Teriakan Cherokee dan Siasat PKI
Gamelan Dinasti milik RK Dipowinatan yang adalah gamelan Jawa, dieksplorasi oleh Nevi Budianto untuk berbunyi rancak dan salah satu hasilnya adalah seakan-akan, misalnya, musik Bali, kalau memang diperlukan. Kalau mendengarkan keseluruhan karya-karya Musik-Puisi mereka, misalnya “Kwangwung” atau “Tuhan, Aku Berguru Kepada-Mu” kita akan mendengar bahwa ekspresi Gamelan Dinasti adalah lalu lintas nada tradisional Jawa tetapi dengan cara menabuh yang post-modernistik.
Dan itu bukan berhenti sebagai produk musik, tetapi bahkan bisa berimplikasi sosial. Pada malam Old & New 1977-1978 di salah satu panggung arena luas di Taman Impian Jawa Ancol, hentakan musi-puisi Dinasti pada nomor puisi “Bali” benar-benar berperan seperti tongkat Nabi Musa yang berlaga menelan ular-ular kecil para Penyihir Fir’aun.
Sayang sekali waktu itu belum ada smartphone, belum ada teknologi rekam gambar bergerak yang sekarang setiap orang menggenggam di tangannya. Tapi barangsiapa mengalami peristiwa malam itu di Ancol, menemukan fakta bahwa suara musik bisa memacu gelegak semangat perang sebagaimana di zaman dahulu, sekaligus bisa melumpuhkan emosi ratusan bahkan ribuan orang untuk terdiam dan terpaku.
Kelompok Dinasti dan Musik-Puisinya diundang untuk mengisi acara tahun baru 1988 itu, sebagaimana kelak KiaiKanjeng juga sangat sering diundang ke berbagai kota besar seperti Jakarta dan Surabaya untuk mengagungkan momentum pergantian skala waktu demi penghayatan manusia dan masyarakat yang mengalami detik-detik itu.
Tidak ada yang istimewa sampai Old & New berlangsung jam 00.00 dan seterusnya. Teman-teman Dinasti masih ngopi di tempat transit menunggu giliran manggung. Sampai akhirnya menjelang pkl 02.00, Ketua Panitia mendatangi kami dan mengeluh dengan nada putus asa: “Massa tidak bisa dikendalikan, Cak. Mereka mengamuk dan melempari apa saja ke siapapun yang naik panggung. Band-band dilempari, Srimulat dilempari, mereka maunya dangdut. Sudah, kami pasrah bongkongan kepada Cak Nun dan Dinasti”.
Padahal Musik-Puisi Dinasti bukan grup musik dangdut dan satu pun tidak punya stok aransemen lagu dangdut. Tetapi wajah putus asa Panitia tidak bisa ditepis begitu saja. Maka saya minta dia mengantar saya untuk datang ke tempat pertunjukan. Saya masuk panggung dari pintu belakang. Saya berdiri di pojok remang dan mengamati, merasakan, mempelajari apa yang sedang terjadi. Alhamdulillah saya mendapat tanazzulul hidayah, mendapat limpahan petunjuk. Kemudian saya kembali ke tempat transit, dan langsung kasih instruksi kepada semua personel Musik Dinasti.
“Pokoknya nanti begitu tiba giliran kita”, kata saya, “kalian mengangkut alat-alat gamelan ini, saron, bonang, gong, kendang dll bawa ke panggung. Lakukan dengan kasar. Taruh alat-alat ini dengan setengah membantingnya di lantai panggung. Di depan dan kiri kanan panggung ada massa yang bergolak dan siap berbuat anarki, tapi anggap mereka tidak ada. Semua yang selain kalian adalah hamparan batu-batu bisu. Kalian cueg saja menata alat, kemudian tunggu begitu saya berteriak, bunyikan musik Bali dengan memukul gamelan dengan hentakan sekeras-kerasnya. Sambil hati kalian berdoa dalam sikap batin tawakkal kepada Tuhan”.
Jemek Supardi yang bertugas pantomim di sela-sela musik hilang entah ke mana. Kita tahu dia merasa ketakutan dan ngeri menyaksikan penonton brutal seperti itu: bagaimana bisa bermain pantomim. Mending menghilang saja.
Sebab ada pengalaman ketika Jemek berpantomim di depan Jamaah Padhangmbulan di Menturo Jombang, para jamaah meneriakinya: “Hei! Lapo iku plitat-plitut. Gendheng ta koen? Balekno klambine sopo iku sing kok gae”. Di Ancol pasti lebih mengerikan dibanding Jombang.
Teman-teman Dinasti berkonsentrasi pada apa yang sudah dirancang, sehingga tidak merasakan hilangnya Jemek. Ketika tiba saat kami manggung, saya maju ke bibir panggung, saya menatap wajah mereka, urut semua arah, kemudian saya lihat ada Hotel besar mewah di seberang timur. Saya mendadak nyeletuk bertanya: “Kok Anda semua ini tahun baruan di sini, kok nggak ke Hotel itu?”
Mereka spontan menjawab serabutan: “Nggak punya duit”, “Itu untuk orang kaya!”, “Kita yang di sini miskin-miskin”. Saya merespons: “Jadi kita kumpul di sini karena kita sama-sama miskin?”. Mereka berteriak kompak: “Betuuul!”. “Nggak kebagian apa-apa karena sudah dikorupsi?” “Betuuul!”. “Kita sama-sama gelandangan di negeri sendiri?”, “Betuuul!”.
Mendadak saya memuncaki dialog pendek itu dengan satu teriakan, atau tepatnya pekikan seperti Suku Indian Cherokee mau perang. Dinasti pun menghentakkan gamelannya. Dan mereka semua langsung terdiam, sepi dan bisu.
Sebenarnya sejak tadi mereka naik panggung menata alat-alat gamelan dengan acuh tak acuh, penonton sudah mulai tidak paham, sehingga keributannya mereda pelan-pelan. Maka ketika saya berteriak dan terdengar hentakan awal musik “Bali”, mereka pun seperti terpapar Ilmu Sirep.
Ternyata yang saya lakukan adalah cara PKI, jenis siasat politik komunisme, yakni mengeksploitasi jarak kelas kaya dengan miskin. Mereka terdiam dan memfokuskan diri pada apa saja yang dibawakan oleh Dinasti. Kami bawakan sampai 5-6 nomor, dan tak ada satu pun lagu dangdut. Saya isi dengan dialog interaktif dengan massa pengunjung. Sampai akhir fajar merendah, dan cahaya matahari membayang di timur. Kami kehabisan stok. Tapi alhamdulillah pementasan berlangsung segar, akrab dan meriah sampai detik saya mengakhirinya.
Apa yang bisa dipelajari dan dihikmahi dari peristiwa malam tahun baru 1977-1978 itu? Atau: apakah ada yang mempelajari dan menghikmahi peristiwa mengerikan di pergantian tahun dini hari itu?