sisi Allah nilainya lebih hina daripada hinanya bangkai anak kambing ini di mata kalian.”
Kurang ajar benar. Sudah setengah mati sekolah, jadi Doktor, menempuh karier, nyalon Pejabat, bayar mahal, mresiden, menteri, ndpr, dapat Hadiah Nobel, jadi media darling, tampil di TV tiap hari, trend setter, dan segala macam kemewahan yang diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara — lha kok dibilang bangkai anak kambing cacat. “Kurang ajar betul itu si cucu Abdul Muthallib anak Mekah itu.”, mungkin begitu bunyi gerundelan dalam hati banyak manusia.
Padahal kesadaran bahwa dunia ini bukan hunian permanen melainkan tempat kost sementara juga sudah masuk dunia budaya pop sejak puluhan tahun yang lalu. Penyanyi Ahmad Albar mempopulerkan:
Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
“O, rupanya pura-pura itu cuma peran, bukan benar-benar berpura-pura”.
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
“Lha mengapa? Kok malah Tanya?”
Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
“Lha sudah tahu jembatan, kok dipakai hunian permanen”.
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Allah menciptakan manusia sesudah makhluk-makhluk yang lain, sehingga disebut “ahsanu taqwim”. Paling oke. Paling sempurna dibanding yang lain-lain. Lama-lama saya memperoleh tafsir bahwa “ahsanu taqwim” artinya adalah lucu.
Lucu itu tahu artinya? Kalau Ibu-Ibu atau Mbak-Mbak jalan di Mal memasuki berbagai toko, kalau ketemu barang kemudian berkomentar: “Eh, itu lucu ya?”. Jadi, jangankan manusia, barang saja lucu. Apalagi manusia yang membikinnya.