Shalawat Gombal dan Cacat Kepribadian
Tetapi masa depan yang sejati adalah kehidupan akhirat di sorga jannatu-’na’im. Perkara nasib kita selama di dunia, monggo-monggo Allah sajalah. Meskipun bekal saya, termasuk mengaji, hanya dari ngasak, kenapa tidak saya jadikan manfaat. Hasbunallah wa ni’mal Wakil, ni’mal Maula wa ni’man Nashir. Wa kafa billahi Wakila, wa kafa billahi Nashira. Cukup bagiku, bahkan berlimpah-limpah bagi hidupku limpahan kasih sayang Allah. Apa saja bentuknya, formula eksistensinya, wujud maujud-nya, pasrah bongkokan saja kepada Allah. Saya tidak pernah menggunakan satu detik waktu untuk merancang dan merekayasa hidup saya.
Kalau di era akhir 1970-an itu ada yang pernah sempat nonton Musik-Puisi Dinasti, atau sekurang-kurangnya mendengar rekamannya, akan bertemu dengan sejumlah hasil ngasak saya. Di nomor “Tuhan, Aku Berguru Kepada-Mu” ada saya lantunkan Alif Lam Mim, dzalikal Kitabu sampai “mimma razaqnahum yunfiqun” dengan kapasitas seadanya vokal ngasak saya. Pada kali berikut-berikutnya ketika ayat saya lantunkan musik Dinasti harus off, karena cemas pementasan kami akan dihentikan oleh entah Ustadz siapa karena membaca ayat Qur’an diiringi musik itu haram hukumnya. Bahkan tokoh Islam lainnya meyakini bahwa memetik gitar itu haram, maka jual beli gitar juga haram, dan uang hasil jualan alat musik juga haram.
Ketika Musik-Puisi Dinasti pentas di Ancol pada suatu malam, ada isu bahwa pentas akan dihentikan karena ada ngajinya “Alif Lam Mim” itu. Kemudian saya “matur” terbuka di panggung; “Tolong yang akan membubarkan pentas kami segera berdiri dan naik ke panggung. Saya kasih waktu untuk pidato menjelaskan nash-nya, dasar hukumnya, dalil-dalilnya, ushululfiqh-nya sehingga apa yang kami lakukan ini haram. Silahkan seratus persen saya kasih waktu. Adapun nanti saya akan mematuhi atau membantah sehingga kita berdebat, saya belum tahu sekarang”.
Ternyata tidak seorang pun naik panggung. Tidak pernah ada indzar (peringatan) atau protes (nahi munkar) langsung kepada saya masalah itu ketika pentas di manapun. Sehingga kalau pada akhirnya musik dan ayat itu kami modifikasi, hujjah atau landasan keputusan saya bukanlah fiqh Islam, melainkan tasammuh atau toleransi sosial. Saya waspada menjaga kemashlahatan bersama. Sebebas-bebas ucapan saya dan semerdeka-merdeka ekspresi karya saya, saya sendiri melarangnya untuk menyentuh batas di mana ada sejumlah orang yang tidak mendengarkannya. Dan itu bisa menimbulkan benturan. Kalau hanya perdebatan masih lumayan, tapi kalau bentrok dan tawur – lantas kami menang: apa pula enaknya menang berantem melawan sesama manusia, apalagi sesama Muslim.
Kalau shalawat-shalawat dilantunkan oleh Musik-Puisi Dinasti hingga KiaiKanjeng, memang pernah ada sedikit bias, tetapi tidak signifikan dan tidak substansial dipandang dari syariat Islam. Misalnya sejumlah netizen mempelesetkan “Shalawat Global” menjadi “Shalawat Gombal”. Kami siap berargumentasi tentang apapun yang menjadi muatan kreativitas seni budaya kami. Tetapi para penista itu rata-rata tidak ada yang siap ber-muwajjahah, adu arep, bertatap wajah, face to face dengan kami.
Maka kami bersikap terserah Allah saja. Dan Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari balik kamar, kebanyakan mereka tidak menggunakan akal”. Sesungguhnya orang yang menistamu, memanipulasimu, memfitnahmu, mengadudombamu, mencelakakanmu dari balik tembok dengan akun abal-abal atau identitas palsu, adalah orang-orang yang cacat kepribadiannya sehingga tidak menggunakan akal.
Manusia modern menyebutnya “akal sehat”, seolah-olah ada akal yang tidak sehat. Menurut logika firman Allah di atas, supaya sehat, gunakanlah akal. Keniscayaan dan jarak atau jumbuh-nya akal dengan sehat itu sangat membingungkan bagi masyarakat dunia yang merupakan pelaku dan anggota Peradaban La Ya’qilun hingga abad-21 sekarang ini.
Pada nomor “Nyanyian Gelandangan”, aransemen Dinasti diujungi dengan saya adzan, dengan suara ngasak juga pasti. Kemudian ketika metamorfose zaman mentransformasikan Musik-Puisi Dinasti menjadi KiaiKanjeng, banyak sekali saya bawakan shalawat-shalawat. Ada banyak juga deretan kisah-kisah dari sejarah shalawat KiaiKanjeng, tetapi ada satu hal yang harus saya laporkan atau saya putihkan bagi siapa saja yang butuh belajar kehidupan.
Ketika dengan KiaiKanjeng kami coba bawakan kembali Musik-Puisi Dinasti, yang masih pure-ngasak itu, ternyata saya tidak mampu mengulangi atau mencapai apa yang dulu saya pernah capai di Balai RK Dipowinatan. Padahal pada era KiaiKanjeng, saya sudah agak lebih terpelajar, agak lebih mengerti musik, dan agak lebih canggih melantunkan suara. Adzan seperti di “Nyanyian Gelandangan” tidak bisa lagi saya ulangi, sebab sekarang saya dikepung oleh obsesi kecanggihan dan kehebatan dalam melantunkan suara. Saya tidak bisa murni ngasak seperti waktu di Musik-Puisi Dinasti.
Ternyata saya alami sendiri, melalui pengalaman musik, suatu nilai sejati kehidupan: bahwa hidup di hadapan Allah yang utama bukanlah kehebatan, melainkan kebersahajaan. Bukan kecanggihan, melainkan kemurnian. Bukan prestasi, tapi keikhlasan. Bukan kekuasaan dan kegagahan, melainkan kepatuhan dan kerendahan hati.