Serbuk Dajjal dan Kentong Titir
Eman-eman tawaran Tuhan tidak dimanfaatkan. Sayang, sayang, maklumat kasih sayang Allah tidak dieksplorasi jadi manfaat kehidupan oleh manusia, apalagi oleh yang menjadi pemimpin di antara manusia. Apalagi di tengah tekanan dahsyat Serbuk Dajjal yang disebut Covid-19 ini. Baru serbuk saja, seserbuk belaka, dari bersin atau batuk Dajjal. Belum benar-benar Dajjal dalam wujud nyata dan keseluruhannya. Dahsyat saja sudah cukup untuk membangunkan akal pikiran manusia, tak usah menunggu horor.
Kalau engkau memimpin masyarakat, kalau engkau Kepala Negara, kalau engkau Presiden Rakyat se-tanah air, Allah membuka jaminan: “Falya’budu Rabba hadzal bayt, alladzi ath’amahum min ju’in wa amanahum min khauf”. Tidak harus seluruh rakyatmu, karena Allah yang Maha Berkuasa saja tidak memaksa hamba-Nya untuk mengakui dan menyembah-Nya. Cukup kau saja: Hendaklah kalian semua menyembah Maha Tuan Rumah Ka’bah, yang menjaminmu tak akan kelaparan dan mengamankanmu dari berbagai jenis ketakutan.
Kemudian belilah (dengan ongkos tawakkal) solusi dari Allah atas apapun saja masalah yang menimpamu, sekaligus Ia menjamin lancarnya rezeki yang berasal dari peta kalkulasi (yang menakutkan)-mu. “Man yattaqillah yaj’al lahu makhrajan wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib”. Barang siapa bertaqwa kepada Allah maka Ia memberi solusi bagi setiap permasalahan dan menaburkan rezeki “min haitsu la yahtasib”. Belum lagi tawaran kedua: “wa man yatawakkal ‘alallah, faHuwa hasbuh, innAllaha balighu amrihi, qad ja’alallahu likulli syai`in qadra”. Lihat sendiri artinya di Surah At-Thalaq ayat 2 dan 3.
Kan kamu pemimpin tertinggi Negara Pancasila. Puncak panglima kehidupan rakyat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kenapa tawaran Tuhan Sila-1 itu tidak hidup di akal pikiran dan hatimu? Kenapa tidak percaya? Kenapa tidak menjadi muatan utama cara berpikirmu? Kenapa tidak menjadi arus utama, mainstream dari jiwa kepemimpinanmu? Lha kamu memimpin siapa? Kamu pemimpin apa? Kamu sendiri itu asal-usul dan ujung tujuan hidupmu di mana? Ketemu siapa? Tanggung jawabmu kepada siapa?
Sekurang-kurangnya sehabis setiap shalat bersihkan dirimu dengan “Astaghfirullahal’adhim 33X”, kemudian “Ya Rahman Ya Rahim 33X”, lantas “Ya Syafi ya Halim 33X” dan akhirnya “Ya Hadi Ya Mubin 33X”. Maknailah sendiri kenapa membaca itu dengan kecerdasan dan kemurnian jiwamu.
Atau rembug dengan para Punakawan maupun Panakawan di sekitarmu. Bukankah wakilmu sendiri konon adalah kepribadian yang sudah berpuluh-puluh tahun diarifi dan mengarifi dirinya sendiri (Makruf) dan lagi punya tradisi untuk bisa dipercaya (Amin). Sebagai pemimpin tertinggi engkau harus aman di depan Sang Pencipta, maka istighfar. Butuh kasih sayang-Nya yang meluas maupun yang mendalam. Butuh kesembuhan atas segala sakit dan penyakit, dan sumbernya adalah kemurahan hati-Nya. Bahkan juga butuh petunjuk, informasi tentang segala yang kau sangga secara nasional, kejelasan yang sejelas-jelasnya, yang hanya the only true resource adalah hidayah Allah.
Kalau memang kau tak paham bahwa itulah muatan di dalam kandungan Pancasilamu, jangan lepaskan Bareskrimmu memanggil orang yang bilang kau tak paham, dengan tuduhan orang itu mencemarkan nama baikmu.
Sangat mempermalukan Pemimpinnya kalau petugas keamanan malah menangkap orang yang menabuh “kentong titir” untuk menyebarkan informasi bahwa Negara dan rakyatnya sedang didera oleh malapetaka nasional, baik berupa wabah penyakit, perampok-perampok besar maupun kebodohan dan kedunguan kepemimpinan. Kenapa tak sekalian kau tangkapi setiap Dokter yang mendiagnosis pasiennya.
Barang siapa memimpin rakyat banyak, kewajibannya adalah membuktikan kepada sejarah bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw ini tidak terjadi padanya: “Idza wusidal amru ila ghairi ahlihi fantadhiris sa’ah”. Kalau suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu waktu kehancurannya.
Kalau itu semua tidak berlaku bagimu karena kau bukan seorang Muslim, tak masalah. Galilah dari Kitab Suci Agamamu, pasti banyak kekayaan ilmu dan hikmah, kalau memang yang kau baca itu karya Tuhan sendiri.
Kalau itu pun tidak, semoga dan insyaallah Tuhan tetap menolong bangsa Indonesia dengan kejaiban-Nya. Sebab rakyat Indonesia umumnya baik-baik sebagai manusia. Rata-rata rakyat Indonesia masih dan tetap ingat Allah dan menyebut nama-Nya di tengah bencana Corona, tidak sebagaimana kebanyakan pemimpinnya.
“Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub”. Niscaya dengan mengingat Allah hatimu menjadi tetap tenang. Besok kalau kekeruhan keadaan ini reda dan pulih, ada baiknya jangan GR merasa bahwa itu adalah hasil kerjamu atau kesaktian kepemimpinanmu.
Malam nanti khususkan bertafakkur dan bertanya kepada Allah. Bukan kepandaian beragama atau kefasihan ucapanmu yang dinilai oleh Allah, melainkan keikhlasan dan kesungguhan hatimu. “Walakinnallaha yandluru ila qulubikum”.
Mohon maaf memang begitu biji-batang-daun-kembang-buah Pancasila. Sebab Pancasila bukan Agama. Bukan limpahan Allah langsung, melainkan produk ijtihad pemikiran nurani manusia. ***