Syaikh Kamba Menemukan Kembali Software Asli Islam
Banyak sekali yang ingin saya tanyakan kepada Syaikh Kamba, terutama tentang pemahaman saya atas Agama, Islam, dan Nabi Muhammad Saw. Saya berencana menghubungi beliau, tapi akhir Mei lalu, sebuah pesan masuk di grup Whatsapp internal Rumah Maiyah, yang diteruskan dari Bu Fatin Hamama, mengabarkan perihal kondisi kesehatan Syaikh yang semakin menurun sampai memerlukan transfusi darah. Sesaat setelah membaca pesan itu, spontan saya bilang ke istri, “Kalau ingin mewawancarai Syaikh Kamba, lebih baik segera saja, mumpung beliau masih ada, karena rasanya kok waktunya nggak akan terlalu lama lagi.”
Saya tidak selalu merasakan seperti itu bila mendengar kabar kondisi kesehatan seseorang. Tapi saat itu, firasat muncul begitu saja dengan rasa kuat yang sama seperti ketika saya mendengar berita Gus Dur dirawat seminggu sebelum beliau mangkat. Sama juga dengan pada saat kondisi kesehatan Pak Is KiaiKanjeng menurun usai operasi dan dijenguk Cak Nun beberapa hari sebelum meninggalnya. Dan firasat itu juga sama dengan ketika saya ada kesempatan mudik pertama kali dari Philadelphia tahun 2015 untuk menjenguk ayah yang sudah lama terbaring sakit. Dalam beberapa minggu di rumah itu, saya merasakan bahwa itu adalah pertemuan terakhir dengan ayah. Enam bulan kemudian, pada saat saya di Amerika lagi, ayah benar-benar pergi selamanya.
Wawancara dengan Syaikh Kamba sangat penting bagi istri saya karena menyangkut penelitian yang akan dilakukan terkait rencana disertasinya nanti mengenai Maiyah. Belum terlalu mendalam informasi yang kami peroleh dari beliau. Saya dan istri sempat ngobrol banyak ketika menemani Syaikh berbuka puasa saat Ramadlan tahun 2018. Malam harinya, beliau dijadwalkan memberikan kuliah umum di Kadipiro tentang buku Sejarah Otentik Nabi Muhammad Saw yang diterjemahkannya. Kami sengaja datang sejak sore karena ada beberapa hal yang ingin ditanyakan istri saya ke beliau.
Obrolan sore itu sekaligus sebagai wawancara untuk mengonfirmasi beberapa hal yang menjadi bahan tulisan istri saya dengan judul The Reception of the Qur’an in Popular Sufism in Indonesia: Tadabbur among the Ma’iyah Community, yang menjadi bagian dalam buku Communities of the Qur’an: Dialogue, Debate and Diversity in the 21st Century (Editor: Emran El-Badawi dan Pula Sanders), dan diterbitkan Oneworld Publications tahun 2019.
Istri saya selalu penasaran mengenai pemahaman tasawuf Cak Nun, yang kita tahu tidak pernah mempelajari karya-karya tasawuf para pemikir muslim berabad-abad lalu, tetapi bisa banyak sekali kesamaan, seperti dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi. Kesamaan itu dikonfirmasi istri saya kepada Syaikh, apakah beliau yang menginformasikannya kepada Cak Nun. Syaikh justru menerangkan bahwa Cak Nun lah yang membuat beliau akhirnya bisa paham pemikiran Ibnu ‘Arabi. Bertahun-tahun Syaikh mempelajari Ibnu ‘Arabi di Al-Azhar Mesir, tapi obrolan dengan Cak Nun di tepi sungai Nil tahun 2003 menyingkap kebuntuan dalam memahami Ibnu ‘Arabi.
Istri saya bertanya bagaimana kesamaan itu bisa terjadi. Syaikh menjelaskan, dan diulangi kembali ketika kuliah umum malam itu, bahwa antara Ibnu ‘Arabi dan Cak Nun mengakses sumber yang sama, langsung dari lauhil mahfudz. Berbagai informasi dihamparkan di sana, tinggal diakses. Sebenarnya kita semua bisa mengaksesnya, tapi kemampuan “software” batin kita tidak secanggih Ibnu ‘Arabi dan Cak Nun.
Momen ‘ngeh’ Syaikh pada tahun 2003 itu, menurut saya ibarat memperoleh kunci dari Cak Nun untuk membuka pintu pemahaman Ibnu ‘Arabi. Dan di Maiyah, Cak Nun selalu memberi kunci-kunci ilmu kepada kita untuk membuka pintu ruang-ruang pemahaman. Bagi saya, peran Syaikh Nursamad Kamba adalah menunjukkan pintu-pintu apa saja yang bisa dimasuki dengan kunci ilmu Cak Nun. Salah tiganya adalah pintu agama, Islam, dan Muhammad Saw.
Setelah memasuki kedua pintu agama dan Islam, berbekal kunci ilmu dari Cak Nun, saya dihadapkan kepada hasil pemahaman-pemahaman yang perlu saya tanyakan kembali kepada Syaikh sebagai konfirmasi sejauh mana kekeliruan pemahaman saya. Karena saya orang yang lambat sekali berpikir, pemahaman itu baru muncul belakangan, saat Syaikh sudah menurun kondisi kesehatannya.
Pintu Agama
Cak Nun membekali kita kunci ilmu: kalau manusia mencari Tuhan, itu namanya rasa keagamaan atau religiusitas. Kalau Tuhan menginformasikan, menghidayahi, menyuruh dan melarang, itu namanya Agama atau religion. Syaikh Kamba menunjukkan pintu agama yang dipandangnya sudah sangat formalistik yang memadat. Dengan bekal kunci itu, saya pun masuk pintu, berproses, lalu timbul pertanyaan, apa iya agama yang dari Tuhan itu bentuknya seperti yang kita pahami sekarang?
Untuk menjawab pertanyaan itu tentunya tidak mudah. Tapi kemampuan berpikir saya yang awam ini, mencoba untuk membuat analogi, yang bisa jadi akan keliru menjadi sebuah simplifikasi. Potensi keliru ini yang sebenarnya ingin saya tanyakan kepada Syaikh, seandainya beliau masih sugeng. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah pemikiran saya yang ingin sekali saya diskusikan dengan beliau untuk dikoreksi.
Saya analogikan manusia dengan kecerdasan budayanya itu ibarat komputer canggih yang memiliki kemampuan artificial intelligent. Komputer bisa sangat cerdas karena kecanggihan perangkat lunak operating system yang ditanamkan. Dia bisa memproses sendiri dan menjalankan apa saja otomatis sejauh yang diprogramkan oleh penciptanya. Tapi komputer itu diprogram untuk tidak akan pernah benar-benar bisa mengenali dan memahami penciptanya.
Manusia “diprogram” oleh Tuhan untuk bisa menjalani hidup di dunia. Dengan kecerdasannya, manusia bisa mengeksplorasi segala hal. Di tengah eksplorasi, manusia berproses juga untuk mencoba mengenali dan memahami Tuhan. Ada rasa keterbatasan dalam eksplorasinya, bahwa tidak segala hal bisa dikendalikannya. Seperti mengendalikan dengan sangat presisi kapan bisa buang air kecil atau air besar. Tidak bisa mengendalikan tumbuhnya rambut. Tidak mampu mengontrol tumbuhnya gigi. Manusia menyadari ada kekuatan lain yang mengendalikannya.
Manusia selalu mencari siapa Dia. Siapa yang menciptakan mereka. Upaya manusia mencari itu adalah bentuk religiusitas. Syaikh Kamba yang malang melintang mempelajari tasawuf bertahun-tahun di Mesir, mengakui terkesima dan memiliki kesan yang sangat mendalam dengan religiusitas manusia nusantara dengan pencarian dan pencapaian pemahamannya akan Tuhan yang sudah sangat tinggi, bahkan jauh sebelum Islam hadir.
Ditandaskan Cak Nun, manusia nusantara hampir bisa seratus persen mengetahui Tuhan, tinggal sedikit lagi pencapaian religiusitasnya. Tapi mentok. Karena mereka tidak akan bisa mengenali sendiri Tuhan dengan pencariaannya. Sisa yang sedikit itu harus Tuhan sendiri yang memberitahu manusia, yaitu lewat Islam. Religiusitas nusantara itu tumbu yang ketemu tutup Islam. Botol yang menemukan tutupnya. Itu pun sebenarnya Tuhan tidak dengan gamblang memberitahu akan diri-Nya melalui Islam, karena manusia tidak akan sanggup menerima informasi itu.
Ingat Nabi Musa yang pernah meminta Tuhan memperlihatkan diri-Nya di Pegunungan Sinai. Tuhan sudah mengingatkan Musa kalau tidak akan sanggup melihat-Nya. Tuhan malah menampakkan diri-nya kepada sebuah gunung dan gunung itu pun hancur. Musa pingsan. Ketika siuman, Musa bertaubat, beriman kepada Tuhan (Al-A’raf: 143). Untuk menapaktilasi pencarian Nabi Musa itu, tahun 2003 Syaikh Kamba menemani Cak Nun, Bu Novia, Cak Fuad, dan KiaiKanjeng ke titik di gunung tempat Musa pingsan di Mesir itu.
Kecanggihan kecerdasan artifisial sebuah komputer, agar bisa mengenali dan memahami penciptanya, harus diinstal software khusus tambahan oleh penciptanya agar bisa memproses menuju pengenalan akan si pencipta. Dalam pemahaman saya lewat analogi inilah saya berkesimpulan sementara, yang perlu saya konfirmasikan kepada Syaikh Kamba, bahwa posisi agama itu hanya software tambahan bagi operating system manusia untuk lebih berakhlak dalam perjalanan hidupnya dan mengerti terminal akhir tujuannya, mengenali Tuhannya dan beriman kepada segala ketentuan-Nya. Tuhan menginstalkan Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Hanya Satu Software Agama
Tuhan punya cara yang asyik dalam memberikan software tambahan ini kepada manusia. Software itu diinstal Tuhan lewat petugas instalasi-Nya, Jibril ‘alaihissalam, kepada para nabi. Dengan menginstal agama kepada para Nabi-Nya, software itu tidak hanya ditawarkan secara lisan, tapi manusia lain melihat langsung dan merasakan fungsi agama dalam perilaku kehidupan Nabi. Para Nabi dan Rasul bukan sales penjualan yang sekadar ngecap tentang agama.
Lalu timbul pertanyaan, ada berapa software yang dibuat Tuhan buat manusia? Kok hari ini kita mengenal ada software Islam, Kristen, dan Yahudi? Kalau Cak Nun memberi kunci bluluk, cengkir, degan, dan kelapa untuk memahami kesatuan agama, maka saya memprosesnya dengan memahami bahwa Tuhan hanya membuat satu software (agama).
Tuhan mendesain kehidupan alam semesta beserta manusia dan makhluknya dengan menyelenggarakan evolusi. Ia menginformasikan kepada kita menciptakan alam semesta dalam enam hari. Pun begitu juga dengan software yang menjadi panduan perjalanan manusia ini, semua bersifat evolusioner.
Kalau operating system Android berevolusi dari Android 1 sampai hari ini menjadi Android 11, katakanlah, misal, software yang diberikan sejak Nabi Adam hingga Nabi Musa itu adalah software Agama 1, kemudian Tuhan bikin versi upgrade Agama 2 kepada Nabi Daud, dikembangkan lagi oleh Tuhan menjadi Agama 3 dan diinstal kepada Nabi Isa. Tuhan menyempurnakan evolusi finalnya kepada Nabi Muhammad Saw dengan menginstal Agama 4. Jadi ibarat Android yang hanya satu program, Tuhan pun bikin hanya satu agama.
Evolusi satu software dari versi awal hingga final, rasanya tergambar dari sebuah hadits Rasulullah lewat Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai tugas Nabi Muhammad Saw membawakan software terakhir yang sempurna, menjadi penutup risalah para rasul sebelumnya. “Sesungguhnya perumpamaanku dengan perumpamaan para nabi sebelumku adalah seumpama seseorang yang membangun sebuah rumah; di mana ia menjadikan rumah itu indah dan sempurna. Namun terdapat satu sisi dari rumah tersebut yang belum disempurnakan (batu batanya). Sehingga hal ini menjadikan manusia menjadi heran dan bertanya-tanya, mengapa sisi ini tidak disempurnakan? Dan akulah batu bata terakhir itu (yang menyempurnakan bangunannya), dan aku adalah penutup para nabi.”
Apakah software dari Tuhan itu berhasil diinstal oleh manusia? Ada manusia yang beriman dan menginstalnya, tapi banyak juga yang tidak. Meskipun Nabi Nuh ditanamkan software itu oleh Jibril dan mengajak manusia lain menggunakannya, toh istri dan anak beliau tidak mau pakai.
Analogi simplifikasi awam saya yang tak mampu memikirkan kerumitan matematika hingga tahap detail ini tentu tidak bisa diterima banyak orang. Tapi saya tetap melihat manusia yang menggunakan software agama itu juga seperti pengguna berbagai versi Android tadi. Ada yang suka dan cocok banget dengan Android 7 (Nougat). Tatkala para developer mengembangkan dan menyediakan Android 8 (Oreo), 9 (Pie), bahkan hingga Android 11, banyak pengguna Nougat yang tetap memakainya, tidak meng-upgrade ke Oreo. Mungkin kemampuan smartphone-nya tidak mendukung versi termutakhir, mau beli baru tapi kemampuan ekonomi tidak mendukung. Atau memang tidak mau pakai yang baru karena banyak kemampuan Nougat yang sangat menguntungkan pemakainya, dan ketika bugs di Nougat yang menguntungkan itu diperbaiki pada versi Oreo, menyebabkan hilangnya beberapa keuntungan pemakai Nougat.
Umat Nabi Daud merasa sudah cukup pakai software Agama 2 (Yahudi), dan umat Nabi Isa sangat nyaman dengan software Agama 3 (Nasrani). Tatkala Tuhan meluncurkan versi ultimate, versi final, Agama 4 (Islam) perlu proses dan hidayah untuk menerimanya, apalagi menginstalnya. Banyak faktor dan kerumitan sejarah di sana, terutama bila berhubungan dengan kekuasaan. Peluncuran software Agama 3 (Nasrani) saja menimbulkan keguncangan bagi pemuka Agama 2 (Yahudi).
Penguasa sering melihat potensi software ini sebagai sesuatu yang menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan, serta memiliki pengaruh kuat menundukkan masyarakat. Mungkin karena persentuhannya dengan kekuasaan itu, agama berkembang memadat menjadi “lembaga” yang wujudnya formal. Tampaknya begitu yang terjadi kepada software Agama 3 (Nasrani) ketika dijadikan software resmi di wilayah kekuasaan (state) Romawi pada abad ke-4 Masehi, hingga masa Romawi Timur pada masa kehidupan Nabi Muhammad. Nasrani yang mulanya hanya sebuah software memadat menjadi sebuah komputer.
Kepadatan atau bentuk formalitas Agama inilah yang menurut Syaikh Kamba dalam kuliah umum Ramadlan 2018 di Rumah Maiyah malam itu yang coba dicairkan kembali oleh Nabi Muhammad. Agama dikembalikan dalam wujud asalnya sebagai software, dengan membawa penyempurnaan yang diberikan Tuhan, yaitu software Islam.
Dari Software Malah Menjadi Komputer Islam
Pemadatan yang menimpa software Nasrani itu, dalam perjalanan sejarah, sepeninggal Nabi Muhammad pada akhirnya juga terjadi pada software agama versi Islam. Sepemahaman saya dari penjelasan Syaikh, oleh kekuasaan di masa Abbasiyah–perlu penelitian lebih mendalam sejak masa kapan dari dinasti ini formalitas itu terjadi—software ini menjadi komputer Islam. Walaupun tidak bisa dipungkiri, sebagai konsekuensi sejarah, di masa pemadatan ini juga berkembang berbagai aplikasi (baca: khazanah keilmuan) seperti fiqih, tafsir, tasawuf, nahwu, balaghah, falak, dan sebagainya.
Meskipun memadat, komputer Islam itu terus berkembang dari masa ke masa, bahkan mengalami masa kejayaan yang memicu perkembangan sains dan teknologi, bahkan mampu menginspirasi Eropa hingga bangkit dari keterpurukan dan melaju dengan kemodernannya hari ini.
Sebelum saya lanjutkan, simplifikasi pemahaman saya bahwa Islam hanyalah software mungkin keliru. Karena ada suara lain yang justru melihat Nabi Muhammad ketika itu tidak hanya membawa software, tapi sudah berupa komputer. Saya bisa memahami hal itu karena informasi di dalam Al-Qur`an sebagai panduan instalasi software tidak bisa dilepaskan dari konteks kebudayaan masyarakat Arab yang dihadapi Rasulullah.
Kalau saya produsen sebuah aplikasi smartphone, ambil contoh namanya InstaTon, sebuah aplikasi berbagi foto dan video. Untuk menunjukkan kemampuan aplikasi ini ketika hendak menjualnya, tentu saya harus menginstalnya pada sebuah smartphone percontohan sebagai display. Agar pangsa pasar aplikasi saya luas, maka saya harus menunjukkan kecanggihannya di berbagai mobile operating system. Harus bisa dijalankan dengan baik di Android, iOS, Microsoft, atau Blackberry. Juga prima dioperasikan pada bermacam merk smartphone yang menggunakan sistem-sistem itu.
Nah, untuk Android, karena ini open source, ada banyak sekali merek yang menggunakannya sebagai basis. Saking banyaknya merek, smartphone percontohan yang saya gunakan hanya beberapa saja sebagai sampel. Saya pakai Samsung, Oppo, dan Xiaomi. Yang penting cukup mewakili. Toh apapun mereknya, asal dia Android, tampilan dan fungsinya sama. Agak sedikit berbeda memang bila diterapkan di iOS yang digunakan iPhone. Karena kita tahu, aplikasi harus menyesuaikan dengan basis operating system sebuah smartphone. Sedikit berbeda dalam tampilan, tapi fungsi aplikasi InstaTon saya tetap sama.
Ternyata, Tuhan menghendaki software Islam ini “dipasarkan” dengan menggunakan manusia Arab sebagai “display”-nya. Secara spesifik lagi pada masyarakat Quraish di jazirah Arab. Sehingga, perlu detail-detail panduan fungsi aplikatif sesuai konteks kebudayaan yang terjadi di masa kehidupan Nabi Muhammad. Sehingga, seolah-olah Rasulullah tampak membawa Islam dalam wujud komputer. Mungkin bila “display” yang diinstalkan Tuhan adalah manusia Jawa, bisa jadi Al-Qur`an sebagai panduan instalasi software Islam akan berbahasa Jawa dan memuat detail fungsi aplikatif sesuai konteks kehidupan masyarakat Jawa di wilayah tropis.
Untuk itu saya tetap memandang Islam sebagai software karena pemahaman pemadatan Islam sebagai komputer ini berimplikasi pertikaian dan pertengkaran. Pemilik komputer Islam merek mazhab “H” digunakan penguasa untuk melawan oposisi yang menggunakan pengguna komputer Islam merek mazhab “S”. Ini terjadi sepanjang sejarah, antara berbagai mazhab, sampai hari ini. Perjalanan sejarah Islam berabad-abad yang pada akhirnya sampai kepada kita, menurut Syaikh Kamba, Islam bukan lagi sebagai software tapi sudah berwujud komputer dengan merek mazhab tertentu, produk penguasa di masa dinasti Abbasiyah. Islam yang diformalitaskan, berkonsekuensi memadatkan khazanah pemahaman dan penafsiran di dalamnya menjadi mazhab, baik dalam fiqih maupun tasawuf.
Yang menarik, menurut Syaikh, ketika tiba di Nusantara di masa awal, tampaknya Islam masih berupa software. Berbeda halnya dengan saat Islam masuk Persia, yang disertai penaklukan kekuasaan yang masuk dalam wujud komputer. Tapi sayangnya, software Islam yang dibawa Wali Songo ini di Indonesia memadat menjadi komputer juga. Ada komputer Islam merk NU, merek Muhammadiyah, merek LDII, merek MTA, merek HTI, dan merek-merek lainnya. Bukan berarti itu buruk karena berabad-abad ada hal-hal positif dalam formalitas Islam. Tapi kepadatan seperti itu sangat rentan dengan pertengkaran. Sesama pemilik komputer rawan dipertentangkan untuk perebutan kekuasaan, antara yang memihak 01 atau 02.
Menginstal Software Islam Lewat Jalan Kenabian
Formalitas dan pemadatan Islam inilah yang selalu membuat resah Syaikh Kamba dan konsisten disampaikan dalam berbagai tulisan dan kuliah beliau. Formalitas yang cenderung menekankan aspek ritual dan sering mengikis spiritualitas. Islam dalam wujud komputer lebih mudah menjadi komoditas, baik politik maupun ekonomi. Tasawuf yang seharusnya menjadi kesatuan fungsi dalam software Islam, hanya menjadi sebuah aplikasi pelengkap dalam komputer Islam yang dibuka hanya bila dibutuhkan.
Keresahan itulah yang disuarakan dengan keras oleh Syaikh Kamba dalam buku beliau Bertasawuf di Zaman Now, yang menjelang terbit oleh Cak Nun disarankan untuk diberi judul “Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam”. Dengan sangat gembira Syaikh Kamba menerima usulan Cak Nun itu. Dan saat ini saya membaca judul itu menjadi “Kids Zaman Now Menemukan Kembali (Software Agama) Islam”.
Mengapa Syaikh Kamba begitu senang dengan judul dari Cak Nun itu? Saya hari ini berkhayal Syaikh ketika itu memandang bahwa mayoritas jamaah Maiyah hari ini adalah kids zaman now, dan Maiyah dalam perjalanannya berupaya menjalankan Islam sebagai software yang asli. Karena software Islam yang sampai ke kita hari ini menurut Syaikh sudah terkontaminasi dengan berbagai virus produk politik pasca Khulafaur-Rasyidin. Inilah yang selalu didorong oleh Syaikh dalam masyarakat Maiyah. Bahwa salah satu cara mengenali mana software Islam yang asli itu adalah dengan mempelajari siroh Nabi Muhammad.
Untuk itulah buku Prof. Dr. Husain Mu’nis yang diterjemahkan Syaikh menjadi sangat penting. Karena software Islam itu telah diinstal Tuhan ke dalam diri manusia Muhammad sehingga otentisitas Islam mewujud dalam akhlak beliau. Oleh sebab itu Syaikh Kamba sangat menyukai puisi Cak Nun yang berjudul “Muhammadkan Hamba Ya Rabbi”, karena dengan me-Muhammad-kan diri, berarti menginstal software Islam dalam diri kita.
Buku Husain Mu’nis ini menurut Syaikh memotret Muhammad Saw sebagai manusia biasa dan di sinilah letak pentingnya bagi masyarakat Maiyah. Karena ada problematika cara pandang kita kepada sejarah Nabi Muhammad. Menurut saya, pada saat kita mempelajari sejarah kehidupan Muhammad, citra yang kita proyeksikan mengenai beliau penuh dengan bias identitas yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari di masa modern ini. Nabi Muhammad kita lihat terpecah-pecah.
Kita mempelajari Nabi Muhammad dengan personifikasi seorang ustadz atau Kyai. Para pebisnis melihatnya dengan personifikasi pedagang. Tentara melihatnya dengan personifikasi jenderal perang. Dan seterusnya, yang pada dasarnya kita lebih banyak mempelajari dari sudut pandang tugas yang Muhammad perankan.
Kalau boleh saya mengumpamakan, ibarat pemanggungan sebuah teater, sejarah kehidupan Nabi Muhammad kita saksikan dari bangku penonton. Yang tampak adalah cerita peran-peran sepanjang berbagai episode kehidupan beliau di dunia. Ada baiknya kita mengikuti Kyai Toto Rahardjo, yang menyaksikan kehidupan Rasulullah dari belakang panggung.
Kyai Tohar diajak Syaikh Kamba untuk melihat dan mempelajari Rasulullah dari belakang panggung, menemani Cak Nun yang sudah terlebih dulu berada di sana sejak lama. Tidak hanya menyaksikan saat “drama pementasan”, tapi diajak bergabung melihat proses behind the scene, di balik layar bergaul dan mencoba mengerti kehidupan Rasulullah dari perspektif manusia Muhammad.
Di sinilah pejalan Maiyah berada, mencoba menggunakan software Islam dari dalam diri Muhammad. Seperti perspektif yang digunakan dalam game sejenis PUBG dalam virtual reality, kita melihat sejarah kehidupan Muhammad dari sudut pandang Muhammad itu sendiri. Praktek berIslam masyarakat Maiyah di zaman modern ini berusaha menggunakan software asli Islam yang dipakai Nabi Muhammad. Karena perspektif yang digunakan Maiyah adalah perspektif dari diri manusia Muhammad sebagai nabi, maka sudah tepat Syaikh Kamba menyebut jalan Maiyah ini sebagai jalan kenabian.
Dengan menggunakan software asli Islam, Syaikh Kamba mengharapkan terjadinya aktualisasi kemuliaan sikap hidup dalam kinerja operating system kemanusiaan kita. Karena software ini tidak tampak, maka yang seharusnya mewujud dalam akhlak dan kepribadian manusia itu mengandung kunci ilmu dari Cak Nun, yaitu menyatunya kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam pergaulan manusia dengan alam, masyarakat, sesama manusia, makhluk-makhluk Tuhan, dan terutama Tuhan itu sendiri.
Andai saja Syaikh Kamba ada di hadapan saya saat ini, ingin sekali saya tanyakan, apa saja yang keliru dari pemahaman awam saya tentang agama, Islam, dan Muhammad Saw yang saya tulis ini.