Tak Ada Suka Atau Duka
Coronavirus yang menggegerkan dunia ini, terserah pandangan Anda dari mana datangnya, alamiah atau konspirasi — ujung terjauhnya adalah maut atau kematian pada dan bagi manusia.
Kemarin saya mengutip sejumlah asumsi dan teori sangkan paran Covid-19, tetapi tidak perlu melangkah jauh sampai ke penolakan atau pembenaran. Kita semua tidak tahu persis sampai hari ini siapa yang menembak John F. Kennedy, Yesus itu wafat dibunuh atau di-lockdown di langit sampai waktu tertentu. Atau yang sekitar kita saja: Perang Bubat itu faktual dan evidential benar-benar terjadi ataukah konspirasi disinformasi sejarah dari para konspirator sejarah kolonial saja untuk mengabadikan sentimen antara bangsa Jawa dengan bangsa Sunda. Atau hal yang mirip-mirip: bunuh membunuh 7 turunan Kerajaan Singasari yang membuat bangsa Jawa tidak punya teladan kedamaian dari sejarah masa silamnya.
Jamaah Maiyah tidak mempertengkarkan hal-hal semacam itu dari terminologi bahwa itu teori konspirasi atau bukan. Kita tidak tahu siapa yang tokoh ini dan itu, kita hanya bisa bilang “Saya tidak akan membunuh siapa-siapa dan insyallah berikhtiar untuk menghalangi siapapun yang akan membunuh siapapun”. Jamaah Maiyah tidak menganut madzhab apapun kecuali kedaulatan, kejujuran, dan kemurnian pikirannya sendiri.
Bahkan Coronavirus ini hantu saja tidak ada yang mengaku sebagai sumber dan penyebarnya. Di tempat kost sejumlah mahasiswa dan karyawan, tengah-tengah main Gaplé tiba-tiba tersebar bau kentut yang luar biasa busuknya. Semua saling tuding sampai hampir bertengkar, akhirnya ada yang nyeletuk: “Kalau tidak ada yang kentut di antara kita, berarti hantu rumah ini pelakunya….”
Tiba-tiba muncul dua tangan dari tembok dengan telapak tangan terbuka diiringi suara: “Sumpah, saya tidak kentut”.
Sanad Virus ini tidak ketahuan. Maka di tulisan ini saya fokuskan ke soal akibat pastinya bagi sebagian yang terpapar, yakni maut.
Dan memang sesungguhnya peradaban manusia, termasuk kehidupan setiap pribadi manusia, ditentukan oleh akar pandangannya tentang kematian. Kebanyakan manusia meyakini bahwa di dunia ini mereka sedang menjalani kehidupan dan masing-masing menantikan saat kematiannya rata-rata dengan hati yang bukan hanya cemas dan gelisah, tapi bahkan tidak rela.
Kalau kematian dimasukkan ke dalam laboratorium ilmu dan kejiwaan hampir semua manusia di dunia, lantas ia ditanya:
“Kamu menghendaki kematian atau menolaknya?”
Manusia menjawab: “Menolak”
“Kematian itu baik atau buruk?”
“Buruk”
“Maut itu manis atau pahit?”
“Sangat pahit”
“Hidup tidak pergi ke mana pun selain ke kematian. Kamu menyongsong maut dengan gagah berani atau kecut dan takut”
“Takut”
“Kamu mencintai kematian atau membencinya?”
“Benci”
“Terhadap kematian kamu tertawa atau menangis?”
“Menangis dan menangisi”
Ini bukan dialog tentang seorang manusia atau Muslim harus bersikap bagaimana terhadap kematian, menurut ajaran Allah. Ini adalah dialog polos jiwa manusia.
Belum pernah ada manusia yang pada detik-detik menjelang ajalnya berekspresi gembira, tertawa, apalagi bersorak-sorak dan lonjak-lonjak. Apalagi kalau yang meninggal itu bukan dirinya. Bahkan Rasulullah pada momentum naza’ beliau berada dalam situasi bersedih dan berprihatin, meskipun bukan untuk dirinya, melainkan untuk ummatnya, sehingga beliau meronta “Ummati, ummati”. Kalau Anda tilik orang sakit kemudian Anda menyaksikan detik-detik naza’-nya, sebagaimana saya pernah mengalaminya pada petinju Nasional asal Bandung, Muhammad Al-Farisy — jangan lantas Anda mengungkapkan kegembiraan di depan wajahnya dan orang-orang sekitar.
Chairil Anwar penyair paling terpandang dalam sejarah Indonesia modern mencanangkan “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Di balik pernyataannya itu termuat semacam ketidakrelaan bahwa ia akan hidup hanya seperti rata-rata manusia: 60 sd 80 tahun. Kemudian ternyata ia meninggal pada usia 27 tahun. Kita semua, dengan ilmu dan pengetahuan apapun, tidak akan pernah tahu apakah 27 tahun hidup Chairil merupakan respons Tuhan terhadap statemen 1000 tahunnya, atau tidak ada hubungannya sama sekali.
Anak saya yang terkecil, ketika berusia balita, di rumah tatkala teman-teman Ibunya ngumpul, ia tiba-tiba nongol dan beteriak-teriak: “Horeeee Ibu matiiii! Horeee Ibu matiii!”
Tentulah semua kaget dan Ibunya panik, kemudian memanggil dan memangkunya: “Kenapa adik omong begitu?”
“Kata Ibu kan kalau mati itu bertemu dengan Allah. Ibu nggak seneng po ketemu sama Allah. Kan yang paling seneng itu ya ketemu Allah…”
Ini satu jenis kebenaran hakiki yang tidak bisa ditolak atau dibantah, tetapi tidak bisa dibakukan di dalam ilmu pengetahuan dan komunikasi budaya antar manusia. Tidak mungkin seseorang bertemu orang lain dan berkata: “Saya doakan Anda segera mendapatkan dan mengalami apa yang paling Anda senangi, yaitu ketemu Allah langsung”.
Tidak bisa ada tetangga atau kerabat atau handai taulan meninggal dunia kemudian Anda mengucapkan “Dengan ini saya menyampaikan suka-cita dan turut bergembira karena Bapak Fulan sudah mencapai apa yang paling diidamkannya”.
Atau ketika di rumah seseorang sedang ada kumpulan takziyah lantas Anda datang membawa gitar dan bernyanyi-nyanyi gembira. Orang-orang yang berkumpul pasti marah dan Anda menjawab: “Lho, saya merayakan kegembiraan Almarhum yang telah dipanggil oleh Allah Swt untuk berjumpa dengan-Nya”.
Ilmu Akhirat tidak bisa diterapkan di sisi Ilmu Dunia, apalagi di tengah peradaban sekularisme yang sudah berlangsung berabad-abad. Cara pandang Akhirat berbenturan dengan etika budaya Dunia. Semua manusia mengkonsep dirinya sedang menjalani hidup di dunia, di mana Akhirat masih nanti-nanti dan belum berlaku logika dan kulturnya.
Di Majalah Basis Yogya tahun 1974 saya pernah menulis esai dengan judul “Ia Mati, Alhamdulillah”. Muatan tulisan itu pastilah introduksi elementer tentang pandangan tasawuf atau sufisme, di mana kematian bukan tragedi, melainkan idaman tertinggi jiwa murni setiap manusia.
Dalam puisi “Ke mana Anak-anak Itu” yang dimusik-puisikan oleh KiaiKanjeng di album “Kado Muhammad”, ada petikan puisi: “Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya”.
Tak seorang pun juga akan pernah tahu, sepandai apapun ia, se-waskita apapun ia, se-Profesor apapun dia, se-Begawan dan se-Panembahan apapun dia, se-Sufi atau se-Ulama apapun dia — tentang konsep Tuhan tentang usia makhluknya. Benar-benar tidak ada rumusnya. Nabi Adam usianya 1000 tahun. Nabi Nuh 990 tahun. Nabi Ibrahim 165 tahun. Dan Nabi yang paling dicintai Allah, Muhammad Saw, hanya dikasih jatah usia 63 tahun. Apa pertimbangan Allah. Ada kaitan dengan apa ketentuan usia manusia dalam konsep Tuhan. Nabi Isa hanya 33 tahun. Nabi Sulaiman raja agung yang dahsyat itu 62 tahun. Apa konsiderasinya. Semua manusia buta sama sekali.
Ayah saya dipanggil Allah pada usia 49 tahun dan ia sudah melakukan dan membangun banyak sekali kebaikan hidup yang saya hingga 68 tahun sama sekali tidak sanggup menandinginya. Kematian adalah ghaib. Misteri. Padahal pengetahuan tentang kematian adalah yang paling diperlukan oleh manusia hidup. Rasulullah Saw mengatakan bahwa “Khairul mau’idlati mautun”. Nasihat yang terbaik adalah maut. Nasihat yang terbaik adalah wacana-wacana pengetahuan dan mozaik pengalaman yang mengandung apa saja yang setiap orang hidup kalau bisa mewajibkan dirinya untuk tahu dan mengerti. Padahal kita semua tidak ada yang tahu kematian, apalagi mengerti. Terhadap maut, semua manusia hanya bisa gelisah dan cemas. Andaikan ada pilihan, semua manusia hidup tak akan ada yang memilih dan menyetujui kematian. Andaikan manusia memiliki kemampuan untuk mentidakkan mati, insyallah tak satu pun yang tidak mentidakkannya.
Kalau disebut demo, maka demo kekuasaan Tuhan yang terdahsyat adalah ketentuannya tentang maut. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Al-Ankabut: 57). Kemudian manusia tambah pusing lagi oleh informasi yang lebih jauh dan lebar: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (Al-Baqarah: 28).
Masih ditambah pula: “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati)” (At-Thariq: 8). Bagaimana keterbatasan imajinasi akal dan perasaan manusia membayangkan itu? Itu pun belum cukup. “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)” (Ar-Rum: 19).
Belum lagi Tuhan menyatakan bahwa ada orang yang mati tapi Ia menyalahkan kita kalau menyebutnya mati: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah: 154). Kemudian diteaterikalisasi pula: “Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. (Yasin: 29)
Para penderita Covid-19 yang meninggal hanya naik-turun 10%, tetapi kematian tetap merupakan tema terpenting yang menggiring manusia masuk ke dalam gua-gua lockdown. Peradaban, alam pikiran, dan puncak pencapaian ilmu ummat manusia tidak sedikit pun mendekati fakta tentang kematian. Manusia hanya dipaksa mati. Direngkuh oleh maut. Agama Islam sesungguhnya adalah informasi dan bimbingan menuju maut. Ummat manusia tidak pernah menjadi dewasa dalam urusan kematian. Itu bukti bahwa Islam bukan mainstream nilai, mungkin bahkan bagi Kaum Muslimin sendiri.
Maka “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’ un”, selalu dianggap, dirasakan, dan disimpulkan sebagai ucapan duka atas maut yang menimpa seseorang. Padahal kalimat itu hanya informasi teknis, steril, dan datar — bahwa “siapa dan apa saja berasal dari Allah dan kembali pula ke Allah”. Tidak ada nada suka atau duka. *****