Tadabbur Teman-Teman Kita Untuk Quiz Ular Mbah Nun (3)
Achmad Saifullah Syahid
Tangan yang Bersedekap dan Perlawanan terhadap Tipu Daya Sihir
Quiz Ular menyodorkan sejumlah pertanyaan. Memang demikian lazimnya kita belajar: berangkat dari pertanyaan lalu setahap demi setahap menemukan jawaban. Saya merespons pertanyaan Mbah Nun tidak sebagaimana siswa menjawab soal ujian untuk “diadili” benar dan salahnya. Kita mengutamakan kenikmatan tadabbur sebagai bentuk keakraban kita dengan Al-Qur’an.
Bukankah melalui Nabi Muhammad, yang juga memiliki nama Thaha, Al-Qur’an diturunkan tidak untuk menambah kesusahan melainkan untuk memberi peringatan dan kabar gembira?
Mbeber Kloso Ayat 1-8
Ketika kita berada dalam kondisi yang sulit, keadaan yang mencekam, situasi yang serba tidak menentu dan membingungkan, di mana-mana terjadi turbulance, hendaknya tidak membuat kita oleng, bersedih apalagi kehilangan keyakinan dan optimisme atas rahmat dan kasih sayang Allah.
Kita menemukan kebahagiaan mentadaburi firman Allah ketika sebagian besar manusia dilanda kecemasan. Mereka gentayangan seperti beras diinteri.
Di tengah keadaan yang dikurung oleh kecemasan, ketakutan, kekhawatiran hingga bisa berujung pada depresi dan kematian, adakah yang lebih besar dan mampu mengatasinya selain kita merujuk kembali kepada Al-Qur’an yang dinyatakan Allah sebagai obat (syifa’) dan rahmat, yang ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu?
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq:12).
Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah — baik hal itu diucapkan secara keras atau pelan. Allah mendengar bisikan-bisikan kecemasan dalam hati kita, mengetahui gelagat ketakutan yang kita pendam diam-diam, mengerti harapan paling dalam yang kita dambakan. Allahu ya’lamus-sirro wa akhfaa. Allah mengetahui percakapan rahasia antar manusia (al-sirra) dan percakapan seseorang dengan dirinya (self-talk/al-akhfaa).
Demikianlah, optimisme dan keyakinan kita dibangkitkan oleh surat Thaha ayat 1-8. Allah seperti sedang “mbeber kloso” untuk membangun sistem keyakinan kita sebelum perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun dikisahkan.
Memasuki Pintu Tauhid: Inni Anallahu
Awal mulanya adalah api yang dilihat Nabi Musa pada malam hari. Api yang dilihat Nabi Musa itu akan digunakan secara sederhana sesuai kebutuhannya saat itu: untuk menghangatkan badan dan siapa tahu memperoleh petunjuk untuk menuju jalan yang benar. (Q.S. Thaha: 10).
Mengapa api itu tidak muncul pada pagi, siang atau sore hari? Mengapa malam hari? Gerangan api apakah yang dilihat Nabi Musa? Menurut penglihatan Nabi Musa apakah itu benar-benar api atau cahaya yang disangkanya seperti api?
Apakah situasi malam hari Nabi Musa beririsan dengan hari-hari kita yang diliputi “kegelapan malam”? Apakah kita juga melihat “api” di malam hari sebagai cahaya yang menghangatkan tubuh, jiwa dan pikiran serta menuntun kita menuju jalan keseimbangan, kebenaran, keindahan, serta kebijaksanaan? Secara aktual rohaniah ketika duduk melingkar hingga menjelang shubuh, apakah kita mengalami atau setidaknya menemukan irisan pengalaman yang sama dengan peristiwa “api-nya” Nabi Musa?
“Ketika Musa mendatangi api itu, Allah memanggilnya, “Wahai Musa sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskanlah dua terompahmu. Sesungguhnya engkau sekarang ini berada di lembah Thuwa yang Aku berkahi.” (Q.S. Thaha: 11-12)
Dua adegan yang patut dicermati: Allah mengenalkan Diri-Nya dan perintah melepaskan dua terompah. Mengapa Allah tidak menggunakan kata ilah, malik, atau diksi Allah, melainkan rabb saat mengenalkan Diri-Nya? Adegan ini menyatakan bahwa kita hendaknya berpegang teguh pada “innii ana rabbuka”. Kesadaran tauhid yang ditegakkan oleh sikap dan perilaku rabbaniyah. Sifat Maha Pengasih dan Penyayang.
Di malam yang gelap ketika kebanyakan manusia tidur kita duduk melingkar, selama berjam-jam, meneguhkan kesadaran tauhid demi kebersamaan kita dengan Allah dan Rasulullah.
Lantas, ada apa dengan dua terompah Nabi Musa sehingga harus dilepaskan? Dua terompah “kanan” dan “kiri” merupakan simbol dari dua hal atau apapun saja yang belum menyatu. Dua hal yang berada dalam hubungan kontradiksi dan paradoks. Dan kita sedang berada dalam situasi penuh kemiringan dan ketidakadilan, suasana dunia yang serba kontradiktif, cara berpikir yang sarat dengan paradoks-paradoks. Siang jadi musuh malam, pro lawan kontra, hijau bersitegang dengan merah, atas menindas bawah.
Kontradiksi dan paradoks itu juga berlangsung dalam diri manusia. Akal dan hati berjalan sendiri-sendiri, kepala dan badan terpisah, jiwa dan raga tidak nyambung, melangit tapi kaki tidak berpijak di bumi kenyataan. Dalam kondisi yang sarat paradoks dan kontradiktif itu Allah enggan berkomunikasi.
(Kalau engkau hendak berdialog dengan-Ku) lepaskanlah dua terompah kontradiksi itu. Tanggalkan eksistensi paradoks akal dan hati. Lepaskan terompah “kiri” dan “kanan”, “atas” dan “bawah”, “hitam” dan “putih”, “salah” dan “benar”.
Proses atau lelaku tersebut tidak lain adalah ber-Tauhid, penyatuan, lalu tercapai Wahid atau persatuan hingga akhirnya menjadi Ahad. Yang selain Allah sirna. Yang Ada adalah Inni anallahu. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Q.S. Thaha: 14).
Pernyataan itu mengabarkan betapa esensial kesadaran tauhid sebagai fondasi sekaligus pintu masuk untuk berdialog dengan Allah. “Kullama nadaita ya Hu, qala ya ‘abdii ana-Llah”. Setiap kali hatimu memanggil-manggil-Ku dengan cintamu, aku menjawab: “Ya, kekasih-Ku, ini Aku Allah kekasihmu…”.
Melemparkan “Tongkat” Perlawanan
Allah bertanya kepada Nabi Musa, “Hai Musa, apa yang kamu bawa di tangan kananmu itu?” Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia paling tersembunyi masih sempat bertanya apa yang dibawa oleh tangan kanan Nabi Musa.
Namun, yang menarik, kendati Allah sudah pasti mengetahuinya, mengapa hal itu ditanyakan. Allah hendak menarik perhatian Nabi Musa. Sebagaimana lazimnya fungsi sebuah tongkat Nabi Musa menggunakannya untuk bertumpu ketika berjalan dan merontokkan daun-daun pepohonan sebagai makanan kambing. Pertanyaan Allah punya maksud tersembunyi.
“Lemparkan tongkat itu, wahai Musa!” Seketika tongkat berubah menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Nabi Musa lari ketakutan. Ular yang dilihat Nabi Musa bukan tipuan, sulapan, atau sejenis hologram. Ular itu benar-benar hidup dan nyata (hayyatun tas’a).
Ada apa dengan tongkat? Mengapa tongkat? Simbolisme apa yang hendak disampaikan Allah melalui tongkat? Adakah nilai esensial substansial yang hendak dikabarkan oleh simbolisme tongkat?
Dari perspektif Nabi Musa tongkat merupakan benda paling dekat dalam aktivitas keseharian. Artinya, “mukjizat” yang diberikan Allah tidak pernah jauh dari aktivitas sehari-hari. Ia bisa sangat sederhana dan bahkan terkesan sepele sehingga mata pandang kebanyakan manusia dan mata pandang kita sendiri tidak menyangka bahwa keajaiban “mukjizat” muncul dari sana.
Persoalannya, apakah aktivitas keseharian yang menjadi medan bagi turunnya keajaiban dari Allah itu kita jalani dengan memegang “tongkat tauhid”? Apakah pemberdayaan, pengabdian, pengayoman yang kita upayakan sekecil dan sesederhana apapun ditegakkan oleh “tongkat rabbaniyah” kasih sayang Allah?
Yang lebih mendasar, aktivitas yang kita selenggarakan, pengabdian dan pengayoman yang kita upayakan — yang memangsa ular sihir Fir’aun dengan segala konteks dan kebutuhannya — apakah telah diawali oleh kesaksian innii anallahu?
Jika semua syarat dan kondisi itu terpenuhi, kita tidak perlu cemas. “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
Dialektikanya adalah kita tegak bersandar pada tonggak tauhid lalu melemparkan “tongkat” perlawanan: mengerjakan upaya-upaya penjernihan, menjaga keseimbangan, menularkan kebijaksanaan serta membuka tangan pengayoman, dan saat itu pula kita menyerahkan sepenuhnya usaha itu kepada Allah.
Allah akan menjaga keberlangsungan upaya itu sebagaimana semula. Tidak perlu takut, goyah, ragu, apalagi putus asa. Tetap bekerja dan berbuat baik dalam naungan Asmaul Husna. Perkara “tongkat” yang kita lempar akan menjelma jadi ular atau bakteri atau virus—atau sejumlah kemungkinan penjelmaan lain yang tidak mampu kita perkirakan—kemudian memangsa ular sihir, bakteri sihir, virus sihir, atau sihir-sihir lain, itu semua mutlak wewenang Allah.
Tangan yang Bersedekap: Sabar dan Bersembahyang
Bagaimana kalau kita disergap ketakutan dan kecemasan? “Maka kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula).” Posisi tangan yang bersedekap lalu mengeluarkannya kembali, selain tangan akan menjadi putih cemerlang juga menghasilkan perasaan tenang.
“Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dadamu) bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhanmu yang akan kamu hadapkan kepada Fir’aun dan pembesar pembesarnya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Qashash: 32).
Tangan yang bersedekap adalah jiwa, pikiran dan raga yang sabar dan bersembahyang. Kita memohon pertolongan Allah dengan bersabar dan shalat. “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Q.S: Al-Baqarah:45).
Bersabar tentu luas dan dalam maknanya, sesuai konteks tantangan perjuangan kita masing-masing. Artinya, sabar bisa dijadikan thariqah (metode) perjuangan. Puncak kesabaran adalah manakala kita ridlo kepada Allah sebagai satu-satunya Pengasuh dan Penolong kita.
Sabar dan shalat keduanya saling mengisi. Ketika kesabaran mulai menipis, bersedekaplah, bersembahyanglah, bertakbir menghadap Allah. Mengerjakan shalat secara khusyu’ juga memerlukan kesabaran. Shalat yang dikerjakan dengan khusyuk, hudlur dan khudlu’ akan melipatgandakan kesabaran.
Bukan hal yang mustahil dari tangan yang bersedekap akan keluar warna putih cemerlang sebagai bentuk pengejawantahan kerja yang bermanfaat. Tangan yang mendatangkan keamanan dan keselamatan. Kreativitas transformasi yang mengamankan dan menyelamatkan.
Maka tangan bukan hanya berarti kekuasaan, tetapi juga kemampuan menyentuh yang “hitam” menjadi “putih”, tangan yang mendaur ulang “sampah” menjadi produk yang bermanfaat, tangan yang memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang telanjang, memberi tempat ngiyup orang yang kepanasan. Tangan ini telah menjadi Tangan Kasih Sayang-Nya.
Sebagai rasa tahaddust binni’mah, di Maiyah kita mengalami kronologi pengalaman yang beririsan dengan surat Thaha ayat 1-22. Bagaimana kita menyusun formula pengalaman tersebut—apapun nama, bentuk, ragam, intensitas pengalaman itu—menjadi kerangka kesadaran individual dan strategi pergaulan sosial sebagai tanggung jawab cinta kepada Allah dan Rasulullah?
Wallahua’lam bish-showab.
Achmad Saifullah Syahid
Jagalan, 4 November 2020
Riza Aria
Tadabbur Quiz Ular – Tongkat , Tangan dan Ketiak
Alhamdulillah saya berkesempatan untuk mengimplementasi arahan Mbah Nun pada tulisan Tajuk edisi “Quiz Ular” , di waktu sholat isya kemarin (kalau pakai bahasa Batam “semalam”). Setelah mengikuti beberapa arahan wajib dari Mbah Nun, kemudian saya membaca surah 20 (Thaha) mulai ayat 17 sampai ke Ayat 24. Dari 8 ayat tersebut saya mencoba mencari ide dan menunggu ilham untuk mencoba memberi pandangan atas 4 point pertanyaan Mbah Nun.
- Dari Ayat 17-24 tersebut saya berkesimpulan “ular yang merayap dengan cepat” atau yang dimaknai dengan Covid-19 menurut saya adalah Ular yang dilemparkan dari Tongkat Nabi Musa itu sendiri.Refleksi pemahaman saya ambil dengan menarik garis waktu kejadian antara ayat 17-24 dimana asumsi urutan ayat juga merepresentasikan garis linier waktu, sehingga secara urutan kejadian, ayat 24.Iz-hab ila fir’auna innahu ṭaga
Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batasTerjadi setelah ayat 20,Fa alqaha fa iza hiya hayyatun tas’a
Dan dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepatLebih dalam lagi mengenai urutan ayat 17-24 ini , terpikir bahwa kejadian ayat 17 – 23 adalah kejadian dimana Allah memberikan “pelatihan” kepada Nabi Musa. Dimana pelatihan ini dimulai dengan Allah bertanya tentang tongkat yang di pegang Nabi musa, bagaimana Nabi Musa menggunakan tongkat itu dalam keseharian, dan seterusnya sampai perintah untuk menghadapi Raja Fir’aun di ayat 24.Dari sini saya mencoba merenungkan kembali adakah makna dari kalimat “Tongkat yang dipegang dengan tangan kanan” (ayat 17), dan bagaimana Nabi Musa mempergunakan “tongkat” tersebut (ayat 18). Kemudian saya terpikir bahwa tongkat ini mepresentasikan “perpanjangan tangan” atau kalau lebih general lagi tongkat ini adalah “alat” yang bisa digunakan untuk kebaikan (pengartian simbol dipegang dengan tangan kanan). Dimana manfaat ini bisa dipergunakan selain menopang hidup si empunya tongkat juga bisa menjamin pangan makhluk lainnya (dan aku pukul daun dengannya untuk kambingku). Tongkat (alat) itu bisa berupa apapun, jabatan, harta, tahta, kebijakan, undang-undang ataupun fadhilah yang Allah berikan pada setiap individu makhluk manusia.
Adegan berlanjut ke perintah ayat 19,
Qala alqiha ya musa
lemparkan lah hai MusaDisini saya beranggapan bahwa begitu tongkat (alat) telah terlepas dari tangan kanan, berubahlah menjadi Seekor ular, makhluk yang tidak bisa dikendalikan lagi oleh sang punya alat/tongkat (menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat). Banyak ragam makna dalam simbolisasi ular ini. Saya mencoba mengumpulkan berbagai literasi dan akhirnya saya membuat dugaan, bahwa ular adalah salah satu (mungkin satu-satunya) mahluk yang sangat tipis irisannya antara menakutkan dan menggemaskan, antara manfaat dan mudharat serta tipis batasnya antara binatang pembunuh dan penyembuh (dengan “bisa/racunnya”).
Jika si ular ini tidak ditangani dengan tangan kanan (niat untuk manfaat) ular ini bisa menjadi perusak juga pembunuh. Bisa juga kita representasikan ular ini sebagai kondisi manusia zaman sekarang, dimana sangat susah kita mengidentifikasi ini manusia manfaat atau mudharat, ini mau membantu atau membelenggu, ini beriman atau penjual iman dan masih banyak lagi ketidakjelasan lainnya. Satu hal yang menarik hasil dari pencarian data yang saya lakukan adalah, saya menemukan sebuah simbol yang terdiri dari gambar ular lengkap dengan tongkatnya (Tongkat Asklepios), tongkat ini lazim kita kenal sebagai perlambang kedokteran dan kesehatan.
Saya pribadi tidak berani beranggapan macam-macam tentang arti perlambang ular yang satu ini, yang jelas jika tidak digenggam dengan “tangan kanan” secara alami “ular dan juga tongkat ” ini akan berujung pada maqom “ra cetho”.
- Maksud dari “peganglah ia, dan jangan takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula”, menurut pemikiran yang saya dapatkan adalah perintah untuk memegang kembali “ular” ini sehingga Allah akan mengembalikan menjadi Tongkat sebagaimana mestinya. Peganglah “ular” ini simbol berdaulat/kehendak yang diaktifkan sehingga akan mengubah ketidakjelasan (ular) ini kembali menjadi “alat perpanjangan tangan” (jabatan, kekuasaan, tahta, harta, segala fadhilah yang dipinjamkan Allah ke Kita), yang dipegang dengan Tangan Kanan, dimana “alat ini” dipergunakan dengan maksud untuk sebanyak-banyaknya manfaat.Maka Allah akan merubahnya menjadi Tongkat, Allah akan menjadikannya menjadi alat yang berguna lagi, bukannya ular, sebuah makhluk (tindakan/kejadian/kondisi) yang tidak jelas antara baik — buruk, manfaat-mudharat, penyembuh — pembunuh.Allah akan menjadikannya sebuah kondisi yang kondusif.Jika ini adalah virus Corona (mengacu pertanyaan pertama), maka tadabur saya adalah jika Corona ini “dipegang” dengan tangan kanan = disikapi dengan sebaik-baiknya sikap, tepat pengambilan sikap antara tawakal dan ihtiar, antara doa dan usaha. Maka Allah akan menjadikan keadaan “normal kembali”, Allah akan merubah ular ini menjadi tongkat kembali (Insya Allah).
- Dimensi sikap apakah yang ditunjukkan melalui ayat berikut,Wadmum yadaka ila janahika takhruj baida’a min gairi su’in ayatan ukhra
dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mukjizat yang lain (pula)Menurut saya ini adalah sikap iman, dimana Nabi Musa hanya bersikap menuruti perintah Allah. Karena begini, jika dilihat posisi ketiak ini lembab dan cenderung bau kecut, jelas akan lebih ringan jika perintahnya adalah “gosok-gosokan” kedua tanganmu, atau masukkan kedua tanganmu ke sakumu. Manusia dengan akalnya cenderung mempertanyakan sebuah perintah, kenapa ketiak? Khan lembab, khan asem, khan kotor.Terus dilanjut dengan usulan-usulan sok tau , kenapa tidak digosok-gosok kedua tangan saja? Kenapa tidak dimasukkan dalam kantong saku saja? Kenapa kok ketiak?Dengan segala potensi pertanyaan, sanggahan dan “paido” nan, maka sikap iman yang kuatlah yang bisa “memaksa” Nabi Musa melakukan apa yang diperintahkan Allah.Sedikit cipratan ilham yang sampai ke saya mengenai ketiak ini, jika kembali saya runtutkan ke pertanyaan 1 dan 2, dengan melihat Surah At Thaha ayat 17-23 , Ketiak adalah pangkal lengan, ujung awal dari tangan. Persambungan antara tangan dan tubuh. Ketiak adalah ruang/area yang terbentuk dari Badan dan lengan (tangan), sambungan antara Batang dan cabangnya, antara cabang dan rantingnya. Jika ditarik pemahaman tongkat adalah perpanjangan tangan, maka ketiak inilah sangkannya tangan (baik tangan kiri ataupun kanan). Walaupun lembab, bau kecut dan sedikit “jorok”, tapi tempat itu adalah sangkan dari kebaikan (tangan kanan) dan juga keburukan (tangan kiri). Dan Cahaya yang muncul pada ke-2 telapak tangan Nabi Musa merepresentasikan jika kita paham akan sangkan kita, maka akan terang benderang tanpa cacad paran kita.
Kalau boleh merangkumkan apa yang telah saya tuliskan dari awal sampai akhir, dari ayat 17 sampai dengan ayat 24 dari Surah Thaha, serta adegan ayat 20 adalah simbol akan menyebarnya corona, dan kita adalah representasi Nabi Musa, maka sejatinya kita belum berangkat menghadapi Fir’aun yang sebenarnya, kita masih “latihan” menghadapi Fir’aun, kita masih trial cara menghadapi firaun dengan melepas tongkat kita, dan mencahayakan 2 tangan kita. Corona ini hanya latihan untuk menghadapi Fir’aun sebenarnya, entah bagaimana wujudnya, bentuk kejadian maupun bagaimanapun gejolak zamannya. Semoga 4 ayat setelah ayat 24 (Thaha ayat 25-28) bisa lebih menenangkan hati dan membuncahkan semangat optimisme di dada kita (insya allah).
Qala rabbisyrah li sadri
Wa yassir lī amri
Wahlul ‘uqdatam mil lisani
Yafqahu qauli
Aamiin..
Wallahu a’lam bish-shawabi
Riza Aria – BataMMaiyah 4 November 2020