Rumah Maiyah dan Para Pencari Cak Nun
Pria itu celingukan di depan pagar rumah nomor 287, Jalan Barokah, Kadipiro. Pagi pukul 06:00 ia terlihat bimbang. Antara ingin masuk ke dalam atau menunggu seseorang menghampirinya. Cak Zakki melihat dari pendopo lalu menghampirinya. “Cari siapa, Mas?” tanyanya. Pria itu menjawab sedang mencari Cak Nun. Ingin meminta bantuan. Istrinya masih di rumah sakit. Sudah diperbolehkan pulang tapi belum mampu melunasi ongkos pengobatan. “Kata seorang pasien di sana, kalau butuh apa-apa, hubungi Cak Nun,” jawab pria itu dengan polos.
Rumah Maiyah memang menjadi tempat keluh-kesah banyak orang. Malam itu (13/10) tema diskusi di Mocopat Syafaat relatif unik, yakni memotret tamu-tamu yang membawa keluh-kesah ke Rumah Maiyah, untuk diceritakan kepada Habib Hasan Dalil, Habib Ahmad, dan rombongan. “Ada banyak jenis tamu,” lanjut Cak Zakki, “Yogya ini kan kota pariwisata. Orang dari berbagai luar kota kalau mau ke Yogya biasanya ngetem di Masjid Agung. Beberapa tidak bisa pulang karena kehabisan biaya. Lalu di sana ada yang memberitahu kalau tidak punya uang atau sangu, ke Kadipiro saja.”
Entah dari mana dan sejak kapan anggapan itu bermula. Tapi semua pendapat selalu dipertautkan oleh benang merah yang sama. Kadipiro menjadi magnet bagi jamak orang yang kebingungan sampai tempat berkeluh kesah. Bagi mereka, berjumpa Cak Nun adalah solusi.
Mas Helmi merinci lima poin jenis tamu yang datang ke Rumah Maiyah. Pertama, orang yang sambat karena masalah ekonomi. Kedua, orang yang datang untuk sekadar curhat seputar masalah diri atau sedang dirundung stres berat. Ketiga, tamu yang datang karena dia mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual yang ingin dimintakan respons kepada Cak Nun.
Keempat, orang yang datang karena sedang menghadapi masalah psikis, sehingga Kadipiro menjadi tempat persinggahan untuk mencari ketenangan dan kedamaian. Kelima, para tamu yang sengaja datang untuk mengajukan konsep strategis untuk mengatasi masalah negara. Mereka mengganggap rumah Maiyah ini merupakan rumah rakyat, sehingga Cak Nun dimintai konfirmasi atas pemikiran mereka.
“Intinya mereka punya masalah dan mendatangi Mbah Nun,” ucap Mas Helmi.
Cak Nun tak mempersoalkan maksud dan latar belakang para tamu itu. Aneka tamu semacam itu bahkan telah ada semenjak ia tinggal di Patangpuluhan. “Saya mencintai mereka semua. Mereka begitu karena akibat dari tatanan sosial yang chaos begini,” ujarnya.
Bahkan Mbah Nun pernah agak marah kepada rombongan tamu yang tergolong tokoh agama yang waktu itu bertandang ke Patangpuluhan. Mereka ragu menerima jabat tangan dari seorang perempuan yang dianggap gila. Kebetulan di depan rumah kontrakan di Patangpuluhan terdapat orang yang terkategorikan begitu. “Apa kalian merasa suci dan pasti akan masuk surga daripada orang ini. Kok tidak mau menerima salaman,” tegas Cak Nun kepada ketiga tamunya itu.
Cak Nun menganggap siapa saja sebagai manusia. Bukan lantas karena dikategorikan gila atau waras ia lalu pilih kasih.
Ia selalu punya cara manusiawi menghadapi orang-orang yang dianggap aneh. Suatu ketika ada anak muda yang tidur tepat di depan pintu rumah Patangpuluhan. Jelas ia menganggu mobilitas keluar-masuk rumah. Cak Nun bertanya kepada pemuda itu mengapa tidur di tempat begini. “Aku kan tidur di bumi Allah. Semua tanah ini milik Allah,” jawabnya.
Cak Nun kemudian masuk ke rumah. Ia harus agak sedikit melompat supaya bisa melewati pemuda yang sedang berbaring di depan pintu. Sehabis shalat Cak Nun meminta kepada Tuhan bagaimana seharusnya mengatasi pemuda tadi. Akhirnya ia dapat ide.
“Tadi saya sudah shalat dan meminta kepada Allah. Kata Allah, kamu seharusnya tidur di belahan bumi Allah yang sana,” perintah Cak Nun seraya menunjuk serambi rumah. Sontak jamaah Mocopat Syafaat yang hadir secara terbatas tertawa mendengarnya.
Cak Nun mengamati masalah orang-orang yang kebingungan ini secara kritis. Menurutnya, belum ada pendidikan yang mampu mengatasi hal itu. “Kita belum punya metode yang tepat untuk menjawab mengapa hal demikian terjadi dan bagaimana pendidikan kita menawarkan solusi secara sistematis,” tandasnya.
Seharusnya persoalan mereka diatasi oleh Dinas Sosial milik pemerintah. Namun, sampai sekarang, hal itu belum terlihat. Kebijakan pemerintah selama ini tak menjawab masalah kontekstual untuk orang gila.
Kalau mengamati motif orang-orang yang datang ke Kadipiro dan mereka merasa tenang saat mendatanginya, maka sesungguhnnya Cak Nun tanpa disadari sedang melakukan pengobatan “psikoterapi”. Syaikh Kamba pernah menyinggungnya.
Psikoterapi ini merupakan pendekatan dalam ilmu Psikologi yang dipakai untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Istilah populernya pengobatan tanpa obat. Maiyah selama ini sebetulnya mengarah ke sana. Orang datang dengan beragam masalah. Saat hadir di Maiyah ia merasa mendapatkan kedamaian. Maka tak mengeherankan kalau di luar forum banyak orang yang ingin bertamu menghadap Cak Nun.
Peristiwa menghadap Cak Nun ternyata juga tak mesti direncanakan. Pada momen tertentu Cak Nun keluar kota. Turun dari pesawat dan menuju pintu kedatangan bandara ia dibarengi seseorang. “Orang ini agak pincang. Kami jalan pelan-pelan,” tuturnya. Pria itu curhat kalau istrinya selingkuh. Ia merasa buntu. Pikirannya kacau.
“Kamu mau jadi laki-laki atau orang mulia?” tanya Cak Nun kepada pria itu. Opsi yang disodorkan Cak Nun tersebut membuat pria ini semakin tegas hendak memilih jalan mana. Ia izin pulang dan Cak Nun menuju acara berikutnya. Sehari setelah itu Cak Nun kembali ke bandara. Pulang menuju Yogya.
Pria itu ternyata menunggu Cak Nun. Ia langsung bilang dengan mantap, “Cak, saya pilih yang pertama. Terima kasih.” Pria itu mengambil keputusan untuk cerai. Baginya, menjadi mulia, apalagi situasi yang sedang dialami seputar perselingkuhan, mustahil dilakoni. Maka dari itu sikap memilih jadi laki-laki ia pilih agar segera melewati masa kalut tersebut.
Konsultasi spontan dan tak terduga semacam ini acap kali dialami Cak Nun.