CakNun.com

Sugeng Rahayu Mbah Nun, We Love You

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Seusai membagikan beras zakat fitrah untuk warga, Bardan melepas lelah dengan duduk senderan di teras Langgar. Bergelas kopi, teh, dan aneka kudapan tersaji di hadapannya. Seteguk kopi Ia reguk, lalu menyulut udut.

Di saat bersamaan, para bocah asik mengumandangkan takbir lewat pengeras suara secara bergantian. Ada yang khusyuk, tak sedikit pula yang cengengesan. Semua larut dalam keceriaan menyambut hari lebaran.

Allahu Akbar,
Allahu Akbar,
Allahu Akbar,
Laa ilaaha illallaahu wallaahu Akbar
Allaahu Akbar walillaahil hamd

Tak berselang lama, Dalkeji dan Mindzakir turut bergabung di teras Langgar. Mereka baru saja dari rumah pak RT menyerahkan laporan nama-nama warga yang menerima zakat fitrah.

“Kenapa Bar kok sesenggukan?”, tanya Dalkeji.

Kowe bar nangis ya?”, sahut Mindzakir.

Bardan masih terdiam.

“Kamu nangis karena besok ndak bisa salat Ied berjamaah?”, tanya Mindzakir lagi.

“Atau takut ditanyain sedulur-sedulur kamu, kapan nikah? Hahaha…” goda Dalkeji dikuti dengan tawa.

Tak ada sepatah kata keluar dari mulut Bardan. Matanya berkaca. Mimiknya sayu seolah menyimpan lara.

“Barusan dapat kiriman link video youtube takbiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng,” jawab Bardan, sementara kedua matanya masih menatap layar pintar.

“Terus???”

“Haru dan rindu menyaksikannya,” lanjut Bardan dengan suara bergetar.

Mindzakir dan Dalkeji kemudian ikut menonton video takbiran Mbah Nun dan KaiKanjeng.

“Kalau seruan takbir itu simbol perayaan kemenangan atas tunainya Ramadhan, maka saya ini rasanya tak pantas untuk merayakan,” ucap Bardan.

“Lha kenapa Bar? Semua umat Islam berhak merayakan hari raya setelah sebulan berpuasa,” jawab Dalkeji setengah menggugat.

“Apa yang mau dirayakan Pakde? Selama Ramadhan ibadahku masih ala kadarnya. Poso bolong-bolong, tarweh dangtek, tadarus sebulan pun ndak khatam. Saya kalah melawan nafsu diri saya sendiri,” ungkap Bardan penuh penyesalan.

“Paling tidak kita sudah berjuang,” Mindzakir menanggapi.

“Di luar sana orang-orang bertakbir dengan antusias dan suka cita. Saya justru sebaliknya. Saya ndak punya keberanian untuk menggemakan takbir berkali-kali. Hanya berani takbir sekali, itu pun rasanya sangat nggegirisi,” aku Bardan diiringi bulir bening menetes di pipinya.

“Paling tidak kita sudah berjuang,” Mindzakir mengulang lagi kalimat yang sama.

Tetiba Gus Dib datang, kemudian meletakkan sebungkus rokok Dji Sam Soe tepat di hadapan mereka, lantas pergi begitu saja.

“Menatap wajah dan mendengar suara parau Mbah Nun melafadzkan takbir, kian menambah bongkah rindu kepada beliau,” Bardan kembali mengungkapkan isi hatinya.

“Ndak cuma kamu Bar, kita juga kangen sama Mbah Nun,” sambung Mindzakir.

Endak cuma kita Min, tapi seluruh anak-cucu Jamaah Maiyah pasti juga merasakan demikian,” Pakdhe Dalkeji menegaskan.

“Ngumpul bareng ber-Maiyah kini jadi barang mewah. Saya rindu serindu-rindunya,” kesah si Bardan.

“Oh ya, tanggal 27 Mei nanti Mbah Nun berulang tahun ke-67. Kamu mau beri kado apa untuk beliau?,” tanya Mindzakir.

“Malah Mbah Nun yang ngasih kado kepada saya Lik,” jawab Bardan.

“Loh-loh.., yang ulang tahun Mbah Nun kok malah kamu yang dikasih hadiah, kebalik Bar. Mestinya kamu yang menghadiahi beliau,” kritik Mindzakir kepada Bardan.

“Kemarin kan saya ikutan kuis, nah Alhamdulillah menang. Ndilalah hadiahnya itu buku berjudul Sinau Bareng Markesot, karya Emha Ainun Nadjib.”

“Bejo kamu Bar,” respons Pakdhe Dal.

“Tidak hanya itu, di peringatan hari lahir beliau nanti (27 Mei 2020), satu kado lagi diberikan oleh Mbah Nun yaitu telah terbitnya buku baru bertajuk Lockdown 309 Tahun,” terang Si Bardan.

“Hayok nanti kita beli!” ajak Dalkeji.

“Siyaaap. Alangkah bersyukurnya kita ya. Dalam musim dan iklim apapun, Mbah Nun senantiasa memberi ‘kado’ untuk kita berupa buku, ilmu, pitutur, doa wiridan, serta jiwa welas tak berkesudahan,” urai Lik Mindzakir.

“Hidupnya Mbah Nun dihabiskan untuk memberi, memberi, dan memberi,” tutur si Bardan.

“Bukankah itu merupakan keniscayaan sifat Tuhan?,” tanya balik Dalkeji.

“Iya benar. Maka nikmat mana lagi yang akan kita dustakan?,” seru Gus Dib yang pelan-pelan melintas depan teras, lantas memencet tombol saklar mematikan lampu-lampu Langgar.

***

* Suket teki ono sawah
Sugeng riyadi Jamaah Maiyah

* Sarung tenun sewidak pitu
Sugeng rahayu Mbah Nun, we love u
.

Gemolong, 1 Syawal 1441H (24 Mei 2020)

Lainnya

Tahlil Keliling

Tahlil Keliling

Hampir setiap akhir Ramadhan, suasana begitu riuh oleh gambar-gambar bedug dan ketupat di berbagai tempat.

Didik W. Kurniawan
Didik W.K.
Misteri Waktu

Misteri Waktu

Pengajian Padang Bulan dan Kesadaran Waktu

Duapuluh tahun lalu lebih ketika saya mendapat tugas atau dhawuh dari Cak Nun untuk ikut mengelola tabloid bulanan Padang Bulan bersama penyair Marthori Al Wustho dan teman-teman lainnya, mengharuskan tiap bulan saya datang ke Menturo Sumobitio Jombang.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.