Tadabbur Covid-19 dengan Lirik “Jaman Wis Akhir”
Dunia dihebohkan dengan virus Corona (Covid-19). Hampir semua lalu-lalang berita di media massa, baik online, cetak maupun elektronik membahas virus Corona ini. Tidak terkecuali pula di media sosial, sangat gaduh. Bahkan pembicaraan itu tidak terlepas pula di dusun-dusun, warung kopi, kantor-kantor dan di masjid sebelum khutbah berlangsung (yang pada akhirnya semua aktivitas berkumpulnya orang tersebut dibatasi, bahkan dilarang).
Sebenarnya, saya menghindari membicarakan Corona karena data saya sudah pasti tidak memadai. Ada teman yang bilang, “Lho kan banyak data di media online dan share-share di WhatsApp? Data Covid-19 hari ini sekian. Di provinsi A sekian, provinsi B sekian, kota D sekian”. Saya tidak mempercayai itu sebagai kebenaran atau kebohongan, karena ini era disrupsi. Segala macam informasi sangat cepat tersebar, baik yang hoax maupun yang “kayaknya” bukan hoax. Ketika membaca berita-berita itu, selalu saya bertanya balik: “Halah Mosok?”
Hal ini bukan berarti saya tidak percaya jurnalistik, teman-teman pers, statistik, dunia medis atau anti pemerintah. Bukan. Saya hanya menjaga diri saya sendiri terhadap hal-hal yang tidak benar-benar saya ketahui. Terkait Corona, yang saya ambil dan saya baca hanya tulisan-tulisan reflektif, dan Mbah Nun adalah salah seorang yang sangat tepat untuk saya baca tulisan-tulisannya. Setiap hari, tulisan reflektif Mbah Nun hadir di tengah-tengah kita sebagai oase pola pikir yang berbeda di tengah masa Covid-19 ini.
Kemudian, saya teringat lagu Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang berjudul “Jaman Wis Akhir”. Jika ditadabburi dengan kondisi yang terjadi saat ini, sepertinya nyambung juga. Othak-athik gathuk dikit gakpapa lah asalkan bisa menambah kebaikan untuk diri sendiri, syukur-syukur untuk orang lain. Begitu kira-kira Mbah Nun mengajarkan kepada kita konsep “Tadabbur”. Inilah penggalan lirik Jaman Wis Akhir :
Kalau yang sunyi engkau anggap tiada.
Maka bersiaplah terbangun mendadak dari tidurmu oleh ledakannya.
Kalau yang diam engkau remehkan,
Bikinlah perahu agar di dalam banjir nanti engkau tidak tenggelam.
Kalau yang tidak terlihat oleh pandanganmu engkau tiadakan,
Bersiaplah jatuh tertabrak olehnya.
Dan kalau yang kecil engkau sepelekan,
Bersiaplah menikmati kekerdilanmu di genggaman kebesaran-Nya.
Yang saya kaitkan dengan lirik di atas adalah bahwa manusia cenderung menganggap sesuatu yang kecil atau tidak terlihat sebagai hal remeh-temeh. Mbah Nun pun sepertinya menyinggung sikap awal pemerintah yang seolah meremehkan “makhluk kecil” berupa virus Covid-19 ini dan tetap membuka lebar-lebar wisatawan asing untuk masuk Indonesia ketika negara-negara di dunia mengisolasi diri. Alhamdulillah, kita semua sudah membuat perahu Maiyah, agar tidak tenggelam dalam pusaran informasi disrupsi Covid-19 ini. (Baca tulisan Mbah Nun berjudul Lockdown 309 Tahun).
Ketika virus Covid-19 ini membanjiri dunia, juga Indonesia, sebagian besar manusia sepertinya belum banyak belajar, betapa kita semua kerdil di genggaman kebesaran-Nya. Semua informasi yang beredar hanya bising pemberitaan, minim muhasabah kepada Allah. Manusia sangat takut dengan pemberitaan media tentang wabah Coronavirus, tetapi (mungkin) amat sedikit yang takut terhadap pemberitaan Allah di Al-Qur’an tentang dahsyatnya Neraka. “Bahkan tidak ada pemimpin Agama yang mengajak ummat manusia untuk mencari apa kesalahan kita semua ini sebagai manusia, sehingga kedahsyatan ilmu dan peradaban kita diejek dihina habis-habisan oleh hanya seekor virus Corona”. (Baca tulisan Mbah Nun berjudul Copyright Allah SWT).
Marja’ Maiyah, Buya Nursamad Kamba juga menuliskan refleksi mengenai Covid-19 ini. Beliau mengutip lima ayat pertama pada QS. Al-Hajj dan meng-highlight makna hentakan atau guncangan waktu, yang pada lirik diatas saya kaitkan dengan ledakan. Melalui tulisannya, Buya Nursamad menyampaikan bahwa dalam mengapreisasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetaplah harus melibatkan Tuhan. Dan inilah yang belum banyak disadari oleh para ilmuwan, dan kita semua. (Baca tulisan Buya Nurasamad berjudul Menangkap Pesan Tuhan dalam Covid-19). Mbah Nun juga membahas demikian yang mengatakan bahwa ternyata Tuhan dimarjinalkan dan bukan mainstream perhatian manusia. (Baca tulisan Mbah Nun berjudul Tuhan Persona Non Grata).
Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang
Akale njungkir, akale njungkir negarane guncang
Awan berarak, nyawa manusia berserak-serak
Badai menghantam, laut terbelah, bumi terpecah
Orang bikin luka, orang menganiaya diri sendiri
Sirna akalnya, lenyap imannya, hilang jejaknya
Covid-19 menyebabkan perekonomian negara luluh-lantak. Banyak korban yang berserak. Maka dari itu, Covid-19 menjadi sangat populer di segala sudut pembicaraan. Tapi, tanpa penghayatan yang mendalam dan menyeluruh, wabah ini semakin akan menjadikan manusia menderita dan menganiaya diri sendiri, karena sirna akalnya, lenyap imannya dan hilang jejaknya kepada asal-muasal, yaitu Allah Swt. Jangan-jangan karena kita sendiri yang “memesan” Covid-19 ini. Dengan segala keangkuhan, keserakahan manusia dan melupakan Tuhannya, sehingga Allah mengirimkannya kepada kita. Dan inilah bencana yang sesungguhnya di jaman akhir ini. (Baca tulisan Mbah Nun berjudul Bencana Yang Sesungguhnya).
Pada akhirnya, saya bisa menarik resultan kesimpulan dan hikmah, bahwa dengan dikirimkannya Coronavirus oleh Allah ke dunia, Mbah Nun mengajak kita untuk kembali kepada sangkan paran dumadi, Allah Swt. Kembali mempertebal keimanan dan ketaqwaan, menjaga kebersihan dan kesucian hati dan diri, Uzlah 14 hari, bertafakkur dan bermuhasabah di rumah masing-masing, menambah ibadah shalat malam, shalawat dan wirid-dzikir yang telah diberikan oleh Sang Guru kita. Semoga Rahman-Rahim Allah dan tetesan kelembutan Kanjeng Nabi Muhammad Saw menjaga kita dari segala virus. Baik virus jasad maupun virus hati. (Baca tulisan Mbah Nun berjudul Ya Khaliqa Covid, Ihfadhna).
Tulungagung, Akhir Maret 2020