Tak Dapat Sisa Kopi, Puntung Rokok Pun Jadi
Pepatah pernah berkata, kesempatan tak datang dua kali. Sekurang-kurangnya kesempatan yang dimaksud adalah sesuatu yang langka datangnya, atau jarang-jarang. Demikian pula dengan Sinau Bareng. Di Purbalingga misalnya, tidak setiap tahun ada jadwal Mbah Nun dan KiaiKanjeng bersinau bareng di sana. Terakhir adalah pada 2017 sebelum berlangsung lagi pada 27 Januari 2020 lalu di Lapangan Desa Krida Utama Limbangan Kutasari Purbalingga. Barangkali itulah yang terpikir dalam benak sebagian jamaah malam itu. Maka kesempatan itu mesti benar-benar dimanfaatkan.
Sudah pasti niat mereka datang di kesempatan Sinau Bareng adalah menimba ilmu. Tapi juga ada “kepentingan” yang khusus pada sebagian mereka, yaitu ngalap berkah melalui “artefak” apapun dari Mbah Nun maupun KiaiKanjeng yang tertinggal di panggung. Seperti bisa dilihat, begitu Mbah Nun pulang meninggalkan panggung, anak-anak di bagian depan itu biasanya langsung menghambur naik ke panggung.
Gelombang ke arah panggung ini di satu sisi bisa dirasa kurang perlu sebenarnya karena KiaiKanjeng masih membawakan satu dua lagu yang dimaksudkan untuk mengantarkan kepulangan para jamaah menuju rumah masing-masing. Juga, sesudah selesai dua nomor ini, maka kru KiaiKanjeng akan segera beres-beres alat musik dan peralatan sound system. Kalau panggung penuh orang-orang, proses ringkas-ringkas akan sedikit.
Maka salah satu kru biasanya akan mengumumkan supaya jamaah tidak naik ke panggung. Dan biasanya pula memang keremunan sekian menit itu lalu berangsur turun dengan baik. Barangkali ini sudah menjadi konsekeunsi dari konsep panggung tanpa jarak dan pembatas sehingga orang punya akses buat naik. Namun dialektika saling memahami pun telah berlangsung. Anak-anak mendapatkan apa yang dicari, namun mereka juga segera turun.
Di Sinau Bareng di Limbangan Kutasari Purbalingga dua hari lalu, sesaat setelah Mbah Nun mengakhiri acara dan segera meninggalkan panggung, anak-anak itu langsung naik ke panggung. Peringkat pertama yang diincar adalah minuman kopi atau air putih Mbah Nun yang tersisa. Juga jajanan yang masih ada. Untuk beberapa saat ini menimbulkan kompetisi. Siapa yang cepat akan dapat. Mereka mesti mengerahkan kecepatan apalagi bersaing dengan teman-teman panitia yang selekas mungkin mengendalikan agar arus ke panggung tidak meningkat dan yang sudah di panggung segera kembali turun.
Kopi dan air putih Mbah Nun dalam hitungan cepat langsung ludes, entah berhasil diraih siapa. Ada salah seorang di antara mereka yang tidak kebagian apa-apa, tetapi mata dia berada tepat di depan sebuah asbak. Asbaknya Mbah Nun. Sejenak dia diam, memandang. Dan kemudian, tangannya mengambil puntung rokok yang ada di situ, lalu diletakkan di tangan kirinya, dan tangan kanannya kemudian nyawuk debu rokok yang masih ada hingga bersihlah asbak itu. Ia genggam perolehannya itu.
Mungkin dia berpikir, tak soal tidak dapat kopi atau yang lain, toh teman-temannya bisa jadi tak melihat bahwa masih ada atsar lain dari Mbah Nun yang dapat diambil. Ialah puntung rokok. Malam itu dia berjodoh dengan puntung rokok itu. Ia bawa turun panggung, mungkin pula dibawa pulang, dan tidak tahu akan dipakai apa atau dibagaimanakan, namun dari cara dia menggenggam, terlihat bahwa apa yang digenggamnya sangat bermakna buat dia. Kejadian itu berlangsung tepat di depan pandangan mata Pak Seteng KiaiKanjeng. Buat Pak Seteng, puntung rokok, ataupun yang berhasil dibawa, mengingatkannya pada adegan rebutan aneka rupa hasil bumi yang dilepas dari gunungan Sekaten. Sebutir jagung pun sangat bermakna buat yang mendapatkannya.
Demikianlah sepetik ekspresi cinta dan ngalap berkah anak-cucu itu kepada Simbahnya yang meluber sampai ke atas panggung Sinau Bareng malam itu.