CakNun.com

Saya Tak Berhak Menerima Apa-Apa dari Jamaah Maiyah

Liputan 7 hari wafat Syaikh Muhammad Nursamad Kamba
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Kampung Dukuh (26/7). Sejak siang, penggiat Kenduri Cinta saling berkoordinasi dengan pihak keluarga untuk kelancaran acara 7 hari wafatnya Syaikh Nursamad Kamba. Bahkan malam sebelumnya, usai Yasinan dan Tahlilan hari keenam, koordinasi singkat dan rencana teknis dibicarakan bersama Mas Irfan dan Mbak Hanan, putra dan putri almarhum Syaikh Kamba. Semua persiapan dirunding bersama, saling melengkapi.

Bakda ashar, penggiat Kenduri Cinta sudah berkumpul di kediaman Syaikh Kamba. Semua dikondisikan sesuai rencana. Di pintu gerbang, dilakukan cek suhu tubuh, disediakan cairan pembersih tangan, dan masker. Sound system telah terpasang dan ditata. Semua sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Setelah siap semua, Ustadz Abduh, kakak almarhum Syaikh Nursamad Kamba memimpin Khataman Al-Qur`an hingga adzan Maghrib. Saat yang sama, menjelang maghrib, Mbah Nun berziarah di makam Syaikh Kamba, di TPU Kampung Rambutan I, Jakarta Timur dan setelah itu segera menuju rumah Syaikh Kamba, dan bertemu dengan istri beliau, Mbak Fatin.

Mbak Fatin menyampaikan terima kasih karena Mbah Nun berkenan hadir di acara 7 hari wafatnya Syaikh Kamba. Hari Ahad lalu (21/6), Bu Via bersama Jembar dan Rampak sudah lebih dahulu takziyah. Mbak Fatin kembali teringat dan menceritakan saat-saat terakhir sebelum Syaikh berpulang. Begitu bahagianya beliau ketika sore itu membaca draft kata pengantar Mbah Nun untuk buku terbaru Syaikh Kamba berjudul “Mencintai Allah Secara Merdeka”.

Adzan Maghrib berkumandang, teman-teman Jamaah Maiyah mulai berdatangan. Secara mandiri mereka pun mengatur dirinya, menempati ruangan yang telah disediakan. Agak berbeda memang suasananya, semua menjaga jarak duduk, memakai masker, menjaga standar kebersihan sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Agak ketat memang tetapi ini demi kebaikan bersama, demi saling menjaga kesehatan bersama.

Setelah Isya’, Yasinan dan Tahlilan dimulai. Ustadz Noorshofa memimpin langsung prosesi ini. Semua khusyuk dan menundukkan kepala, melantunkan ayat-ayat Allah, mengucapkan kalimat tahlil, tahmid dan tasbih, kemudian memanjatkan doa yang ditujukan untuk almarhum Syaikh Nursamad Kamba.

Tadi malam, selain Mbah Nun dan Ustadz Noorshofa, hadir pula Pak Lukman Hakim Saefuddin mantan Menteri Agama RI dan Prof. Oman Faturahman. Ustadz Abduh mewakili pihak keluarga mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih, bahwa ternyata adiknya sangat dihormati banyak orang, khususnya Jamaah Maiyah. Ustadz Abduh menyampaikan bahwa keluarga tidak menyadari betapa Syaikh Nursamad Kamba memiliki arti sangat besar bagi Jamaah Maiyah. Bahkan, dikatakan oleh Ustadz Abduh, Syaikh Nursamad Kamba semasa hidupnya sangat jarang mewedar ilmu-ilmu tasawuf yang notabene adalah khasanah ilmu yang sangat dikuasainya. Ustadz Abduh menyampaikan bahwa Jamaah Maiyah harus bersyukur bisa merasakan persentuhan dengan Syeikh Nursamad Kamba melalui khasanah ilmu tasawuf tersebut.

Ustadz Noorshofa, yang selama ini aktif hadir di Kenduri Cinta mengungkapkan rasa takdzimnya kepada almarhum Syaikh Kamba. Bagi beliau, selama di Kenduri Cinta, Syaikh Kamba menyumbangkan wawasan keilmuan tasawuf yang sangat mendalam dan berarti. Kesetiaan dan kesabaran Syaikh Kamba dalam mentransformasikan ilmu di Maiyah adalah salah satu nilai yang patut kita teladani bersama.

Mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui bahwa almarhum Syeikh Nursamad Kamba merupakan salah satu ASN di Kementerian Agama. Beliau pernah menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Mesir. Beliau juga pernah menjadi Atase Ibadah Haji di KBRI Jeddah. Pak Lukman mengenang bagaimana almarhum Syaikh Nursamad Kamba sangat amanah ketika mengemban jabatan sebagai Atase Haji saat itu. Meskipun sudah sejak lama mengenal sosok beliau, baru pada tahun 2005 Pak Lukman bertatap muka secara langsung dengan almarhum di Jeddah.

Sementara itu Prof. Oman Faturahman, salah satu kolega Syaikh Kamba dan filolog terkemuka yang concern pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara, mengatakan bahwa salah satu yang dimiliki Syaikh Kamba adalah kepiawaiannya dalam menerjemahkan literatur-literatur dari Timur Tengah yang berbahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Prof. Oman Faturahman mengenang bagaimana Syaikh Kamba memiliki kualitas menerjemahkan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia dengan tata Bahasa yang menurut Prof. Oman adalah tata bahasa yang sangat pas, dan rasanya sulit orang lain menyamai kualitas terjemahan Syaikh Kamba.

Suatu kali ada sebuah naskah yang agak lama diterjemahkan Syaikh Kamba. Prof. Oman sempat diminta Prof. Azyumardi Azra agar mencari penerjemah lain. Tetapi bagi Prof. Oman, lebih baik menunggu Syaikh Kamba menyelesaikan terjemahan naskah tersebut, karena itu tadi, kualitas terjemahan Syeikh Kamba memiliki gaya bahasa yang pas, yang memudahkan orang awam memahaminya.

Kesaksian Pak Lukman dan Prof. Oman menambah dan melengkapi pengetahuan teman-teman Jamaah Maiyah yang hadir tadi malam akan sosok salah satu marja’ mereka.

Setelah mendengar kesaksian tersebut, Mbah Nun menyampaikan bahwa selanjutnya ada banyak hal yang harus dilakukan Jamaah Maiyah untuk menggali lebih dalam dari khasanah ilmu yang sudah pernah disampaikan Syaikh Nursamad Kamba di Maiyahan. Bagi Mbah Nun, Syaikh Kamba adalah salah satu mutiara yang sangat berharga yang ada di Maiyah, dan kita semua sangat bersyukur atas hal itu.

Mbah Nun berbagi kisah tentang keakrabannya dengan Syaikh Kamba. Pertemuan tatap muka di awal-awal perkenalan di tepi sungai Nil di Mesir adalah momen yang sangat berkesan bagi Mbah Nun. Saat itu, Mbah Nun dan Syaikh Kamba berdiskusi hingga larut malam. Membedah banyak hal yang terkandung dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah karya Ibnu ‘Arabi. Mbah Nun sendiri mengakui bahwa belum pernah membaca buku tersebut, tetapi menurut Syeikh Nursamad Kamba, Mbah Nun mampu menangkap dan memformulasikan gagasan Ibnu ‘Arabi dalam bahasa yang lebih mudah.

Mbak Fatin mengkonfirmasi cerita dan penuturan Mbah Nun. Sebenarnya, yang lebih dahulu bersentuhan dengan Kenduri Cinta adalah Mbak Fatin. Saat itu, di awal-awal kelahiran Kenduri Cinta, Mbak Fatin turut berproses, dan beberapa kali datang di Taman Ismail Marzuki saat Kenduri Cinta berlangsung. Ketika pertama kali mengenal Mbah Nun, Mbak Fatin merasa bahwa Mbah Nun akan sangat cocok jika bersahabat dengan Syaikh Nursamad Kamba. Dan benar saja, ketika di tahun 2003 Mbah Nun Bersama Bu Via dan KiaiKanjeng diundang ke Mesir, sejak saat itulah Syeikh Nursamad Kamba mengenal Mbah Nun. Dan benar saja, seperti dugaan Mbak Fatin, bahwa Syeikh Kamba akan sangat cocok dengan Mbah Nun.

Tadi malam, Mbak Fatin bercerita bahwa pada saat Syaikh Kamba harus tranfusi darah, sementara stok di Rumah Sakit saat itu sedang kosong, dan jika mengambil stok di PMI maka harus membawa gantinya, Mbak Fatin sempat menghubungi Mas Gandhie untuk mencarikan donor darah. Ternyata, ketika Mbak Fatin menghubungi Mas Gandhie, hal tersebut diketahui Syaikh Nursamad Kamba. Seketika Mbak Fatin dan putra-putrinya ditegur oleh Syeikh Kamba. “Saya tidak berhak menerima apa-apa dari teman-teman KC dan Jamaah Maiyah, karena saya tidak pernah memberi apapun kepada mereka,” ungkap Mbak Fatin menirukan teguran Syeikh Kamba saat itu. Setelah ditegur, Mbak Fatin segera menghubungi Mas Gandhie untuk menyampaikan bahwa donor darah sudah tidak diperlukan, karena sudah ada saudara dari Syeikh Kamba yang bersedia mendonorkan darahnya.

Mbak Fatin kemudian menjelaskan maksud teguran Syaikh Kamba tersebut, bahwa bagi Syaikh Kamba mengajar adalah sebuah kewajiban. Syaikh Kamba berprinsip bahwa sesuatu yang wajib itu tidak berhak mendapatkan ungkapan terima kasih. Seketika suasana menjadi hening, semua tertegun menyimak kisah yang diceritakan Mbak Fatin. Betapa almarhum Syaikh Kamba memiliki nilai luhur yang begitu tinggi.

Sungguh kita semua sebagai Jamaah Maiyah sangat kehilangan atas berpulangnya Syaikh Nursamad Kamba. Ini bukan hanya tentang kehilangan sosok orang tua yang dengan sabar dan telaten membimbing kita, tetapi juga kita sekaligus kehilangan sumber ilmu, yang mungkin hari ini kita menyesali karena tidak sempat menggali lebih dalam lagi khasanah keilmuan yang sudah diwedar beliau. Tidak berlebihan kiranya ketika Mbah Nun pun dalam Tajuk yang ditulis pada hari wafatnya Syaikh Kamba mengungkapkan bahwa kita semua, Jamaah Maiyah, dengan berpulangnya Syaikh Nursamad Kamba terdapat lubang besar di dalam hati kita, sebuah lubang duka tak terkira. Lubang hampa. Lubang derita.

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dipersaudarakan di Maiyah. Terima kasih, Syaikh Nursamad Kamba.

Lainnya

Topik