CakNun.com

Saatnya Ingat Pakde Brakodin dkk dan Pak Nuriadi

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Hampir tidak ada yang tidak terkena dampak dari maraknya wabah Covid-19. Terutama dalam hal pekerjaan dan pendapatan. Tak usah jauh-jauh. Saya misalnya. Di luar mengajar, pekerjaan sampingan saya adalah nge-MC. Acara apa saja saya lakoni. Mulai dari lomba, pengajian, grand opening toko, ulang tahun, lamaran, dan lain-lain. Semenjak Coronavirus menggila, segala macam acara yang melibatkan orang banyak ditunda. Bahkan ditiadakan. Otomatis penjaja jasa suara seperti saya mesti “berpuasa”.

Kakak saya pun demikian. Sehari-hari Ia buka lapak pakaian anak ditempat keramaian. Di pasar malam, pasar kaget, CFD (Car Free Day), dan pelbagai event hiburan. Gara-gara pandemi, Ia dihadapkan pada kenyataan pahit di mana Ia tak bisa menggelar barang dagangan-nya. Alhasil penjualan macet, pendapatan seret.

Ada lagi seorang sahabat dekat yang juga sambat. “Orderan sepi bro-bro”. Sahabat saya itu seorang tukang ojek online (ojol) di area Gemolong. Periuk nasinya setiap hari dipertaruhkan di jalanan. Ora obah ora mamah, katanya. Dan virus Corona telah ‘menghambat’ sumber penghasilannya. Dengan penuh empati, saya meyakini di luar sana banyak saudara-saudara kita yang mengalami nasib yang sama. (Corona oh Corona).

Dalam menghadapi masa sulit ini, mengeluh bukanlah solusi. Berputus asa bukan jalan keluar. Bahkan Allah secara terang-terangan melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat-Nya. Qul yaa ‘iibaadiyalladziina asrofuu ‘alaaa anfusihim laa taqnathuu mir rohmatillaah. Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. (QS Az-Zumar: 53).

Lantas bagaimana menyiasati himpitan ekonomi seperti ini? Sabar, teman-teman masih ingatkah Sampeyan dengan Pak Nuriadi? Bapak-bapak yang berseragam ala TNI yang naik ke atas panggung Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di desa Ngluwar, kab. Magelang, setahun silam. Tatkala Mbah Nun menanyakan apa pekerjaan pak Nuriadi, spontan beliau menjawab, “Apa yang aku kerjakan hari itu, itulah pekerjaanku”. Jawaban yang lugas, tegas, dan bernas.

Dari sini, kita dapat belajar dari pak Nuriadi. Membuka cakrawala berpikir kita dalam memahami orientasi suatu pekerjaan. Yang kita yakini selama ini, pekerjaan adalah suatu usaha/profesi yang mengikat. Seorang guru ya mengajar. Seorang tukang ojek ya ngojek keliling. Seorang pedagang ya menjual barang dagangan. Seolah hanya sebatas itu yang bisa dilakukan.

Kalau kita berani berpikir dan bersikap sebagaimana pak Nuriadi (apa yang aku kerjakan hari itu, itulah pekerjaanku), tentu pekerjaan tidak hanya terpaku pada satu bidang. Dalam sehari kita sama-sama dapat jatah waktu 24 jam. Dan dalam rentang 24 jam, sangat banyak hal yang bisa kita kerjakan. Mulai dari A sampai Z. Sesuai kebisaan dan determinasi kita masing-masing. Syaratnya sregep. Dalam hal ini Mbah Nun memberi arahan, “Niatkan segala yang kita kerjakan untuk mengundang rizki-Nya Allah”. Dan rizki itu macam-macam. Bisa uang, gaji, bonus, traktiran, diskon, kesehatan, peluang, kekancan, pertolongan, keselamatan, dan rupa kenikmatan lainnya.

Dalam ketidakstabilan ekonomi akibat pandemi, mau tidak mau kita “dituntut” lebih. Lebih gagah, gigih, dan mandiri. Tak usah mengharap apa-apa dari pemerintah. Yang bisa diandalkan hanyalah keringat kita sendiri dalam frekuensi terus menjalin “silaturahmi” dengan Allah dan sesami. A wa lam ya’lamuuu annalloha yabsuthur-rizqo limay yasyaaa’u wa yaqdir. Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS Az-Zumar: 52).

***

Selain kita bisa belajar, dan bercermin dari pak Nuriadi, ada baiknya juga kita sering “bergaul” bareng gerombolan (zumar) mbambung (gelandangan). Ada Mbah Markesot, pakde Brakodin, Toling, Junit, dan Seger. Merekalah orang-orang merdeka. Tidak terikat apapun dan siapapun. Hidupnya woles, sumeleh, senantiasa bersemayam dalam ayat-ayat Al Quran.

“Kami bekerja keras tiap hari mencari nafkah semampu-mampu kami. Sekedar supaya tidak kelaparan dan mengupayakan punya tempat berteduh. Wala tansa nashibaka minad-dunya. Sekedar supaya tidak mati kelaparan di dunia. Tetapi hati, pikiran dan jiwa kami kalau bisa bertempat tinggal di Negeri Al-Qur`an”. (DAUR II – 230, Bersemayam Di Negeri Al-Quran)

Percayalah, selama kita masih obah dan menyembah Allah, InsyaAllah kita tidak akan dibiarkan mati kelaparan. Dia yang akan menjamin makanan untuk menghilangkan rasa lapar dan mengamankan dari ketakutan.

Mari bekerja! Apa saja asal halal, lakukan. Toh sejatinya Allah Sang Maha Bekerja. Qul yaa qoumi’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘ammil, fa saufa ta’lamuun. Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya Aku (Allah) bekerja pula. Maka kelak kamu akan mengetahui” (QS Az-Zumar: 39). Bayangkan, andai Allah tidak bekerja, selesai sudah semuanya.

Gemolong, 8 April 2020 (Malam Nisfu Sya’ban)

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil