Sinau Menulis Bersama Tiga Alumni Universitas Malioboro
Sabtu (4/1) kemarin berlangsung workshop sinau ilmu menulis di Rumah Maiyah Kadipiro. Perwakilan dari penggiat Simpul Maiyah dan juga beberapa Jamaah Maiyah menjadi peserta kelas menulis yang digagas oleh Redaktur Maiyah bersama Koordinator Simpul Maiyah ini. Meskipun sangat singkat, karena hanya diselenggarakan selama satu hari, para peserta mendapat materi jurnalistik yang tidak hanya mendasar, namun teknik menulis sesuai rubrikasi juga jenis-jenis tulisan yang beragam. Pada siang harinya, para peserta praktik langsung menulis sebuah berita.
Setelah mereka menyerap materi-materi dari Redaktur Caknun.com dan Koordinator SImpul Maiyah, pada sore harinya para peserta merasakan momen yang istimewa dan spesial di Rumah Maiyah. Pasalnya, pada sesi sore hari, mereka mendapat kesempatan untuk mendengarkan langsung penjelasan dari “pendekar-pendekar” jurnalistik Malioboro di era 1970-an.
Ya, Malioboro di era 1970-an adalah sebuah arena pembelajaran jurnalistik yang fenomenal. Diasuh langsung oleh Umbu Landu Paranggi, penulis-penulis andal lahir dari Malioboro pada era itu. Kemarin sore, 3 di antara murid Umbu Landu Paranggi secara langsung menjadi mentor para peserta Sinau Bareng Redaktur caknun.com ini.
Mbah Nun, Pak Budi Sardjono, dan Pak Iman Budi Santosa kemarin sore memberi bekal-bekal jurnalistik yang sangat padat. Meskipun disampaikan dalam waktu yang cukup singkat, namun beliau bertiga menyampaikan beberapa poin penting dalam ilmu jurnalistik, yang bisa jadi tidak didapatkan oleh para peserta jika mengikuti kelas jurnalistik di tempat lain.
Agar suasana workshop sore hari berlangsung lebih interaktif, Mas Helmi Mustofa memberi kesempatan kepada para peserta untuk mengawali sharing session itu dengan pertanyaan-pertanyaan kepada Mbah Nun, Pak Budi Sardjono, dan Pak Iman Budi Santosa.
Pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana cara memperbanyak kosakata, bagaimana menghadirkan dan menuangkan emosi dalam sebuah tulisan, apakah ada rumusan untuk menulis pada rubrik-rubrik tertentu dan beberapa pertanyaan lain pada akhirnya membuat suasana workshop sore kemarin berlangsung sangat interaktif. Dengan telaten, Mbah Nun bersama Pak Budi Sardjono dan Pak Iman Budi Santosa merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Syarat utama menulis itu; kowe kudu sregep,” Mbah Nun memberi kunci utama dalam menulis. Sembari berbagi pengalaman selama menggelandang di Malioboro, Mbah Nun menceritakan bahwa setiap hari jari-jemari Mbah Nun tidak pernah absen dari selalu membuka laptop kemudian menulis. “Apapun saja yang ada dalam pikiranmu, tulis! Meskipun baru satu paragraf,” Mbah Nun juga berpesan.
Mbah Nun berbagi pengalaman, seringkali ketika menulis sebuah tulisan, baru menulis satu paragraf, muncul ide untuk menulis tulisan yang lain dengan tema yang berbeda. Yang dilakukan oleh Mbah Nun adalah menulis ide yang baru itu pada file yang baru. Maka, tidak mengherankan jika kemudian kita hari ini mendapati Mbah Nun masih sangat produktif menulis. Dengan gaya tulisan yang sangat beragam.
“Agar lebih kreatif dalam menulis, Anda harus memiliki kenakalan intelektual, kenakalan intuitif, dan kenakalan imajinatif”, Mbah Nun menambahkan. Yang dimaksud dengan kenakalan-kenakalan tersebut adalah melatih diri kita untuk berpikir out of the box, berpikir yang tidak linier seperti dunia mainstream hari ini.
Sering Mbah Nun mengingatkan kita di berbagai Maiyahan, “Latihlah dirimu untuk membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan.” Metode ini adalah soal cara pandang dan sudut pandang kita dalam melihat sesuatu. Mbah Nun mencontohkan, ketika kita memegang sebatang rokok, apa yang bisa kita lihat? Tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya. Jika dengan sudut pandang akademis, kita mungkin akan melihat dari sebatang rokok ada UU Kesehatan, Bea Cukai, Kampanye anti tembakau, dan lain-lain. Dari sudut pandang budaya, kita melihat kekayaan alam, peracik rokok kretek, bahkan hingga para petani tembakau.
Seperti halnya ketika kita memakan buah mangga. Apa yang kita lihat? Kalau kita hanya berhenti pada buah mangga yang sudah diiris, kemudian kita menikmatinya tanpa mengambil ilmu dari buah mangga tersebut, maka tidak aneh jika cara berpikir kita sangat linier. Jika kita terlatih membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan, dari buah mangga kita akan ingat pohon mangga, kita akan ingat bahwa pohon mangga memiliki akar, kita akan ingat bahwa pelok atau biji mangga itu adalah cikal bakal buah mangga, kita juga akan mengingat bahwa tidak semua jenis tanah kompatibel untuk ditanami pohon mangga. Dan seterusnya.
Pak Budi Sardjono kemudian menjelaskan bahwa teori dasar jurnalistik 5W+1H harus dilengkapi dengan 2 I. 2 I ini yang sebelumnya sudah disinggung oleh Mbah Nun: Intuisi dan Imajinasi. DIjelaskan oleh Pak Budi, sebuah tulisan yang hanya menekankan 5W+1H akan membosankan ketika dibaca, tetapi jika dilengkapi dengan unsur Imajinasi dan Intuisi, maka akan sangat menarik untuk dibaca. Bahkan, tulisan itu bisa bertahan lama, hingga bertahun-tahun, dan juga bisa dikembangkan dalam rubrik yang berbeda.
Menegaskan apa yang disampaikan oleh Mbah Nun, Pak Budi mengingatkan bahwa ketika melihat sebuah fenomena yang akan ditulis, jangan terfokus pada satu titik saja. Tetapi cobalah menggali informasi dari siapa saja yang ada di sekitarnya. Kekayaan informasi itu jika dipadukan dengan intuisi dan imajinasi akan melahirkan karya tulisan yang sangat beragam dan berwarna.
Pak Iman Budi Santosa kemudian menegaskan bahwa untuk menjadi penulis yang andal dibutuhkan waktu yang lama. Tidak mungkin baru sekali mengikuti kelas menulis kemudian bisa menjadikan seseorang menjadi penulis yang andal. DIbutuhkan jam terbang yang tinggi hingga akhirnya seseorang bisa menjadi penulis yang berkualitas.
Ada sebuah metode yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro; Niteni, Niroake, Nambahi. Metode yang dijelaskan Pak Iman Budi Santosa ini sangat mungkin diaplikasikan dalam proses belajar menulis. Misalkan di Maiyah, kita melatih diri untuk niteni gaya tulisan Mbah Nun, kemudian pada saat tertentu kita niroake (meniru) gaya tulisan Mbah Nun, bahkan mungkin sampai kadar 90%. Pada proses belajar, menurut Pak Iman hal ini wajar-wajar saja. Setelah melalui dua proses itu, baru kemudian Nambahi. Pada proses yang ketiga inilah kreatifitas akan lahir dari pikiran-pikiran kita.
Mbah Nun juga menyampaikan, dari sebuah sambal saja prosesnya bisa berabad-abad lamanya sampai ditemukan racikan yang tepat bagaimana cabai, bawang merah, terasi, garam, dan bahan-bahan lainnya diracik menjadi sambal yang enak, bahkan kini sudah sangat beragam jenisnya. Begitu juga dengan menulis, prosesnya tidak sebentar. Tidak salah kiranya jika Mbah Nun menegaskan bahwa kunci utama dalam menulis adalah sregep (rajin). Kalau kita sudah memiliki sifat sregep ini, maka untuk melatih diri kita disiplin akan semakin mudah.
Meskipun singkat, mentoring yang diberikan oleh tiga Pendekar Jurnalistik Malioboro sore kemarin sangat padat dan memberi bekal sangat lengkap kepada seluruh peserta kelas menulis ini. Harapan selanjutnya, para peserta kelas menulis kali ini semakin memberi warna dengan tulisan-tulisan mereka di website caknun.com ini.