Tadabbur Teman-Teman Kita Untuk Quiz Ular Mbah Nun (3)
Dimas Syaiful Amry, Pandaan
Membaca Tajuk dari Mbah Nun yang berjudul Quiz Ular, cukup membuat saya penasaran tentang isinya. Sebab, saya tergolong orang yang “Maiyah” karena membaca tulisan-tulisan Mbah Nun, setiap hari saya rutin mengecek dan menunggu tulisan-tulisan dari website caknun.com, yang mungkin kalau digambarkan secara hiperbola ibarat situasi ketika para sahabat/ummat yang menunggu-nunggu Wahyu dari Kanjeng Nabi Muhammad.
Terlebih, setelah membaca tulisan Mbah Nun yang berjudul “Manifestasi Keajaiban 2020-2025” membuat imajinasi mengembara lumayan jauh dan mempelajari kembali tentang perang Khaibar yang situasinya agak berbeda dengan peperangan sebelum-sebelumnya yang lebih berposisi bertahan, membela diri atau respons terhadap serangan, semisal perang Ahzab/Khandaq.
Dalam perang Khandaq, kaum muslimin menjadi pihak yang diserbu, kemudian bertahan, mengambil jarak dengan menggali parit agar pasukan gabungan dari kaum kafir tidak mampu menerobos. Itu mirip dengan apa yang dilakukan Maiyah selama ini.
Sedangkan, dalam perang Khaibar situasinya lebih kepada inisiatif Kanjeng Nabi untuk “jemput bola” menyingkirkan bahaya laten atau ancaman besar dari kaum Yahudi dengan “nglurug” benteng-benteng di Khaibar. Dan, efek dari upaya tersebut adalah runtuhnya kekuatan Yahudi yang cukup mendominasi kala itu, juga semakin mempertegas tentang kekuatan kaum Muslimin. Yang semoga, itu juga termanifestasi melalui gelombang permohonan yang hari-hari ini diwiridkan oleh Jamaah Maiyah.
Dilanjutkan dengan isyarat tentang surat 20 ayat 20 dalam tajuk Quiz Ular tersebut, semakin membuat imajinasi berusaha merangkai kepingan-kepingan puzzle pengharapan. Mengapa saya sebut sebagai puzzle pengharapan, mungkin itu disebabkan karena melihat kondisi hari-hari ini yang semakin kompleks, mulai dari pandemi hingga semakin absurdnya para pemegang amanah negeri.
Setelah membaca kembali beberapa ayat dalam surat Thaha tersebut yang menceritakan tentang awal lahirnya dua mukjizat Kanjeng Nabi Musa, yaitu tongkat yang berubah menjadi ular dan tangan yang menjadi putih atau bercahaya. Di mana kedua mukjizat tersebut disediakan oleh Allah kepada Kanjeng Nabi Musa untuk kembali “nglurug” istana Fir’aun yang dulu ia pernah di sana dan kini ditinggalkannya. Yang kemudian diterangkan dalam beberapa surat yang lain atas kejadian itu menjadi takluk lah mayoritas penyihir Fir’aun, dan berujung pada pengejaran dan pembelahan laut yang akhirnya menenggelamkan Fir’aun. Dan entah mengapa, imajinasi saya kemudian malah tersambung ke situasi reformasi 98.
Namun memang, situasi orde sebelumnya tentu berbeda dengan era sekarang. Dulu “Fir’aun” nya cuma satu, tapi sekarang hampir semuanya menjadi “Fir’aun”. Maka jelaslah, kondisi saat ini lebih berat dari zaman Fir’aun ataupun orde baru. Sehingga tadabbur tentang ayat-ayat tersebut pun perlu lebih kompleks lagi. Jadi, untuk menenggelamkan Fir’aun-Fir’aun tersebut tidak cukup dengan satu tongkat dan juga tangan bercahaya dari satu orang saja, itu membutuhkan tongkat-tongkat dan tangan-tangan yang lebih banyak jumlahnya.
Kemudian, jika disambungkan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam Tajuk Quiz tersebut, rasa rasanya memang memiliki keterkaitan.
Saya coba mulai bertadabbur dari bunyi ayat 20-21:
“Dan dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”.
Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”.
Dari dua ayat tersebut bisa dilihat situasi bagaimana tongkat biasa yang ketika dilemparkan ia menjadi ular dan ketika dipegang berubah kembali menjadi tongkat biasa, dan wujud ular tersebut ternyata adalah untuk menandingi penyihir Fir’aun yang sihirnya juga berwujud ular. Ular yang berubah dari tongkat tersebut lah yang akan menelan ular-ular dari penyihir Fir’aun dan membuat mereka insyaf.
Dalam konteks Maiyah dan Globalisasi, saya membayangkan bahwa tongkat yang bisa berubah jadi ular tersebut adalah tata nilai yang selama ini dijalankan oleh Maiyah, tata nilai yang sebenarnya sudah sehari-hari dijalankan di masa dulu dan di beberapa tempat yang masih belum teracuni sistem Dajjaliyah. Seperti tongkat Kanjeng Nabi Musa yang awalnya adalah tongkat gembala biasa, sistem srawung, bebrayan, juga gotong royong adalah nilai-nilai lama yang mampu menjadi kekuatan besar untuk menandingi bahkan menenggelamkan Globalisasi Dajjaliyah.
Jamaah Maiyah yang telah menemukan kedaulatannya dan kemudian saling berikatan dalam lingkar-lingkar dan simpul yang kemudian berjejaring antar daerah dan menjadi magnet tata nilai baru bagi masyarakat sekitarnya. Sesuai ayat 103 dari surat Ali Imran yang berbunyi, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Ummat Maiyah tersebut ibaratnya adalah ular mukjizat yang merayap dengan cepat, yang jika dalam bahasa pergerakan disebut ber-Revolusi.
Kemudian di ayat berikutnya, dikisahkan juga bahwa Kanjeng Nabi Musa sempat kaget dan takut akan mukjizat yang diperlihatkan padanya, namun Allah menenangkan beliau dengan memerintahkan untuk memegang ular tersebut agar kembali menjadi tongkat. Itu mengingatkan pada apa yang selama ini ditakuti oleh Maiyah, tentang godaan dunia yang membuat mayoritas orang Maiyah “pintar akhirat” dan “bodoh dunia”. Dengan isyarat ayat tersebut, semoga memberikan motivasi bagi para pelaku Maiyah untuk berani “bertanding keluar”, “ing ngarsa sung tuladha”, meng “endhas” dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Maiyah, hingga tak perlu risau dan takut akan tipu daya dunia dalam menjadi “Khalifah”. Menjadi pelopor, pelaku, bahkan pemimpin di segala bidang dalam segala urusan duniawi.
Kemudian, berkenaan dengan pertanyaan tentang Covid-19 dalam Quiz tersebut, saya mengambil kesimpulan Covid-19 “yang merayap dengan cepat” itu adalah opsi A sekaligus juga opsi B.
Sesuai dengan kisah tentang Kanjeng Nabi Musa yang diterangkan dalam Al Qur’an, sihir ular dilawan dengan tongkat yang juga berubah jadi ular. Sedari awal saya mengambil pendapat bahwa pandemi ini adalah buah dari sihir globalisasi, yang jika dihubungkan dengan ayat Al Qur’an adalah ayat 102 dari surat Al Baqarah:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”.
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.
Dengan pendapat tersebut, fiqh yang dipergunakan untuk menghadapi wabah pun akan berbeda, bukan memakai fiqh keadaan darurat, melainkan memakai fiqh keadaan perang. Bahkan penanganannya pun bisa memakai yang dijalankan dalam strategi perang Khandaq, yaitu dengan menutup semua pintu masuk serangan musuh dari luar (menutup transportasi internasional yang merupakan awal menyebarnya virus), melindungi orang lemah di satu tempat(3 kriteria yang rentan terhadap virus), dan yang memiliki kekuatan bertahan menghadapi musuh (yang memiliki imun bisa beraktivitas seperti biasa). Mungkin, bila strategi khandaq tersebut dijalankan penyebaran virus bisa diputus hanya dalam waktu 14 hari sampai satu bulan, seperti di Vietnam misalnya. Namun semua sudah terlambat, melalui kombinasi cengengesan Nasional, kaget Nasional, gagap Nasional, plonga plongo Nasional, plin plan Nasional, dan ketidak jelasan Nasional, Covid-19 ini pun berlaku sebagai “wabal” nasional, bahkan global.
Doa wabal Maiyah sebagai respons atas ketidakadilan Global telah terealisasi, dan bahkan Maiyah sendiri pun tak luput darinya.
Melihat kondisi tersebut yang bahkan negara-negara besar pun seperti “kehilangan tongkat”, tidak tahu harus berbuat yang tepat. Maka, Indonesia seharusnya mampu mengambil momentum, “menyalip di tikungan”. Namun, apa yang bisa diharapkan dari para “ahmaq”, yang ada mereka bahkan dalam kekalutan masih tega berbuat nista. Akhirnya, mau tidak mau, Maiyah harus “merayap dengan cepat” mengambil peran itu, sebab momentum seperti ini mesti menunggu setidaknya setiap abad sekali. Ini adalah tonggak Maiyah di tengah ketidak Adilan global.
Sudah saatnya para ashabul Kahfi Maiyah bangun, keluar dari goa persembunyiannya, membelanjakan dan memperbanyak mata uang Maiyah nya, yang kemudian membuat mata uang Globalisasi menjadi tidak laku dan tenggelam seperti Fir’aun dan pasukannya.
Maiyah sebagai “blueprint peradaban masa depan” menjadi pembuka jalan, membelah lautan menyelamatkan kaum tertindas dari kejaran Fir’aun Globalisasi. Kembali pada Tongkat Kanjeng Nabi Musa, dalam Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud karya Syekh Nawawi al Bantany disebutkan bahwa pada tongkat Kanjeng Nabi Musa tersebut terdapat tulisan yang berbunyi, “Setiap penguasa yang tidak adil dalam kekuasaannya tiada bedanya dengan Fira’un. Setiap ulama dan ilmuwan yang tidak mengamalkan ilmunya tiada bedanya dengan Iblis. Setiap orang kaya yang tidak bermanfaat hartanya (bagi orang lain dan dirinya) tiada bedanya dengan Qarun. Setiap orang miskin yang tidak sabar atas kemiskinannya tiada bedanya dengan anjing”. Seperti tongkat Nabi Musa tersebut, Maiyah menjadi penggerak peradaban untuk kembali kepada jalan Allah.
Kemudian, pada ayat “dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain(pula)” bisa ditelusuri bahwa ayat tersebut sebagai “klarifikasi” bagi keyakinan kaum Yahudi tentang tangan Kanjeng Nabi Musa yang terkena penyakit lepra.
Pada surat yang lain juga disebutkan memasukkan tangan ke dalam baju.
Jika ditadabburi secara simbolik mengarah pada merupakan satu isyarat yang jelas kepada Kanjeng Nabi Musa, bahwa bila beliau menghimpun pengikut-pengikut beliau langsung di bawah asuhan beliau, bukan hanya mereka sendiri akan menjadi manusia-manusia bercahaya, tetapi juga memberikan cahaya kepada orang-orang lain, tetapi bila tidak dihimpun, mereka tidak hanya akan menjadi hitam, tetapi juga akan mengidap bermacam penyakit akhlaki. Yang jika disimpulkan itu adalah kombinasi dari “top-down” dan “bottom-up” dalam sebuah “organisme”.
Dari tadabbur ayat-ayat tersebut, kita mendapat isyarat bahwa Maiyah dengan segala upaya dan mekanisme nya akan menjadi kekuatan besar yang akan menenggelamkan Fir’aun Globalisasi, tanpa harus takut atau risau akan “bahaya ular”, dan juga tudingan dari para pemakan bangkai atas apa pun saja yang diupayakan Maiyah seperti tudingan tentang penyakit lepra pada tangan Kanjeng Nabi Musa.
Dari itu, Maiyah dan ummat Maiyah mesti segera mengatur shaf untuk menyelaraskan rakaat. Mengikatkan diri, memetakan dan mendata untuk menempati “peran” masing-masing untuk menghadapi Fir’aun Globalisasi. Dan tentunya, dengan menghilangkan segala keraguan seperti yang pernah dirasakan kaum Nabi Musa saat dikejar pasukan Fir’aun dan menghadapi jalan buntu sebelum laut terbelah. Bukankah Allah telah mengingatkan melalui lisan Kanjeng Nabi Musa:
Inna Maiya Robbi sayahdin, sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.
Semoga, pandemi dan segala kondisi tak menentu hari-hari ini semakin membuka mata bangsa Indonesia bahkan dunia, bahwa tidak ada lagi jalan selamat, selain “Maiyatullah”.
Pandaan, 2-3 November 2020
Dimas Syaiful Amry