Syaikh Kamba, Periode Madinah, dan Saya
Sebelum Syaikh Kamba berpulang ke Pemilik Kehidupan, pada suatu kesempatan diskusi Maiyahan online saya sempat bertanya kepada beliau. Semestinya kita perlu mempelajari kembali periode Madinah era Kanjeng Nabi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Urusan pengorganisasian masyarakat memang mendesak dibutuhkan, mengingat Corona praktis membikin panik massal manusia di bumi. Pandemi ini mau tak mau mendorong kita untuk mengkaji dan merenungkan ulang nilai hidup manusia yang telanjur terkungkung wacana globalisasi yang makin memiskinkan kehidupan bebrayan.
Virus Corona memang menguji keserakahan kita yang tak pernah puas mengeruk kekayaan alam. Itu kenapa, bagi saya, membicarakan peradaban Madinah di tengah pageblug sangatlah relevan. Dan itu saya langsung teringat Syaikh Kamba. Orang yang pertama kali menjelaskan kepada saya bahwa di samping sebagai teks, ayat-ayat Tuhan itu juga terhampar luas di alam semesta. Ketika mendengar itu saya langsung klop.
Periode Madinah menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan Kanjeng Nabi. Ketimbang era sebelum hijrah yang berada di Mekah lebih berpusar pada seputar iman, periode Madinah justru menjadi realisasi sekaligus rasionalisasi posisinya di tengah masyarakat. Di situ saya menemukan sisi-sisi humanistik Kanjeng Nabi yang turut mengorganisir masyarakat setempat. Jangan dibayangkan bahwa pada titimangsa itu semua beragama Islam. Tidak. Masa itu justru plural. Beragam agama sampai kepercayaan menyatu di bawah kesepakatan kolektif bernama Piagam Madinah. Di situ letak keunikan dan ketertarikan saya.
Banyak orang mengimajikan Kanjeng Nabi dengan sejurus mukjizat seperti mengendarai Buraq untuk mencapai Langit Ketujuh. Lalu mayoritas orang berdecak kagum sehingga mereka takzim. Di luar itu banyak orang melupakan posisinya sebagai manusia, yang mempunyai dimensi kemasyarakatan, kasih sayang, hingga keberpihakan kepada wong cilik. Bagi saya, beriman itu berparadigma. Orang yang seiman bukan ditandai oleh kesamaan identitas agama, melainkan kesamaan kerangka berpikir.
Hubungan saya dan Syaikh Kamba banyak berpusar pada persoalan paradigma. Terutama bagaimana menyegarkan kembali posisi iman dan agama dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat maupun bernegara. Sangat problematis bila agama pada gilirannya dilembagakan, menjadi institusi yang padat, bahkan sering kali subversif bagi harmoni di kalangan masyarakat. Problem ini akhirnya membuat cara beragama kita cenderung kaku, lebih mengutamakan identitas daripada personalitas. Nahasnya lagi agama menjadi medan komoditas besar-besaran dan alat kekuasaan. Seperti yang sekarang kita alami.
Pada titik tertentu saya merasakan betapa Syaikh Kamba menjadi “stabilo” dari pikiran saya. Di sini saya melihat ada pertautan erat yang saling melengkapi. Di satu sisi Syaikh Kamba mempunyai afirmasi terhadap penguasaannya dengan teks-teks referensial, sedangkan di sisi lain saya mempunyai pengalaman kontekstual bertahun-tahun yang selalu berada di antara masyarakat. Syaikh Kamba sangat menguasai kajian ilmu tertentu karena secara disiplin Ia menyelesaikan jenjang akademik sampai doktoral. Urusan pustaka saya yakin dirinya sangat ahli.
Dalam urusan agama kami mempunyai kegelisahan sama. Berbeda dengan Syaikh Kamba yang akrab dengan teks, saya lebih pada pengalaman sosial. Sejak kecil saya memang tak menggeluti dunia yang bersifat referensial. Masa kecil saya di Banjarnegara pun dahulu masyarakatnya bercorak abangan. Wong orang shalat saja belum lama. Mungkin sekitar sepuluh tahun lalu. Namun, sepanjang saya mengalami di akar rumput, melihat kenyataan sosial-politik, bahkan sampai ke skala ideologi negara, agama alih-alih menjadi aparatus pendisiplinan. Gambaran “data pergaulan” ini banyak yang saya konfirmasikan ke Syaikh Kamba. Ternyata Ia pun mempunyai kesamaan cara pandang.
Latar belakang masa kecil itu justru membuat saya merasa beruntung. Sejak dini tak terjebak pada dogma-dogma arus utama. Saya bisa memandang praktik beragama dari luar tempurung. Hal ini juga tak lantas membuat saya rendah diri: kok tak bisa membaca ayat Tuhan secara fasih. Suatu ketika kegelisahan ini saya tanyakan kepada Syaikh Kamba.
“Syaikh, saya ini kan bukan orang yang menguasai tradisi seperti itu. Tidak menguasai teks. Apalagi bahasa Arab. Berarti kan saya tidak punya kompetensi. Tidak punya otoritas untuk memaknai secara terbuka agama yang saya pelajari dan anut.” Syaikh Kamba pun menjawab, “Ya tidak seperti itu. Al-Qur’an kan ada yang teks dan konteks. Yang tertulis dan yang tersedia di semesta ini. Pak Toto kan yang kedua. Belum tentu itu menjadi kelemahan.”
Separuh hidup saya memang bergelut di ranah pendidikan populer dan pengorganisasian masyarakat. Mendengar jawaban Syaikh Kamba itu saya kemudian merefleksikan diri. Bukankah realitas sosial yang tengah kita hadapi sekarang ini justru merupakan bagian inheren dari ayat-ayat alam semesta itu? Sejauh mana orang melihatnya sebagai ayat tak tertulis?
Melalui Syaikh Kamba, gambaran tentang alam semesta berikut keanekaragaman realitas sosialnya membuat periode Madinah di masa Kanjeng Nabi sangat dekat bagi kita hari ini. Ia akrab bukan saja nama kota Madinah bisa dilacak letaknya, melainkan juga dari, dalam, dan melalui sosial-masyarakat itu sendiri sebagai titik historis maupun sosiologisnya.
Pada suatu kesempatan umrah ke Arab Saudi, kendati mulanya bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng, saya mengkhususkan diri untuk bertandang ke kota Madinah. Syaikh Kamba banyak membantu sekaligus menemani. Di sana saya menyaksikan langsung artefak-artefak peninggalan periode Madinah yang pada masanya pernah berjaya. Kejayaan yang tak meniadakan perbedaan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat bagi orang-orang berpikir.
Bahwa sepeninggal Kanjeng Nabi era Madinah ini tak lagi seperti harapan manakala kejayaannya berlangsung, saya kira itu sekadar masalah politis. Betapa intrik politik waktu itu, apalagi seusai Nabi wafat, sedemikian kompleks dan problematis. Jangan-jangan warisan dogma maupun sejarah yang sampai kepada kita saat ini justru lebih banyak didominasi oleh narasi politis pasca-kematian Kanjeng Nabi? Bisa jadi. Terlebih praktik beragama kita lebih dipengaruhi corak fikih tertentu ketimbang penelusuran secara otentik kehidupan Kanjeng Nabi itu sendiri.
Naif bila kita mengaitkan Nabi hanya mengurusi masalah surga dan neraka. Seperti seolah-olah agama itu hitam dan putih ataupun benar dan salah. Periode Madinah menyodorkan narasi historis bahwa Kanjeng Nabi juga berurusan dengan masalah-masalah sosial: pangan, arsitektur, resolusi konflik, dan lain sebagainya. Di Madinah saya mempelajari jejak-jejak tersebut.
Syaikh Kamba, menurut hemat saya, menunjukkan era Madinah itu tak ubahnya seperti bukti antropologis yang mana beragama itu sangat dekat dengan masalah-masalah metodologis sosial-masyarakat. Dalam bahasa sekarang: Kanjeng Nabi telah melakukan pemberdayaan sekaligus pengorganisasian masyarakat guna mencapai tatanan yang adil, makmur, dan harmonis.
“Nabi itu ternyata tak mengislamkan secara administratif orang-orang yang non-Islam. Ukurannya itu saja. Nabi itu jebule dahsyat,” pikir saya waktu itu. Ironinya, sepeninggal Kanjeng Nabi, orang-orang Islam justru sibuk mengislamkan secara birokratis. Problem agama, dengan demikian, berangsur tiga tahap: dari nilai lalu menjadi identitas, sehingga akhirnya melahirkan entitas.
Adakah Metode Genuine dalam Islam?
Persinggungan saya dengan Syaikh Kamba juga menyasar pada masalah metodologi pengajaran. Saya bertanya kepada beliau mengapa di institut berbasis Islam sekali pun kok tak ada metodologi yang genuine (sejati) sebab komponen yang ada masih didominasi ilmu Barat. “Coba saja lihat di Jurusan Dakwah. Itu kan kebanyakan Barat semua,” keluh saya. Syaikh Kamba senada dengan kegelisahan itu. Kebanyakan memang metode-metode itu dipungut dari Barat. “Yang ada metode dari mana pun tetap diwarnai dengan nilai Islam,” jawab Syaikh Kamba.
Topik diskusi ini saya ajukan ke Syaikh Kamba setelah memberikan lokakarya metodologi pendidikan populer di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon. Orang-orang yang sebelumnya ikut lokakarya itu sengaja saya minta untuk bertemu dengan Syaikh Kamba di Bandung. Di dalam pikiran saya, seharusnya metodologi di IAIN itu bisa dikembangkan. Misalnya seperti konsep di Madinah, baik sebagai dasar filsafat maupun praksis di lapangan. Dengan begitu mereka dapat langsung terjun ke masyarakat untuk melakukan pemberdayaan. Bukan hanya memisahkan antara transformasi pengetahuan keislaman, melainkan juga bagaimana ia diejawantahkan sebagai strategi pengorganisasian masyarakat. Pendekatan holistik (kesatuan) perlu diterapkan secara metodis.
Setelah dosen-dosen muda itu bertemu Syaikh Kamba, kalau tak salah Syaikh Kamba juga sempat ke IAIN Cirebon sebanyak dua kali. Idealisasi yang saya pikirkan bersama Syaikh Kamba ini sayangnya baru diterapkan di semester enam. Lagi-lagi rasionalitas ide pendidikan, betapapun logis konsepsinya, tetap saja menghadapi meja rezim birokrasi. Di Indonesia beginilah masalah akut itu beroperasi. Pendidikan harus dikondisikan oleh aturan administrasi-prosedural. Ditambah pula di sekelilingnya itu terdapat masalah klasik yang mengemuka, yakni pola relasi kepemimpinan internal lembaga yang cenderung feodal. Akhirnya rasionalitas ide harus bertekuk lutut di hadapan keduanya.
Ide ini mengembalikan IAIN kepada fungsi dasarnya di tengah masyarakat. Minimal ia punya laboratorium misalnya batik, kuliner, pangan, dan apa pun yang berpotensi di sekitar Cirebon ataupun Kuningan. Para mahasiswa bisa memaksimalkannya untuk belajar, baik dalam rangka penelitian maupun Kuliah Kerja Nyata. Implementasi ini sesungguhnya merupakan esensi dari peradaban Madinah yang antara pemahaman agama dan laku merdesa di masyarakat berjalin dialogis. Laboratorium itu, dengan kata lain, dapat menjadi tempat “refleksi teologis” bagi mahasiswa. Inilah yang disebut pembelajaran kontekstual.
Pengalaman di Cirebon ini memang mendekatkan saya secara praksis ilmu kepada Syaikh Kamba. Berita meninggalnya beliau pada Sabtu 20 Juni 2020 itu pun justru saya dapatkan dari teman-teman Cirebon. Melalui sambungan telepon, Syaikh Kamba dikabarkan wafat dan akan dikebumikan hari itu juga. Sepertinya sebulan sebelum itu kami masih berbincang hangat seperti biasanya seputar Piagam Madinah di Reboan on The Sky, Kenduri Cinta. Tak disangka perjumpaan virtual tersebut merupakan pertemuan terakhir. Walaupun begitu, memori kami, saat-saat di Madinah hingga Maiyahan bareng, akan terus terkenang selamanya.