CakNun.com

Rumah yang Membahagiakan Bagi Syaikh Kamba

Petikan Ilmu dari Yasinan dan Tahlilan 7 Hari Wafat Syaikh Nursamad Kamba
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 10 menit

Dan begitulah kami meniti hari sampai ke ujung pelangi
Dia tinggalkan garis lengkung di atas senja
Aku merambah malam dengan buta

—Fatin Hamama, Juni 2020

Sering, ingatan kita tentang seseorang baru muncul ketika ia telah wafat.

Begitulah yang terasa pada malam Yasinan dan Tahlilan hari ke-7 di kediaman almarhum Syaikh Nursamad Kamba ketika Ustadz Abduh (kakak almarhum), Ustadz Noorshofa Thohir, Pak Lukman Hakim Saifuddin, Prof. Oman Fathurahman, dan Mbah Nun berbagi kisah tentang sosok Syaikh Nursamad Kamba.

“Antum sangat berbahagia dan sudah semestinya bersyukur, karena mengenal adik kami dengan kedalaman ilmu tasawufnya”, Ustadz Abduh menyampaikan.

Uniknya, lebih lanjut dikatakan, pihak keluarga tidak menyadari bahwa almarhum begitu dalam ilmunya di bidang tasawuf. Ketidaktahuan yang disesali. Almarhum Syaikh Nursamad Kamba adalah anak ke-3 dari 9 bersaudara. Merupakan tradisi di keluarganya bahwa anak-anak disekolahkan di Pondok Pesantren, dan setelah tamat Madrasah Aliyah, mereka melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Ustadz Abduh benar, kita sebagai Jamaah Maiyah pun harus bersyukur, terutama teman-teman di Kenduri Cinta yang lebih sering bersentuhan dengan almarhum Syaikh Nursamad Kamba. Beliau sangat sabar dan telaten dalam membimbing dan mewarnai khasanah keilmuan kita. Sebagai marja’ Maiyah, dalam beberapa tahun terakhir Syaikh Nursamad Kamba tidak hanya hadir mengisi ruang ilmu di Kenduri Cinta, tetapi juga di Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan dan juga simpul-simpul Maiyah lainnya, baik dalam rutinan Maiyahan maupun dalam kesempatan lain tatkala beliau berada di suatu kota misal untuk suatu seminar, diskusi, atau kuliah umum. Teman-teman penggiat Simpul Maiyah dengan gembira menyambut kedatangan beliau kemudian menjamu dan menyediakan diri mereka untuk menemani.

Salah satu kenangan yang kerap diceritakan Syaikh Nursamad Kamba adalah waktu mengisi seminar di Kudus tahun lalu. Di kota kretek ini, teman-teman Sedulur Maiyah Kudus mengantar Syaikh Nursamad Kamba berziarah ke beberapa makam wali di sana. Salah satunya, beliau berkesempatan naik ke Menara Kudus, bahkan diberi akses ke makam salah satu wali di sana, yang tidak setiap orang bisa memasukinya. Teman-teman di Kudus memang memiliki kedekatan dengan Kyai Jalil, juru kunci Menara Kudus.

Selain itu, beliau diajak ziarah ke sebuah makam yang tempatnya jauh di atas sebuah bukit. Dengan mengendarai sepeda motor, Syaikh Kamba dibonceng salah satu teman penggiat Maiyah menuju makam tersebut. Kondisi jalannya menanjak dan terjal, dan hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Peristiwa ini sering diceritakan beliau dengan rasa senang dan bahagia.

Ahli Tasawuf dan Penerjemah Andal

Di Kenduri Cinta, salah satu sosok yang dituakan adalah Ustadz Noorshofa Thohir. Kyai dari Jakarta Utara ini juga beberapa kali bersama almarhum Syaikh Nursamad Kamba di panggung Kenduri Cinta. Sama-sama berlatar belakang dunia pesantren, dengan khasanah keilmuan yang berbeda. “Kalau Syaikh Nursamad Kamba di Kenduri Cinta itu bisa tahan sampai akhir acara, sampai menjelang Subuh. Sementara saya, sering kabur terlebih dahulu, jam 12 malam sudah pulang,” kenang Ustadz Noorshofa.

Dalam pandangan Ustadz Noorshofa, sosok Syaikh Nursamad Kamba adalah orang yang sangat berprinsip teguh bahwa hidup adalah kesempatan untuk menambah perbuatan baik. Menurut Ustadz Noorshofa, bukan hanya kehilangan sosok Guru, tetapi dengan wafatnya Syaikh Nursamad Kamba ini sebuah tantangan harus dihadapi teman-teman Kenduri Cinta dan Jamaah Maiyah pada umumnya. Terlebih karena telah banyak ilmu dan wawasan tasawuf yang disampaikan Syaikh Nursamad Kamba di Maiyahan.

Ustadz Noorshofa mengutip salah satu syair Mahfudzot; Waladatka ummuka yaa ibnu adam baakiyan wa-n-naasu haulaka yadhakuuna suruuron, fajhad linafsika an takuuna fii yaumi mautika dhoohikan masruuron, wa-n-naasu haulaka baakiyan. Hai anak Adam, kau terlahir dari Rahim ibumu dalam keadaan menangis sedangkan orang disekitarmu menyambutmu dengan gembira. Berjuanglah untuk dirimu agar di hari kematianmu kau tersenyum bahagia sementara orang di sekitarmu menangisi kepergianmu. Bagi Ustadz Noorshofa, seperti itulah suasana kepergian Syaikh Nursamad Kamba. Kita semua menangis bersedih atas wafatnya beliau, tetapi sejatinya almarhum Syaikh Nursamad Kamba pergi meninggalkan kita dengan kebahagiaan. Yaa ayyatuha-n-nafsu-l-muthamainnah irji’ii ilaa robbiki raadhliyatan mardhliyah, fadkhulii fii ‘ibadii wadkhulii jannatii.

“Sesungguhnya saya tidak terlalu dekat dengan almarhum. Seingat saya, saya baru mengenal beliau ketika menjadi Atase Haji tahun 2005,” Pak Lukman mengungkapkan perjumpaan pertama dengan almarhum Syaikh Nursamad Kamba. Sebelumnya Pak Lukman hanya mengenal sosok almarhum dalam konteks akademis sebagai seorang ahli tasawuf lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan belum bertemu secara langsung.

Menurut Pak Lukman, saat ini almarhum Syaikh Nursamad Kamba sedang menasihati kita semua dengan kematian. Seperti disabdakan Rasulullah Saw, kematian adalah nasihat terbaik bagi kita semua. Atas semua hal yang sudah dilakukan almarhum Syaikh Nursamad Kamba semasa hidup, menurut Pak Lukman, saat ini beliau almarhum sedang menuai kebajikan-kebajikan yang sudah ditanamkan semasa hidup. Ilmu-ilmu yang sudah beliau sampaikan menjadi amal ibadah yang pahalanya terus mengalir, dan kita semua ini adalah murid-murid almarhum Syeikh Nursamad Kamba yang kemudian akan meneruskan dakwah yang sudah dilakukan beliau.

“Yang paling saya syukuri dalam konteks keindonesiaan, termasuk dalam konteks peradaban dunia ini, adalah kebersamaan Syaikh Nursamad Kamba semasa hidup yang menjadikan agama sebagai perekat di tengah-tengah kemajemukan. Ini yang saya dapatkan dari almarhum. Bagaimana Agama selalu menebarkan rahmat di tengah kemajemukan,” ungkap Pak Lukman.

Dalam konteks itulah, Pak Lukman menyayangkan situasi saat ini ketika Islam banyak disalahpahami sehingga menyebabkan perpecahan justru di antara ummat Islam sendiri. Di sinilah Pak Lukman menemukan kejernihan nilai dari almarhum Syaikh Nursamad Kamba melalui ilmu tasawuf yang dikuasainya, yang kemudian dituangkan dalam beberapa tulisan yang membawa semangat kebersamaan di tengah perbedaan. “Mudah-mudahan, semangat inilah yang bisa kita lanjutkan dan terus kita pelihara. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk selalu meneladani nilai luhur yang ditinggalkan oleh Syaikh Nursamad Kamba,” pungkas Pak Lukman.

Dalam dunia akademis di Indonesia, Syaikh Nursamad Kamba memiliki kontribusi cukup besar. Manuskrip-manuskrip dari Timur Tengah diterjemahkan dengan gaya bahasa yang baik dan mudah dipahami. Seperti kita ketahui, salah satu karya terjemahan Syaikh Nursamad Kamba yang bisa kita nikmati adalah buku Sejarah Otentik Nabi Muhammad Saw, karya Prof. Dr. Husain Mu’nis berjudul asli Dirasat fi as-Sirah an-Nabawiyah. Buku terjemahan itu diterbitkan tahun 2018 lalu, dan di Rumah Maiyah Kadipiro pernah didiskusikan dalam bentuk kuliah umum dari Syaikh Nursamad Kamba kepada para jamaah Maiyah khususnya.

Prof. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi di UIN Syarif Hidayatullah turut memberikan kesaksian. Kedekatan hubungan Prof. Oman dengan Syaikh Nursamad Kamba terjalin sejak tahun 1995-1996. Saat itu, almarhum Syeikh Nursamad Kamba sudah menjadi penerjemah artikel-artikel dan jurnal-jurnal internasional, dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab dan dari bahasa Inggris ke bahasa Arab. Saat itu, Prof. Oman Fathurahman baru lulus Sarjana S1, yang bertugas membantu almarhum Syaikh Nursamad Kamba mengetik hasil terjemahan jurnal-jurnal tadi.

Suatu kali, proses penerjemahan artikel dan jurnal ilmiah itu cukup lama diproses oleh Syaikh Nursamad Kamba. Dikisahkan oleh Prof. Oman, saat itu Prof. Azyumardi Azra meminta a Prof. Oman untuk mencari penerjemah lainnya saja agar artikel tersebut segera diterbitkan. Tetapi Prof. Oman bersikukuh untuk tidak mencari penerjemah lain. Menurut Prof. Oman, gaya bahasa hasil terjemahan Syaikh Nursamad Kamba itu pas. “Susah mencari penerjemah seperti almarhum Syaikh Nursamad Kamba. Selama 1995-2008 beliau bertugas menerjemahkan banyak jurnal dan artikel,” ungkap Prof. Oman.

Satu hal yang sangat berkesan bagi Prof. Oman adalah saat beliau sekeluarga mendapat fellowship di Jerman tahun 2007. Saat itu Syaikh Nursamad Kamba masih bertugas di Atase Haji KBRI di Jeddah. Prof. Oman dikirimi calling visa Haji oleh Syaikh Kamba, yang baru datang sebulan sebelum pelaksanaan Ibadah Haji. “Alhamdulillah, yang tidak terbayangkan sebelumnya, saya bersama istri dan t anak saya berangkat ke tanah suci, kami backpacker-an menuju Mesir, kemudian ke Saudi. Kami difasilitasi dan disambut hangat oleh Syeikh Nursamad Kamba”, kenang Prof. Oman.

Salah satu wasiat yang pernah disampaikan Syeikh Nursamad Kamba kepada Prof. Oman Fathurahman adalah agar beliau meneruskan pendalaman dan penggalian ilmu tasawuf dari ulama-ulama di Nusantara.

Syaikh Nursamad Kamba yang Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah

“Saya tidak punya alasan untuk memanggil selain dengan panggilan Syaikh kepada Syaikh Nursamad Kamba,” Mbah Nun mengawali kesempatan berbagi kisah persahabatan dengan almarhum Syeikh Nursamad Kamba. “Suatu kali Syaikh Nursamad Kamba pernah menyampaikan bahwa Islam itu bukanlah ilmu. Islam itu lebih luas dari ilmu yang kita pahami mengenai Islam itu sendiri,” Mbah Nun melanjutkan.

Menurut Mbah Nun, almarhum Syaikh Nursamad Kamba adalah orang yang sungguh-sungguh, tidak pernah main-main, apalagi mengenai tasawuf. “Kata Shodaqoh adalah output dari kesungguh-sungguhan manusia kepada manusia yang lain. Maka Ash-Shiddiq adalah orang yang bersungguh-sungguh. Tenanan,” Mbah Nun melanjutkan. Bagi Mbah Nun, almarhum Syaikh Nursamad Kamba melengkapi sifat Shiddiqnya dengan sifat Amanah, yang kemudian dengan kemampuan Tablighnya beliau mampu menyebarluaskan ilmu tasawuf. “Puncaknya, Syaikh Nursamad Kamba beristri Fatin, yang berasal dari kata Fathonah,” Mbah Nun berkelakar disambut tawa hadirin.

“Kita saat ini tidak hanya kehilangan Syeikh. Kita ini betul-betuk seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Kita harus berkerumun untuk memastikan bahwa Syaikh tidak ‘mati’. Saya tidak rela jika Syaikh Nursamad Kamba dibilang sudah mati, apalagi dikatakan sudah selesai. Kenapa kita tahlilan? Karena beliau belum selesai. Kita masih berada dalam proses perjalanan Syaikh Nursamad Kamba,” tutur Mbah Nun.

Bagi Mbah Nun, akibat ketidakseriusan dan kegagalan manusia memaknai kematian adalah kerusakan demi kerusakan yang terus terjadi. Mbah Nun menambahkan, mayoritas umat manusia modern di dunia saat ini menuhankan sesuatu yang kelihatan secara kasat mata. Kemudian, manusia modern juga tidak mampu membedakan antara dewa dengan malaikat, antara jin dengan hantu, apalagi memahami konsep Ya’juj dan Ma’juj. Dan semua itu sangat mudah dijelaskan oleh Syaikh Nursamad Kamba. Maka, makna kematian itu harus betul-betul kita elaborasi dengan baik, karena Rasulullah Saw mengatakan bahwa khairul maudhzoti mautun. Sebaik-baik nasihat adalah kematian.”

“Bagi saya, Syaikh Nursamad Kamba belum selesai. Bagi saya, Syaikh Nursamad bisa hadir lagi, meski tidak seperti beliau yang kemarin-kemarin. Karena Allah melahirkan tokoh-tokoh yang berbeda yang lahir pada zaman yang berbeda, beberapa kali,” Mbah Nun melanjutkan. Mbah Nun kemudian meminta Jamaah Maiyah dan juga teman-teman Kenduri Cinta khususnya setelah ini membuktikan bahwa Syaikh Nursamad Kamba belum mati. Semua harus berkerumun, berkumpul, menyusun formasi untuk melakukan pendalaman dan penggalian lebih dalam ilmu-ilmu yang sudah disampaikan oleh almarhum Syaikh Nursamad Kamba.”

“Yang disebut agama adalah ad-diin. Atau dahulu ada konsep millah. Jadi, Agama itu yang Allah tetapkan ataukah yang Anda lakukan?,” Mbah Nun memancing pertanyaan kepada hadirin. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah sedikit dari ijtihad almarhum Syaikh Nursamad Kamba untuk menyemangati kita agar semakin rajin mengelaborasi setiap ilmu yang kita miliki. Mbah Nun menambahkan bahwa almarhum Syaikh Nursamad Kamba adalah sosok sangat revolusioner dengan ijtihadnya. “Saya kira kita sudah berjarak sangat jauh dari apa yang Rasulullah Saw perkenalkan tentang Islam, apalagi dari apa yang Allah maksudkan tentang Islam,” tegas Mbah Nun.

Sedikit berbelok, Mbah Nun menjelaskan kata hijab yang saat ini sudah bergeser maknanya karena digunakan untuk menyebut (menggantikan) jilbab. Mbah Nun sejak kecil mengenal terminologi Kasyful Hijab dari dunia tasawuf, yang memiliki arti mengungkap tabir kegaiban, dan hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. Di dalam Al Qur`an sendiri, jilbab juga tetap disebut Jilbab, bukan Hijab. Mbah Nun mengingatkan penggunaan kata yang tidak tepat, hal yang tampaknya telah jamak berlangsung di peradaban manusia hari ini.

Kembali bercerita tentang Syeikh Nursamad Kamba, Mbah Nun mengatakan bahwa Syaikh Nursamad Kamba adalah sosok yang clean di Media Sosial. Tidak pernah dibully, tidak pernah dihajar di Media Sosial karena argumen dan opini yang disampaikan oleh beliau. “Sementara saya sendiri yang tidak punya akun Facebook dan Twitter malah lebih sering dihajar habis-habisan di media sosial. Ini kan anomli,” Mbah Nun meneruskan.

Mengupas ayat Radhliyatan Mardhliyah, Mbah Nun menegaskan bahwa yang utama adalah kita harus ridla terlebih dahulu sehingga Allah meridlai kita. Apa yang kita alami di dalam hidup kita, sebisa mungkin kita selalu mengusahakan agar kita ridla atas ketetapan Allah kepada kita, sehingga kemudian yang kita dapatkan adalah ridla dari Allah. Jadi sebenarnya rumusnya sangat sederhana, kita dahulu yang ridla maka kemudian Allah akan meridlai kita.

“Yang inti dari pertemuan malam ini, untuk teman-teman KC khususnya dan Jamaah Maiyah pada umumnya, harus melakukan perumusan kembali ilmu-ilmu Syaikh Nursamad Kamba,” pinta Mbah Nun seraya menegaskan ada banyak ilmu yang sudah ditinggalkan Syaikh Nursamad Kamba yang harus kita kejar, harus kita gali, harus kita salami lebih dalam lagi. Dan itu tidak mungkin dilakukan satu orang saja, maka semua harus saling melengkapi, saling mengisi. Karena menurut Mbah Nun, ada banyak hal-hal yang sangat revolusioner yang sudah ditemukan oleh Syaikh Nursamad Kamba sebelum meninggalkan kita.

Hal-hal revolusioner tersebut disampaikan oleh Syaikh Nursamad Kamba kepada kita masih berupa bahan mentah. Tugas kita selanjutnya adalah mengolah bahan-bahan tersebut sehingga kemudian dengan rumusan salah satu sifat Rasulullah Saw, yaitu tabligh, kita akan mudah menyampaikan hal-hal revolusioner yang ditemukan Syeikh Nursamad Kamba kepada masyarakat luas, sehingga tidak memunculkan kontroversi dan perdebatan, alias sesuai dengan zamannya dan kompatibel dengan keadaannya.

“Kak Nur sangat bahagia di Maiyah”

Mbak Fatin kemudian merespons beberapa kenangan dan hikmah yang sudah disampaikan. Pertama-tama Mbak Fatin mengucapkan terima kasih kepada seluruh hadirin, yang sejak hari wafatnya Syaikh Nursamad Kamba selalu hadir hingga Yasinan dan Tahlilan di hari ke 7 malam itu. “Pada hari ini, saya selalu percaya bahwa hari kematian itu adalah hari raya yang sebenarnya. Dimana para sahabat, kerabat, handai taulan, ketika mendengar kabar wafatnya seseorang, dia akan datang tanpa diundang, akan mengirimkan doa tanpa diminta, dan pada hari itulah pintu surga terbuka,” Mbak Fatin mengungkapkan rasa harunya betapa Syaikh Nursamad Kamba dikenal banyak orang. “Kak Nur benar-benar mendapatkan hari rayanya, setelah bertahun-tahun puasa di guanya sendiri.” Mbak Fatin melanjutkan.

Panggilan mesra Mbak Fatin kepada Syeikh Nursamad Kamba adalah Kak Nur. Karena memang pada awalnya, Syaikh Nursamad Kamba adalah kakak tingkat Mbak Fatin di Universitas Al Azhar Mesir. “Saya sangat berterima kasih sekali kepada Cak Nun dan kawan-kawan Maiyah,” lanjut Mbak Fatin.

“Pertama kali saya bertemu dengan Cak Nun di TIM, saya sangat merasa bahwa Cak Nun akan sangat cocok sekali berkawan dengan Kak Nur. Entah itu pikiran dari mana. Begitu Cak Nun bertemu Kak Nur di Kairo, saya benar-benar ‘ditinggalkan’ oleh Kak Nur,” kenang Mbak Fatin. Tentu saja bukan ditinggalkan dalam artian yang sebenarnya. Karena, memang sejak awal Mbak Fatin sangat yakin bahwa Mbah Nun dan Syaikh Nursamad Kamba akan sangat cocok berkawan, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga sebagai kawan diskusi dan belajar satu sama lain, dan itu benar-benar terbukti.

“Saya menikmati “kebohongan-kebohongan” kecil Kak Nur. Tiba-tiba dia tidur lebih awal selepas Maghrib, kemudian bangun sekitar jam 10 malam, kemudian berpamitan, “Umi, Buya ke KC ya?”,” Mbak Fatin mengenang kemesraan dengan Syaikh Nursamad Kamba yang selalu saja punya cara untuk mendapatkan izin agar dapat hadir di Kenduri Cinta.

Izin dari Mbak Fatin didapat dengan beberapa syarat, seperti misalnya jam 2 pagi biasanya Mbak Fatin sudah meminta Syaikh Nursamad Kamba untuk segera pulang. Biasanya Mas Gandhie diminta mengingatkan Syaikh Nursamad Kamba untuk segera pulang. Tapi beliau bergeming. Bahkan ketika Mbak Fatin menelpon melalui handphone pun, Syaikh Kamba pura-pura tidak mendengar ringtone HP-nya. “Tapi asyiknya, setelah pulang dari KC, Buya sangat bahagia, hilang sakitnya,” ungkap Mbak Fatin.

“Terima kasih sudah memberikan kebahagiaan yang luar biasa kepada Kak Nur, sampai ke ujung hayat Kak Nur,” Mbak Fatin haru mengungkapkan rasa syukurnya. Mbak Fatin kemudian bercerita. Hari Jumat lalu (19/6), Syaikh masih terbaring di tempat tidur, bernapas dengan bantuan selang oksigen. Sore itu Syaikh merasa bahagia karena sedang membaca tulisan yang baru dikirimkan Mbah Nun melalui Mas Gandhie. Tulisan yang akan menjadi kata pengantar buku Syeikh Kamba yang terbaru Mencintai Allah Secara Merdeka.

“Beberapa hari sebelumnya, saya, Irfan dan Hanan kena marah oleh Kak Nur,” Mbak Fatin melanjutkan cerita. “Saat itu Dokter menyampaikan bahwa Kak Nur harus transfusi darah karena HB-nya turun lagi. Tanpa seizin Kak Nur, saya share kebutuhan donor darah ke beberapa teman, termasuk kepada Mas Gandhie. Ketika Kak Nur mengetahui saya menghubungi Mas Gandhie mengenai kebutuhan darah itu, Kak Nur marah sama saya”, lanjut Mbak Fatin.

“Mih, kenapa sampai ngomong ke kawan-kawan Maiyah?,” Mbak Fatin menirukan teguran Syeikh Kamba kepadanya. “Nggak ada hak Buya itu Mih. Buya nggak berhak apa-apa, karena Buya belum pernah memberikan apa-apa kepada kawan-kawan KC dan Maiyah,” Mbak Fatin kembali mengisahkan kemarahan Syeikh Kamba hari itu yang diakui oleh Mbak Fatin bukanlah kemarahan yang biasa dari Syaikh Nursamad Kamba.

“Saya harus menyampaikan, Kak Nur lah yang berhutang kepada kawan-kawan Maiyah selama ini. Kak Nur lah yang merasakan kebahagiaan dan diberi kebahagiaan oleh teman-teman Maiyah selama ini. Kak Nur merasakan bahwa dia sangat diterima di Maiyah. Maiyah menjadi rumahnya, dan itu yang dia bawa sampai ke akhir hayatnya. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih. Terima kasih sudah memberikan Kak Nur sebuah tempat, sudah memberikan kebahagiaan sampai ke ujung usia,” Mbak Fatin semakin haru mengungkapkan hal ini.

“Di hari Sabtu itu keinginan Kak Nur tunai. Di hari Sabtu itu, Kak Nur mendapatkan hari rayanya yang sebenarnya. Saya menjalani biduk rumah tangga dengan Kak Nur selama 31 tahun. Kak Nur guru saya, dari awal Kak Nur adalah guru saya. Di dalam perjalanan perkawinan, Kak Nur adalah guru saya. Di akhir perkawinan, Kak Nur adalah guru saya. Kak Nur memberikan pelajaran yang luar biasa kepada saya,” pungkas Mbak Fatin.

Lainnya

Topik