Revolusi Mental sekaligus Revolusi Akhlak


Bahkan salah seorang tokoh aktivis Ma-Lima itu pada tahun-tahun berikutnya hingga sekarang saya melihat dan mengalami langsung sehari-hari dia dibimbing Allah untuk berhusnul-khatimah “minadl-dlulumati ilan-nur”. Hidup berkeluarga dengan perjuangan sakinah dibarengi cobaan dan ujian-ujian dari Allah, berkeseharian santri, berbudaya akhlaqul karimah, ber-bebrayan sangat baik, sangat menjaga mulut dan perilaku, dan relatif memenuhi syarat sebagai manusia Jawa-Muslim. Artinya yang berakar kultur Jawa dikawinkan dengan syariat dan akhlak Islam.
Dia berpendidikan tidak sampai selesai SMP, lahir dari keluarga miskin, dibesarkan oleh lingkungan yang kumuh dan “tidak Islami”. Sekarang saya berani mengatakan bahwa ia menjalani tasawuf atau semacam kebatinan rohaniah Islam yang tidak berkilai-kilau namun istiqamah. Dia sangat baik sebagai manusia, cukup muthi’ sebagai muslim, kelas satu nasional sebagai aktor teater, ketekunan dan kesetiaan nilainya prima, kerajinan belajar nilai-nilai kehidupan tak pernah surut, sangat rendah hati dan setahu saya tidak pernah berbohong, tidak punya kecenderungan membesar-besarkan dirinya, malah selalu merasa “kurang dan belum”.
Tatkala Bantul dan Yogya ditimpa bencana gempa besar, KiaiKanjeng dan personel-personel Markas pusat Maiyah sibuk menolong masyarakat, menyebarkan santunan dan mengupayakan bangunan sejumlah rumah – orang yang saya ceritakan ini termasuk yang paling sibuk. Padahal ternyata rumahnya sendiri terkena dampak gempa, tetapi ia tidak menginformasikannya. Ibarat seorang yang mengupayakan makanan untuk orang-orang lapar, sementara ia sendiri kelaparan dan tidak bilang-bilang. Untung akhirnya kami “ngonangi” keadaannya melalui suatu kejadian.
Saya sendiri tidak pernah sanggup meletakkan diri pada derajat kemuliaan sebagaimana dia. Kalau orang kaya menolong orang miskin, kalau orang berpunya menyantuni orang tak punya, kalau orang sehat mengurusi orang sakit, itu semua kebaikan, tetapi belum tentu sampai ke derajat kemuliaan. Tetapi mantan tokoh Aktivis MLM ini mengalami Revolusi Akhlak sekaligus Revolusi Mental yang kami semua sangat bersyukur dan membanggakannya.
Akhlak adalah tata nilai sosial yang menata mental manusia ke dalam dirinya sekaligus keluar dirinya. Akhlak adalah panduan menuju kebaikan dari keburukan, menata kemashlahatan dari kemudlaratan, menata keseimbangan dari ketimpangan. Ketertataan dan keberlakuan akhlak tercermin atau teraplikasi pada mental manusia. Dan orang yang saya kisahkan ini sangat nyata, terasa dan tampak mengalami perubahan revolusioner pada hidupnya karena dialektika dan komplementasi antara akhlak dengan mentalnya.
Hidupnya selalu dan sangat waspada. Bergurau sekadarnya. Tidak pernah keluar dari mulutnya hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan prinsip nilainya. Ia pendiam. Tidak gegap gempita. Ia tidak tampil gagah, apalagi gemagah, meskipun mentalnya sangat pemberani. Kesehariannya dalam pergaulan tidak ada yang istimewa, padahal riwayat perjuangan batinnya luar biasa. Pada tahun-tahun awal saya mengenalnya di era Dipowinatan, ia dikenal paling bersahaja dalam berpakaian. Belum pernah saya menjumpainya memakai sepatu, selalu hanya sendal hitam tebal yang terbuat dari karet ban motor atau mobil, padahal ia sudah keliling berpuluh-puluh kota sedunia bersama KiaiKanjeng.
Ia, sebagaimana mayoritas anggota komunitas kaum muda Dipowinatan, termasuk para pemusik di musik-puisi Dinasti, bukanlah “kaum terpelajar”. Di saat-saat itu saya belum pernah mendengar bahwa seseorang pamit latihan musik atau teater karena sedang pergi kuliah di kampus X, apalagi kabar bahwa ada yang diwisuda. Ia dan mereka adalah “anak-anak kampung”, yang bersekolah di alam, kehidupan dan Tuhan.
Sebagaimana muatan puisi yang dipuisi-musikkan oleh mereka untuk tanggal 16 Desember 2020 itu:
Tuhan aku berguru kepadamu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepada Mu
Meragukan setiap yang kutemu
Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan
Ketika aku tahu, terasa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya
Berproses belajar langsung dalam kehidupan dengan meningkatkan diri melalui “meragukan setiap yang kutemu”. Berkelemahan individual maupun sosial, namun justru di situ mereka menemukan kekuatannya. Mengembarai pengalaman hidup dengan bergelimang berbagai jenis kegelapan, namun menjadi terlatih menemukan sumber cahaya dan belajar memancarkannya. Ternyata “setiap satu mengandung seribu”. Ternyata jelas bahwa “buta mata menganugerahi penglihatan”, “Ketika aku tahu, terasa betapa tak tahu”. Bahkan kehidupan mengandung ironi kenyataan bahwa “Waktu melihat, betapa penuh rahasia gelap yang dikandung oleh cahaya”.