Tadabbur Asmaul Husna di Kenduri Cinta
Salah satu hal yang ditekankan oleh Ustadz Noorshofa adalah bahwa kita jangan sekali-kali membuat Allah murka. Allah sendiri memang memiliki sifat Yang Maha Mengampuni, Al Ghofuur. Tetapi, sebagai manusia, kita tidak boleh kemudian memanfaatkan salah satu sifat yang dasar pijakannya kasih sayang ini. Tidak serta merta karena kita mengetahui Allah Maha Mengampuni, kemudian kita berbuat semena-mena, dan melakukan maksiat setiap hari. Tentu saja tidak demikian rumus Allah berlaku. “Karena adzab Allah sangat pedih”, ungkap Ustadz Noorshofa.
Lewat tengah malam, hujan gerimis mulai turun di langit Cikini. Perlahan, hujan yang turun semakin deras. “Kalau hujan turun, ini anugerah dari Allah atau bukan?,” tanya Mbah Nun kepada jamaah, yang tentu sama dijawab serentak, “Anugeraaaaaahhh!!!!.”
Jamaah pun secara otomatis mengkondisikan diri. Yang di bawah tenda, semakin merapatkan diri. Yang tidak kebagian berteduh di bawah tenda, mengubah fungsi karpet terpal yang sebelumnya menjadi alas duduk, beralih fungsi menjadi payung untuk berteduh bersama.
Syahdu. Di bawah guyuran hujan, Musisi Jalanan Center mengajak jamaah bershalawat bersama. Syair Abu Nawas melengkapi kesyahduan Kenduri Cinta tadi malam. Justru di puncak derasnya guyuran hujan, jamaah semakin bersemangat bershalawat, semakin gembira mengungkapkan rasa rindu kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Mensyukuri anugerah hujan yang turun di tengah malam, memaknai hujan sebagai metode Allah menyapa jamaah yang memenuhi Plaza Teater Jakarta tadi malam.
Kegembiraan Sinau Bareng di Kenduri Cinta rasanya enggan untuk disudahi. Meskipun harus beberapa kali mengubah formasi, dari duduk jenak, kemudian agak merapatkan shaf, hingga semua berdiri agar kebagian berteduh di bawan tenda, sampai akhirnya kembali duduk jenak seperti awal. Tak berkurang sedikitpun antusias jamaah Kenduri Cinta. Memang sepertinya suasana seperti inilah yang memang mereka rindukan.
“Tapi ada nggrundel-nggrundel sedikit kan di hatimu?,” ungkap Mbah Nun saat hujan turun mulai deras. Tentu saja manusiawi. Dan sangat wajar, meskipun hujan adalah anugerah, tentu saja harapan kita adalah jangan turun hujan ketika Maiyahan.
Nggrundel pun bagian dari kemesraan kita dengan Allah. Seperti Abu Nawas dengan syairnya yang terkenal: Ilaahi lastu lil firdausi ahlaa, wa laa aqwaa ‘alaan naaril jahiimi, Ya Allah, aku ini bukan ahli surga firdausmu, tapi aku juga tidak mungkin kuat jika Engkau masukkan aku ke neraka…. Atau jika kita pakai terjemahan nakal khas anak Maiyah; Ya Allah, aku ini sadar bukan ahli surga, tapi masak ya Engkau tega memasukkan aku ke neraka?
Andaikan kita memiliki intuisi sastrawi yang sangat indah seperti Abu Nawas, tentu kita tidak akan gagap mengungkapkan kemesraan dengan Allah setiap hari. “Sama Allah itu mbok manja….,” Mbah Nun mengungkapkan. Yaa, seperti Abu Nawas itu, ia sangat manja kepada Allah, salah satunya melalui Syair yang ia ciptakan itu.
“Maiyah bergerak seperti air yang merembes dari dalam tanah yang menjadikan tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan subur,” salah satu pesan Mbah Nun semalam, menjadi salah satu bekal sepulang dari Kenduri Cinta. Menyadarkan kita, sudah sepatutnya kita mensyukuri kegembiraan Maiyah yang sudah sedemikan rupa semarak di berbagai daerah. Dan tidak mungkin Maiyah sampai seperti hari ini melainkan atas kehendak dan hidayah dari Allah Swt.
Tepat pukul 3 dinihari, Maiyahan di Kenduri Cinta dipuncaki. Semalam, hingga dinihari tadi, Mbah Nun dan Ustadz Noorshofa memberi bekal yang sangat banyak kepada jamaah Kenduri Cinta. Tentu belum semua tertulis di catatan singkat ini, teman-teman semua bisa menengok keriuhan linimasa #KCJan di platform media sosial Twitter.