CakNun.com
Memperingati 40 Hari Wafat Syaikh Nursamad Kamba

Syaikh Nursamad Kamba: Sastrawan Harus Berpihak

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 4 menit

Dalam kesempatan berbicara di depan peserta Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Cisarua pada tahun 2012, Syaikh Nursamad Kamba menjelaskan dengan gamblang bahwa kita semua sekarang hidup di tengah krisis yang amat serius. Krisis peradaban, krisis kemanusiaan, krisis nilai-nilai. Salah satu tanda yang menonjol adalah tidak berfungsinya akal sehat untuk memahami masalah dan untuk memecahkan masalah. Suara hati nurani tidak menjadi bahan pertimbangan untuk memahami masalah dan untuk mengatasi masalah. Manusia kehilangan nalar, termasuk nalar publik ketika hendak mewujudkan tujuan jangka pendeknya, tujuan duniawi. Mengapa? Karena manusia sekarang alpa terhadap tujuan jangka panjang dari hidupnya, tujuan akhirat, tujuan yang sejati-sejatinya tujuan.

Dalam bahasa sekarang, manusia cenderung mengalami disorientasi, disorientasi nilai, disorientasi makna dan harkat kemanusiaannya sebagai hamba Allah. Inilah yang menyebabkan terjadinya kekacauan pikiran, kekacauan wacana, kekacauan perasaan dan kekacauan tindakan. Di tengah kekacauan-kekacauan semacam itu kekerasan cenderung menjadi alat untuk memecahkan masalah. Kekerasan fisik terjadi dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan antar bangsa serta antar negara. Bentuk kekerasannya meliputi hampir semua kegiatan manusia. Mulai yang halus berupa kekerasan wacana, sampai yang kasar berupa kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan sosial, kekerasan hukum dan kekerasan budaya. Dengan memilih kekerasan sebagai alat memecahkan masalah sesungguhnya manusia telah kehilangan kejernihan hati dan kejernihan hidupnya. Keruh dan penuh sampah, itulah gambaran yang tepat bagi potret jiwa-jiwa yang menderita di tengah reruntuhan peradaban nilai sekarang ini.

Untuk ini beliau berpesan hendaknya para sastrawan tidak larut atau malahan mengambil keuntungan duniawi dari kehidupan yang telah mengalami defisit ruhani semacam ini. Sastrawan hendaknya berpihak. Berpihak pada akal sehat, pada hati nurani, pada kejernihan jiwa dan kemurnian niat untuk mewujudkan dirinya sebagai insan kamil di mana cahaya cinta menjadi penerang langkah-langkahnya. Dengan demikian karya sastra yang dihasilkan menjadi semacam penunjuk arah bagi masa depan kemanusiaan kita. Karya sastra hadir menjadi bagian dari rahmat Allah untuk manusia dan semesta alam. Mengapa bisa demikian? Karena sastrawan sejati selalu jujur. Jujur dalam pikiran, jujur dalam perkataan, jujur dalam tulisan dan jujur dalam tindakan. Jujur ini bekerja otomatis dalam diri sastrawan sebagai cara untuk beribadah dan untuk mewujudkan cintanya kepada Nabi Muhammad yang selalu jujur. Juga untuk mewujudkan cinta kepada Allah Swt yang telah menciptakan manusia dengan penuh kasih sayang. Karya sastra yang demikian akan memiliki nilai dan umur panjang serta dapat menjadi alat untuk menyapa keindahan ayat suci.

Harapan beliau selanjutnya, para sastrawan hendaknya jangan mudah tergoda dan terpesona oleh bayang-bayang semu dari sukses duniawi yang hari ini tengah dipertontonkan oleh rezim yang mengabaikan keutuhan kemanusiaan kita, rezim yang mengabaikan keseimbangan hidup yang dipandu tanda dari langit. Mengapa langit itu lebih luas dari bumi? Karena langit-langit nilai bisa menjadi payung keselamatan hidup manusia. Kalau manusia hanya mengandalkan kekayaan bumi dan lupa keluasan langit maka nasibnya akan mirip Qorun yang ditelan bumi dengan pemberat kunci-kunci logam gudang kekayaannya. Nasibnya juga akan tenggelam di lautan masalah sebagaimana Fir’aun dan Hamam tenggelam di laut Merah. Sastrawan hendaknya menjauh dari nasib buruk semacam itu.

Para sastrawan yang hadir dalam kongres itu pun tepekur khusyuk oleh Syaikh yang rendah hati yang suaranya lembut menembus hati pendengarnya ini.

Mentes, Tandes, Teges

Ini pengalaman di luar pertemuan sastrawan di atas. Setiap saya punya kesempatan bertemu dengan beliau, bertemu dengan pemikiran beliau, bertemu dengan laporan tentang beliau saya langsung teringat seorang sufi dari Sumatera Barat bernama Buya A. Malik Ahmad. Ketika saya merantau ke Jakarta tahun 1978-1979 saya berkesempatan menyimak ceramah beliau. Apa yang disampaikan waktu itu terasa lucu, baru beberapa tahun saya jadi paham yang dimaksud. Misalnya, Hidup itu ya hidup. Bergerak. Agama itu hidup, bergerak. Dan menghidupkan, menggerakkan. Kalau tidak bergerak dan tidak menggerakkan bukan hidup, bukan agama namanya. Syaikh Nursamad Kamba saya tangkap juga suka menyampaikan hal yang mirip sama. Bahkan bagi beliau, lebih tandas lagi. Misalnya ada yang bertanya, agama itu hidup, hidup berarti bergerak dan menggerakkan, lantas apanya yang bergerak dan menggerakkan? Dengan tangkasnya dijawab, bahwa yang bergerak dan menggerakkan itu jiwamu. Jiwa yang bergerak dan jiwa yang menggerakkan itulah agama. Agama yang hidup, hidup di jiwamu. Dengan demikian, kalau ada yang sampai pada kesimpulan bahwa agama itu statis, beku dan kokoh karena kebekuannya sesungguhnya dia hanya sampai pada bayangan semu dari agama.

Selain itu, agama yang hidup juga merupakan perwujudan dari cinta, cinta yang hidup pula. Tuhan sendiri Maha Hidup dan Maha Cinta. Tuhan memancarkan hidup-Nya dan memancarkan cinta-Nya ke sanubari manusia dan ke seluruh alam semesta. Jadi kalau orang merasa beragama dan mengaku beragama kok dalam hidupnya tidak ada cinta, justru dia memproduksi kebencian misalnya maka dia sesungguhnya sudah kehilangan ruh dari agamanya. Agamanya telah mati ditindas kebencian itu.

Hal ini yang sekarang jarang dipelajari, dipahami, diamalkan dan dihidupkan dalam ekspresi beragama dan membekas dalam pengalaman beragama. Sesungguhnya tanpa disuruh-suruh toleransi, kalau cara beragamanya sudah betul dan dewasa maka dalam diri seseorang sudah ada lebih dari toleransi itu. Toleransi yang penuh, karena dia mengamalkan agama yang hidup dan agama yang memproduksi cinta terus menerus sehingga dirinya sendiri dan manusia serta alam di sekitarnya merasakan kedamaian dan perdamaian yang sejati.

Para sufi selalu menekankan hal-hal yang positif seperti itu. Beliau-beliau itu selalu berikhtiar untuk memayungi dirinya dengan cinta Tuhan dan hidup Tuhan. Dengan demikian ketika berpikir, bercakap, menulis dan melakukan tindakan bimbingan cinta Tuhan dan perlindungan hidup Tuhan selalu menyertai. Sebagai manusia awam seperti saya, maka apa pun yang ditampilkan oleh para sufi dan guru sufi itu selalu mentes (bernas), tandes (mendalam dan mendasar) serta teges (bermakna, amat bermakna). Demikian juga yang saya rasakan dan saya tangkap dari kehadiran dan kehidupan Syaikh Nursamad Kamba selama ini. Jejak-jejak cinta dan hidup beliau masih terasa hangat di dada.

Innallaha yuhibbul muhsiniin, innallaha yuhibbul mukhlisiin, (innallaha yuhibbul muhibbiin aidlon). Aamiin.

Yogyakarta, 2020

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:
Exit mobile version