CakNun.com

Sunan Seteng Paduka Jemek dalam Tikungan Corona

Eko Tunas
Waktu baca ± 3 menit

Bagi: segenap keluarga Teater Perdikan dan Progress yang percaya pada kekuatan rindu.
Sebab cinta hanyalah kepingannya.
Bahwa kehidupan ini dibuat atas dasar kerinduan.
Bismilah…

Saya cukup trenyuh membaca esai Agus Seteng Yuniawan, “Wa Huwa Yudrikus Sunan Sableng dan Paduka Petruk”. Bagaimana setelah melewati kebersamaan latihan Teater Perdikan dengan sutradara Jujuk Prabowo, pentas “Sunan Sableng dan Paduka Petruk” (SSPP) karya Emha Ainun Nadjib ditunda karena merebaknya Corona. Hari ini, ya hari ini mestinya kami pentas, tulis Seteng dengan kata-kata seolah berlinangan airmata.

Saya bisa merasakan, sebab saya juga pernah merasakan hal sama. Misalnya saat Teater RSPD Tegal sutradara Yono Daryono menggarap satu lakon tertunda karena ketatnya ‘keamanan’ di era Orde Baru. Disebabkan naskah saya yang berjudul “Sang Koruptor” dibekukan — siapa berani menyebut kata koruptor di era itu. Meski pada gilirannya diloloskan pentas di Taman Ismail Marzuki, dengan judul mesti diubah, menjadi “Langit Berkarat 2” — sebab ada naskah saya berjudul “Langit Berkarat”.

Moga setelah virus Covid-19 mereda, SSPP bisa lanjut proses dan pentas. Sebagaimana yang pernah saya saksikan, saat penggarapan naskah Emha sebelumnya, “Tikungan Iblis”. Ya, saya menyaksikan gladi resiknya bersama Aprinus Salam, bahkan kami diberi kesempatan memberikan komentar. Juga, saya menonton pementasannya di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) bersama Halim HD.

Naskah Emha bagi saya selalu mengungkap persoalan sosial-politik kekinian. Kontekstual dengan daya ungkap komis-tragis, komedi campur tragedi. Atau yang menurut Bakdi Soemanto, tragic-comiko. Bukan model lakon Moliere atau Anton Chekhov, tapi lebih memiliki jiwa Jawa yang khas Emha. Bagaimana tokoh-tokoh ditampilkan sebagaimana komedi Mataraman tapi khas guyon-maton “Kadipaten-Patangpuluhan” 1980-an. Saya kira inilah yang juga ditangkap oleh sutradara Jujuk.

Pemain-pemain, dari Joko Kamto hingga Jemek Supardi seperti menemukan tokoh masing-masing yang digambarkan dalam lakon. Sutradara lalu lebih menegasi sambil membuat bangunan besar penyutradaraan. Bagaimana dalam prolog tokoh Ibu (Novia Kolopaking bersama beberapa anak) yang akan mendongeng untuk anak-anaknya, dimunculkan dari pintu masuk, seakan menyeruak ruang penuh penonton berkapasitas 2000-an, sambil menyanyikan lagu musik orkestra Kiai Kanjeng yang sakral itu.

Lalu tak kurang menarik, saat Jujuk menghadirkan ban besar (ban tronton, dicat putih) yang perlahan digulirkan dari sebeng ke sebeng panggung, dalam adegan gerakan proletarian. Bagi saya ini bukan sekadar properti tapi lebih sebagai instalasi yang tepat disajikan sebagai roda zaman.

Kemudian lebih dari itu, Jemek naik ke atas ban menegaskan watak tokoh yang dibawakannya khas Jemek sang pantomimer. Inilah saya kira maskot keberhasilan Jujuk sebagai sutradara, yang terus terang saya ingin menyaksikan maskot lain di lakon berikut.

Saya ingat, bahkan Jemek dalam penampilan keseharian dan hidup sehari-hari sudah pantomime. Termasuk saat emosi, misalnya saat satu hari ia marah sama Simon. Dia pun melakukan gerak pantomime bak seorang samurai, begitu lentur, lalu ia sasarkan pedang samurai mayanya ke badan Simon. Tentu Simon dkk tertawa, dan Jemek puas. Ada dua aktor unik Yogya yang saya catat, yakni Jemek dan Nevi Budianto.

Nevi tidak hanya memiliki kelenturan, tapi penguasaan dialognya yang mampu plastis. Juga olah tubuhnya yang tidak ada seorang aktor pun menandingi dalam hal plastisitas. Bagaimana plastisitas tubuhnya mampu menyerupai karet. Dalam hal ini saya jadi ingat aktor Charlie Chaplin atau Rowan Atkinson Mister Bean. Dengan karakter pribadinya, maka jadilah keaktoran prima Nevi. Dia ibarat jagoan perang yang kalau dilepas begitu saja di panggung laga akan dipastikan ngedab-edabi.

Tidak perlu disayangkan SSPP ditunda proses dan pementasannya. Seperti yang dituliskan Seteng, akan muncul kerinduan menjemput ruang rindu. Perdikan dengan spirit kebersamaan saya yakin akan membuktikan lakon Corona ini akan cepat berlalu, menuju lakon sesungguhnya: rindu itu. Juga rindu bagi masyarakat penonton. Mengingat Perdikan dengan Progressnya satu-satunya yang memiliki kesiapan berteater bicara konteks sosial historis manusia dan kemanusiaan.

Seperti ada ketiadaan batas antara fiksi dan nonfiksi. Bahkan di tangan Perdikan teater adalah nonfiksi. Sebab kehidupan penting manusia tidak hanya dibicarakan tapi juga perlu dimainkan: di panggung rindu.

NB:
Setelah resesi besar ini ada hal penting kita lakukan, dan banyak yang tidak perlu tak seharusnya kita lakukan. ***

Eko Tunas
Sastrawan Indonesia. Seniman serbabisa. Menulis, melukis, dan berteater sejak masih duduk di bangku SMA. Lahir di Tegal tahun 1956. Saat ini tinggal dan menetap di Semarang.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version