Syaikh Nursamad Kamba: dari “Seolah-olah” Menjadi “Benar-benar” Iya
Jam setengah delapan pagi Cak Nang mengirim pesan lewat Whatsapp. Dua jam berikutnya saya baru membukanya. Telat memang karena sejak sekolah diliburkan, ngaji anak-anak kampung saya pindah pagi hari.
Pesan dari Cak Nang ternyata tangkapan layar kalender
Padhangmbulan/Bangbangwetan bulan Juni 2020. Ada foto Syaikh Nursamad Kamba bersama Mbah Nun. Di atas foto kalender tersebut saya mencantumkan quote Syaikh Nursamad: “Hikmah ialah kebijaksanaan dan kearifan. Maksudnya, persepsi tentang Tuhan dan penafsiran ayat-ayat-Nya haruslah bermuara kepada kebijaksanaan dan kearifan.”
Saya dan sedulur Jamaah Maiyah mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa Syaikh Nursamad Kamba tengah menempuh perjalanan yang merdeka, kembali kepada Allah.
Berulang kali kita dihadapkan pada momentum laa yasta’khiruuna saa’atan wa laa yastaqdimuun. Ketika ajal telah tiba ia tidak dapat diundur dan dimajukan walau sesaat.
Kepergian Syaikh Nursamad Kamba untuk kembali kepada Yang Sejati menyuguhkan ayat-ayat kauniyah yang sarat hikmah. Pada momentum itu terdapat berlapis-lapis dan berlaksa-laksa cahaya hikmah, yang menurut Beliau, tiada lain adalah kebijaksanaan dan kearifan.
Pada quote itu Syaikh Nursamad berpesan tentang dua hal, yakni persepsi tentang Tuhan dan penafsiran ayat-ayat-Nya. Keduanya harus bermuara pada kebijaksanaan dan kearifan.
Persepsi tentang Tuhan pasti tidak sekadar Sifat Wajib, Sifat Mustahil dan Sifat Jaiz Allah Swt. Bahkan lebih dari itu. Kita dihadapkan pada sistem aqidah (al-‘aqidah) dan teologi yang sarat dengan aliran dan klaim pembenaran. Hal itu justru menciptakan sekat dan ruang yang membatasi keluasan bahkan ke-tidak-terhingga-an atas segala kemungkinan cakrawala pemahaman dan kedalaman pengalaman.
Konflik politik yang mewarnai sejarah perpecahan umat Islam sejak zaman klasik hingga kini, tak terlepas dari pertikaian persepsi tentang Tuhan. Atmosfer perpecahan itu selalu berulang dan berakar pada persoalan yang sama. Manusia mengaku kenal Tuhan melebihi informasi yang disampaikan oleh Tuhan sendiri. Padahal tidak ada seorang pun hamba yang kenal Tuhan, kecuali Tuhan sendiri yang mengenalkan Diri-Nya.
Perpecahan itu melebar hingga menjadi persengketaan sistem teologi dan pemahaman aqidah. Kelompok Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Wahabi, Salafi, Ahmadiyah, Islam Kejawen beserta ranting-ranting furui’yah lainnya merupakan produk sejarah yang merembet pada terbentuknya aliran teologi. Masing-masing kelompok mendeklarasikan diri sebagai penganut aqidah yang lurus, selamat, dan dijamin masuk surga.
Kita berguru pada Syaikh Nursama Kamba bagaimana Islam yang dipahami secara “mainstream”, apalagi yang diperlakukan sebagai lembaga, padatan, institusi, dan kostum, ormas, jangan-jangan belum atau bukan Islam yang sesungguhnya.
Perilaku hikmah yang dimuati oleh kebijaksanaan dan kearifan di tengah perbedaan persepsi aliran teologi masih menjadi utopia di kalangan umat Islam sendiri. Umat yang fakir kebijaksanaan dan kearifan kian diplokotho oleh perilaku kekuasaan yang menuhankan diri. Benturan demi benturan diciptakan demi memuaskan syahwat berkuasa.
Al-hamdulillah-nya, Maiyah bukan semua itu kendati Maiyah berada di tengah itu semua. Maiyah tidak terseret arus pemadatan diri, tidak terjebak kurungan pelembagaan, tidak diserimpung tali institusi, tidak tersungkur ke dalam gerakan ormas.
Di tengah spirit Maiyah yang serba “tidak” di tengah atmosfer peradaban yang serba “ya” terhadap pendangkalan, penyempitan, materialisme, wadagisme, serta virus invidualisme ketuhanan — perjumpaan Syaikh Nursama Kamba dengan Maiyah ibarat tumbu ketemu tutup. Klop!
“Allah memodulasikan dan memperjodohkan sangat banyak hal antara semua yang saya lakukan dengan samudra ilmu Syaikh Nursamad. Beliau dengan saya dan Maiyah adalah semacam symbiose-mutualistik. Semacam “azwajuz-zaman”, perjodohan ilmu dan hikmah sejarah,” ungkap Mbah Nun dalam Syeikh Qoryatul ‘Ilmi.
Perjodohan ilmu dan hikmah sejarah itu cukup banyak yang bisa kita catat dan teladani. Satu di antaranya adalah ketika saya mendengar langsung penuturan Syaikh Nursamad di hadapan jamaah Padhangmbulan. Beliau memaparkan lima pilar jalan kenabian, yaitu independen (berdaulat), menyucikan jiwa, bijaksana, jujur dan cinta kasih.
Jalan Kenabian itu bukan jalan alternatif melainkan satu-satunya jalan yang harus kita tempuh. Sebagaimana jalan keimanan (tauhid) juga bukan salah satu jalan di antara banyak jalan. Jalan tauhid adalah satu-satunya jalan yang harus kita lewati.
Masih menurut Syaikh Nursamad, tauhid, dengan demikian bukan semata-mata konsepsi teologi tentang Tuhan. Dia Yang Maha laisa kamistlihi syaiun, tan kinoyo ngopo, tidak menyerupai apapun dan tidak diserupakan apapun, tidak bisa dirumuskan sebagai padatan, konsepsi apalagi aliran. Padatan konsepsi itulah yang kerap dijadikan alat indoktrinasi.
Melalui penuturan yang jernih, Syaikh Nursamad menyatakan, “Institusi-institusi dan otoritas keagamaan pada umumnya gagal membumikan nilai-nilai kebaikan dari firman-firman Tuhan, karena mengabaikan proses internalisasi.
Alih-alih mendorong kesadaran diri, malah melakukan proses indoktrinasi yang hanya bertujuan membentuk komunitas-komunitas keagamaan yang mengeksploitasi dan memanipulasi firman-firman Tuhan untuk kepentingan golongan sendiri.” (Tetes, Eksploitasi dan Manipulasi Firman Tuhan).
Hasil indoktrinasi tentu bukan kebijaksanaan dan kearifan. Sedangkan tauhid adalah takhalluq bi akhlaqillah, proses internalisasi dan aktualisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dua sifat Tuhan yang jadi “fondasi” adalah sifat Rahman (al-Rahman) dan Rahim (al-Rahim).
“Nama bagi Tuhan bukan sesuatu yang esensial. Tuhan sudah ada sebelum adanya nama. Substansi iman pun demikian, tidak memerlukan klaim-klaim. Orang tak kenal Nama Tuhan, tak kenal sifat-sifat-Nya, tapi perilakunya mendekati nama-nama dan sifat-sifat itu,” ungkap Syaikh Nursamad Kamba. (Tetes, Nama dan Subtansi Tuhan)
Saya menutup tulisan ini, sekali lagi, dengan mengutip isi pikiran Syaikh Nursamad Kamba dalam Tetes, Seolah-olah.
“Pengalaman kebersatuan dengan Tuhan tidak bisa diungkapkan dan dijelaskan dalam bentuk bahasa apa pun. Bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun. Para pejalan sunyi yang memperoleh pengalaman ini menegaskan bahwa pengungkapan yang paling memungkinkan bagi pengalaman tersebut hanyalah “seolah-olah”. Seolah-olah iya tapi tidak, seolah-olah tidak tapi iya. Seolah-olah Dia padahal bukan, seolah-olah bukan padahal Dia. Seolah-olah sampai padahal belum, seolah-olah belum padahal sudah sampai.”
Syaikh, Panjenengan kini tidak lagi mengalami “Seolah-olah” melainkan “Benar-benar” iya. Benar-benar sampai sehingga tiada pengungkapan lain selain Panjenengan benar-benar menikmati jalan sunyi bersatu dengan Tuhan.
Allahummaghfir lahuu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu.
Jagalan, 200620