CakNun.com

Segi Tiga Pengetahuan, Pemahaman, dan Ilmu

Riza Aria Nugroho
Waktu baca ± 5 menit
Image by Nino Carè from Pixabay

Pengetahuan, Konsep, Pemahaman

Dua postingan video caknun.com (selama proses penulisan tulisan ini bertambah menjadi tiga video) berisi diskusi Mbah Nun dan Mas Sabrang selain berhasil mengobati kangen suasana khas Sinau Bareng, tampaknya juga menggelitik kita untuk mengambil satu dua poin dari pembahasan yang kemudian diselami dan direnungkan sendiri dengan pengetahuan serta pemahaman masing-masing.

Mas Fahmi, salah satu anggota koordinator simpul Maiyah, sudah memberikan pemikirannya tentang “Emergence Society”, maka saya dan rekan BataMMaiyah kali ini tertarik membagikan pemikiran kami tentang apa itu Pengetahuan, Pemahaman, dan Ilmu. Tentu saja, pemikiran ini dipantik oleh bahasan part 1 “Awas Bias antara sains dengan Agama”.

Berdasarkan literatur yang kami kumpulkan baik itu dari Mbah Nun maupun sumber lain, kami berpendapat bahwa jangankan bias antara sains dan agama, pengetahuan dan pemahaman sampai sekarang masih juga mengalami bias secara pemaknaan, sehingga dua kata tersebut cenderung digunakan dengan asal (tanpa menelisik makna sebenarnya). Hal ini yang menjadi penyebab biasnya kata tersebut semakin tidak karuan.

Sebagian kita beranggapan bahwa pengetahuan dan pemahaman adalah sama, antara tahu dan paham tidak ada beda. Padahal secara makna, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Sedikit contoh kita ambil pada soal perkalian, 5x3 = 15, pada level pengetahuan, kita cukup tahu bahwa 5x3 hasilnya adalah 15. Tapi pada level pemahaman, 5x3 di pahami dengan konsep perkalian dimana 5x3 adalah 5 nya 3 kali, atau 5+5+5 = 15.

Sama-sama hasilnya 15, tapi pengetahuan hanya sekadar tahu bahwa 3x5 adalah 15, tapi kalau pemahaman, kita tahu bahwa 3x5 = 15 lalu kemudian kita paham bahwa 15 itu berasal dari 5-nya 3 kali. Pemahaman lebih bersifat aktif sedangkan pengetahuan bersifat statis, sehinga jika kita sudah paham andai angka soal diubah kita tidak akan mendapat kendala yang berarti untuk mencari jawabannya (tanpa mencontek lembar hapalan perkalian).

Bias ini juga bisa kita temukan pada sebuah “definisi istilah”, sebagai contoh pengetahuan tentang angin darat. Selama ini dengan hanya menjawab angin darat adalah angin yang bertiup dari darat ke laut. Anak didik dianggap sudah paham apa itu air darat, padahal murid ini hanya tahu. Karena masih ada serpihan-serpihan pengetahuan lainnya yang harus disatukan guna membangun sebuah konsep untuk kemudian terciptalah pamahaman tentang angin darat.

Dalam hal pembahasan angin darat ini kita memerlukan pengetahuan tentang bagaimana angin terjadi, hubungan angin dengan suhu, dan hubungan suhu dengan waktu (siang dan malam). Bias tentang pengetahuan dan pemahaman ini sangat bisa dilihat pada dunia pendidikan di mana anak didik diberikan informasi pengetahuan untuk dihapalkan lalu kemudian hapalan tentang pengetahuan ini akan diuji pada konteks ujian pendidikan.

Perlunya memahami pengetahuan sangat dipinggirkan, latihan membangun konsep dari serpihan petunjuk pengetahuan sudah tidak diajarkan. Sehingga, produk dari pendidikan berhenti pada level mengetahui, kemudian dengan gampangnya dilabeli “sudah memahami”, akhirnya “pemahaman” terdegradasi maknanya dalam segala hal. “Konsep” yang diperlukan sebagai alat untuk mencapai pemahaman lambat laun hilang dari peredaran. Padahal “Pengetahuan” membutuhkan jembatan berupa “konsep” untuk mendatangkan “Pemahaman”.

Ilmu Pengetahuan, Pemahaman, dan Ilmu

Setelah mencapai pemahaman dengan jalan mengolah pengetahuan menggunakan bantuan konsep, level selanjutnya adalah Ilmu. Begitu kita mulai membahas ilmu, kerancuan makna mulai terjadi. Hal ini dimulai saat kita menerjemahkan kata Science dengan kata Indonesianya Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan (sumber Wikipedia).

Menurut kami itu sebuah kekeliruan, dan menjadi sebab awal penyempitan/degradasi makna Ilmu. Kata “science” di daerah asalnya hanya digunakan untuk mewakili bahasan yang bersifat eksak (Matematika, Fisika, Kimia) dan bahasan-bahasan lainnya yang menitikberatkan penggunaan otak kiri manusia. Itu sebabnya kami berpikiran bahwa Ilmu pengetahuan adalah kumpulan (data) dari beberapa pengetahuan.

Science hanya sebagian dari Ilmu, science tidak membahas seni (art) juga tidak membahas atau mempelajari ketrampilan fisik nonfisik (skill), padahal art dan skill juga bagian dari Ilmu. Mungkin sedikit tepat jika science diterjemahkan dengan istilah Ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa science adalah bagian dari ilmu yang membahas kumpulan dari hal-hal yang sudah/perlu diketahui.

Dengan penggunaan kata terjemah yang tepat, maqam Ilmu bisa kembali ke asalnya. Ilmu akan keluar dari sekat-sekat degradasi makna, sehingga lebih mudah kita menarik hubungan Ilmu dan pemahaman, di mana ilmu adalah pemahaman yang dipraktikkan (di-Laku-kan), seperti dalam penggalan serat wulangreh dari Sri Susuhunan Pakubuwana IV “Ngelmu iku kelakone kanthi laku” (ilmu itu bisa dipahami/dikuasai harus dengan cara/upaya). Dan juga selaras dengan salah satu Hadist Nabi yang berbunyi:

Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimat minal mahdi ilal lahdi.” (HR. Ibnu Abdil Barr dan HR Ibnu Majah).

Jika pemahaman kita akan ilmu masih disamakan bahwa ilmu adalah science maka kita akan stuck menggali maksud kata “Ilmu” dalam Hadits tersebut, sebab saat Hadist itu turun, Al-Qur’an belum selesai proses pe-wahyuan-nya, Hadist pun belum rilis redaksinya, apalagi kitab-kitab yang lahir dari tafsir-tafsir Al-Qur’an dan Hadist.

Penjelasan yang mungkin sedikit mewakili tentang ilmu adalah Segala hal yang dipahami dan dipraktekan pada waktu tertentu. Karena ilmu ada pada segala hal, dan segala hal yang dipahami lalu kemudian dipraktikkan akan menjadi ilmu.

Fakta bahwa ilmu adalah milik dan dari Allah, dan makna sebenarnya dari ilmu hanya diketahui oleh Allah menuntun kami menemukan pemikiran bahwa ilmu adalah “kebenaran sejati”, dan science, art, skill serta semua cabang ilmu yang sudah dan akan ditemukan nanti adalah “pendekatan” untuk mengenal Kebenaran Sejati (Ilmu) tersebut. “Pendekatan” di Maiyah sendiri kita kenali dengan istilah sudut, jarak, sisi, ketepatan pandang.

Yang namanya “pendekatan” pasti ada jaraknya (berapapun nominal satuannya), dari pemikiran tersebut sedikit menjelaskan kenapa kebenaran selalu ter-update (benarnya hari ini belum tentu benar besok ataupun besok lusa), karena kebenaran tersebut mengikuti hasil jarak dari pendekatan kita dengan kebenaran sejati (Ilmu). Dari pemikiran tersebut mungkin juga sedikit menjelaskan kenapa Al-Qur’an yang berisi wahyu ilmu-ilmu Allah bersifat up to date (dari 1 ayat kita selalu menemukan pemahaman-pemahaman baru dari waktu ke waktu), itu karena usaha pendekatan kita yang semakin mendekatkan jarak dengan kebenaran sejati Al-Qur’an. Kemungkian selanjutnya adalah dengan dasar pendekatan ini juga juga Allah menggunakan istilah “mendekat” pada Hadits.

Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”(HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Dengan pola pikir pendekatan inilah kami banyak menggunakan kata mungkin dan kemungkinan, karena kami sama sekali tidak punya data dan tidak berani juga mengklaim sedekat apa kami berjarak dengan Ilmu (Kebenaran sejati) ini, karena mungkin saja 20km itu dekat jika dibandingkan dengan 200km tapi jauh jika dibandingkan 2m atau bahkan 2cm.

Stinger: Letak Hikmah dan Agama

Dengan paparan panjang lebar antara pengetahuan, pemahaman, dan ilmu, terus di mana letak hikmah dan dimana juga letak agama? Kami tertarik menggunakan pendekatan Diagram Venn. Untuk mencoba memaparkan pemikiran kami. Yakni pengetahuan (D) adalah himpunan bagian pemahaman (C) , dan pemahaman (C) adalah himpuan bagian dari cabang-cabang ilmu (B) di mana, cabang-cabang ilmu (B) ini adalah himpunan bagian dari Ilmu (A). Maka Letak hikmah (H), bersama dengan Ikhlas (I), sabar (P) dan Hidayah (HI) menurut kami adalah komplemen dari himpunan A. Yang dinamakan komplemen, keberadaannya tidak bergantung kepada apa yang ada di himpunan A. Hikmah bisa didapat maupun tidak didapat tanpa mensyaratkan kelengkapan atau tidak lengkapnya anggota himpunan A, sama halnya dengan anggota komplemen yang lain (I, P dan HI). Sedangkan Agama adalah Semesta Himpunannya (S), yang men-semesta-i A yang didalamnya ada (D, C, B), Agama juga men-semestai A (H, I, P, HI).

Kemudian, Allah men-semesta-i semua semestanya semesta-semesta itu.

Fa’alam Annahu La Ilaha Illallah… (47:19)
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah.

Sebuah Ilmu (Al-Qura’an), yang membuka jalan pikiran dengan cara memberi tahu, untuk kemudian dipahami, kemudian diimplementasikan dalam laku hidup dan semoga bagi pelaku tersebut mendatangkan Ilmu.

Kamipun bergumam lirih… Kami tidak tahu apa-apa… Allahu Akbar!

Wallahu a’lam bish-shawab.

Lainnya