CakNun.com

Restorasi Ekonomi Kerakyatan Berbasis Produksi

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 5 menit

Produksi adalah sektor riil atau sektor nyata dalam berekonomi. Barangsiapa menguasai sektor riil, produksi, dia menjadi tuan atau pengendali ekonomi, khususnya ekonomi kerakyatan. Sebab produksi rakyat akan terhubung langsung dengan konsumsi rakyat. Ekonomi produksi adalah sesuatu yang kompatibel terhadap ekonomi kerakyatan, terhubung atau terkoneksi dan terkorelasi lewat transaksi-transaksi langsung, tidak terhalangi oleh broker. Rakyat produktif karena memproduksi barang kebutuhan hidup rakyat sendiri maka dengan sendirinya dan dengan seharusnya konsumsi rakyat akan terjamin. Inilah yang disebut sebagai kemakmuran rakyat, kemakmuran absolut. Kemakmuran yang nyata, adil, dan manusiawi. Transaksi people to people, citizen to citizen, man to man dalam ekonomi produksi kerakyatan jika berjalan wajar, lancar, dan berlangsung secara organis akan berbuah kemakmuran berkeadilan tadi. Tidak ada mekanisme eksploitasi, yang ada justru eksplorasi kemungkinan-kemungkinan menuju adaptasi alami menuju kemajuan ekonomi, ekonomi kerakyatan itu sendiri.

Untuk ini kemajuan ekonomi atau peningkatan ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan dihitung dari titik produksi, energi produktif ini yang dihitung sebagai energi yang dapat memicu dan memacu kemajuan, peningkatan ekonomi. Ekonomi berbasis produksi ini seharusnya menjadi arus utama kalau kita ingin melakukan restorasi ekonomi kerakyatan. Hari-hari ini adalah momentumnya. Ketika sistem ekonomi-bukan-kerakyatan yang memuja sektor ekonomi fiktif (finansial) dan perdagangan eksploitatif (termasuk perdagangan uang dan kertas modal) tengah sempoyongan dihantam krisis akibat dampak badai Coronavirus, maka saatnya ekonomi kerakyatan berbenah diri, melakukan restorasi internal. Ketika sistem ekonomi dan ekosistem ekonomi-bukan-kerakyatan yang menghitung peningkatan ekonomi berbasis konsumsi, berbasis penggalian pajak dan berbasis investasi mengalami shock berat karena pasar sepi dan transaksi massifnya melemah, maka ekonomi kerakyatan berbasis produksi bisa menggantikan peran dan posisinya sebagai instrumen untuk menolong rakyat dari kesulitan ekonomi. Dari intinya, menurut bahasa LSM lawasan, ekonomi kerakyatan yang berbasis produksi ini lini aksinya adalah dari rakyat, untuk rakyat, bersama rakyat membangun kekuatan kemakmuran berkeadilan, kemakmuran bersama.

Mungkin sederhananya begitu. Dalam praktik tentu tidak sederhana, karena harus merobohkan atau melompati pemikiran ekonomi-bukan-rakyat yang biasa beroperasi secara kartelik, lengkap dengan jaringan-jaringannya yang sudah menjalar kemana-mana. Setelah itu perlu meyakinkan diri dan meyakinkan rakyat kalau pilihan mendasarkan pada orientasi produksi memang benar secara ekonomi, baik secara etika ekonomi, dan indah secara kemanusiaan.

Setelah atau bersama restorasi ekonomi kerakyatan berbasis produksi, maka tawaran Bung Hatta tentang penghimpunan dana untuk modal pengawalan produksi dengan instrumen berbagi hasil bernama koperasi perlu dipertimbangkan dengan saksama. Dan perlu dipraktikkan kembali. Jadi, kemudian ekonomi punya dua pilar penting: produksi (sebagai tujuan) dan koperasi (sebagai alat pengawal produksi). Sebab kalau tidak dikawal oleh koperasi, jangan-jangan ekonomi produksi sampai pada limit yang mendebarkan: kekurangan modal usaha produktif mereka. Demikianlah, pikiran alternatif sederhana ini semoga menjadi penyegar pikiran di tengah kesumpekan berpikir gara-gara pandemi berbulan-bulan ini.

Tulisan saya di atas masih merupakan dataran teoretis, makro, dan bagi sebagian teman malahan abstrak dan mengawang-awang, paparan utopia. Mengapa? Karena belum diterjemahkan menjadi tataran strategis. Apakah yang disebut tataran strategis ekonomi rakyat berbasis produksi? Yaitu menyangkut potensi teritori ekonomi rakyat itu sendiri. Potensi ini dapat didekati menurut lokus, menurut modus, dan menurut fokus dalam berekonomi dengan basis produksi.

Menurut lokus, ekonomi kerakyatan dapat dilihat dari tempat rakyat itu hadir kemudian melakukan kegiatan produksi sehari-hari. Sederhananya: secara lokus, mereka tinggal di desa pedalaman, di desa pantai, di daerah antara desa dengan kota dan di kota. Di lokasi-lokasi kejadian (proses) ekonomi produksi yang berbeda itu menyebabkan potensi pra-produksi atau hulu produksi (bahan baku atau sumber daya alam), potensi kapasitas dan kualitas menghasilkan produk (sumber daya manusia) dan kapasitas serta kualitas teknologi pendukung (sumber daya teknologi) menjadi berbeda-beda. Kemudian pada proses teknis produksi, selain dibantu teknologi produksi, walau sederhana atau menengah (yang penting tepat guna) rakyat memerlukan alat produksi atau infrastruktur fisik dalam berproduksi. Jadi sudah ada bahan baku, teknologi, dan alat, maka yang kemudian diperlukan adalah strategi kedua, yaitu menentukan modus produksi. Modus produksi ini berkaitan erat dengan fokus produksi. Dan berdasarkan lokusnya dapat dibedakan menjadi rakyat yang berfokus pada gerak produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan rakyat, pertambangan rakyat, penangkapan ikan, penangkapan hewan lainnya, pengambilan madu, usaha lainnya yang halal dan pengolahan bahan makanan menjadi makanan siap dikonsumsi.

Yang dimaksud dengan usaha halal lainnya adalah kegiatan produksi perkainan (tekstil), mulai dari penanaman kapas, nanas, pohon murbei untuk pakan ulat sutera, sampai pada usaha pemintalan benang kapas, benang dari serat nanas dan serat sutera yang berlanjut pada usaha pertenunan, persongketan dan perhatikan dengan menggunakan pewarna alami lokal. Dilengkapi dengan usaha kerajinan berbahan baku bambu, kayu, sabut, batok, enceng gondok, pohon pisang, kulit binatang laut dan berbahan baku aneka logam (emas, perak, perunggu, kuningan, benang tembaga dan lempeng tembaga, monel) misalnya. Termasuk usaha halal berbasis produksi adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan bahan baku obat herbal, yang mengolah obat atau tamba bagi keperluan untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat. Ruang lingkup usaha halal produksi rakyat ini juga menyangkut usaha mebel, usaha perkayuan untuk pembuatan alat rumah tangga dan usaha gerabah atau keramik dan usaha pande besi yang menghasilkan alat dapur, alat pertanian dan alat perkebunan serta pertukangan.

Seandainya paugeran lama bahwa sebuah desa di Jawa paling tidak harus memiliki 12 jenis tanaman wajib serta lokasi wajib berupa lumbung pangan dan desa nelayan punya paugeran wajib berupa adanya tambak, kapal nelayan, lahan pembibitan, lahan pengisi hasil laut dan tambak dan lokasi pendaratan ikan dan tempat lelang ikan serta lumbung ikan maka bahan baku produksi rakyat akan senantiasa tersedia. Apalagi kalau di desa ada lokasi wajib untuk menghasilkan gula dan di tempat nelayan (pantai) ada lokasi wajib untuk pembuatan garam, serta di dekat hutan ada lokasi wajib untuk menyediakan daun-daun pembungkus produk yang telah diawetkan dengan gula atau garam itu. Ini merupakan bagian penting yang menjadi fokus restorasi ekonomi kerakyatan berbasis produksi itu.

Nah, ini makin jelas gambaran sisi strategis mana dari ekonomi kerakyatan yang perlu direstorasi. Sisi strategis dari ekonomi kerakyatan berbasis produksi adalah pasca produksi. Ini adalah waktu paling rawan karena ini merupakan pertarungan yang sesungguhnya antara ekonomi kerakyatan berbasis produksi dengan ekonomi bukan kerakyatan yang mengandalkan ekonomi berbasis konsumsi yang sesungguhnya juga didukung produksi, investasi, dan regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Jadi pada fase pasca produksi, ekonomi kerakyatan berbasis produksi dikeroyok oleh ekonomi bukan kerakyatan yang basisnya adalah konsumsi plus investasi plus regulasi itu. Fase pasca produksi ini disebut fase hilir yang dalam bahasa ekonomi disebut distribusi. Ekonomi kerakyatan berbasis produksi sungguh harus cerdik dan cermat serta punya siasat agar penampilannya tidak mengancam distribusi pihak ekonomi-bukan-kerakyatan yang basis trio kepentingan itu yang berjejaring rapi dan kadang tanpa perasaan dalam beroperasinya.

Sudah amat banyak kasus ketika ekonomi kerakyatan berbasis produksi sampai pada fase distribusi lewat jalur biasa, bukan jalur alternatif, maka dia dilumpuhkan oleh kekuatan ekonomi-bukan-kerakyatan karena dianggap mengancam dominasi dan hegemoni pasar mereka. Selama ini mereka telah menikmati keuntungan berlipat ganda di wilayah distribusi dengan pendekatan konsumsi (maksudnya mereka semata-mata memposisikan rakyat hanya senai konsumen dari produk mereka). Dan strategi mereka adalah memelihara daya beli agar mampu membeli produk mereka secara permanen. Ini sungguh berbeda dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis produksi yang memiliki semangat bahwa distribusi adalah keharusan untuk mempertahankan hidup usaha, dengan memandang para pihak yang memanfaatkan produk ekonomi kerakyatan ini bukan sebagai konsumen, tetapi sebagai mitra usaha. Maka ukuran yang diterapkan adalah bukan daya beli, tetapi daya jual. Sesama rakyat saling mensubjekkan (bukan saling mengobjekkan) dalam bentuk kemitraan. Penjual dalam hal ini produsen, dalam konsep ekonomi kerakyatan berbasis produksi, adalah mitra pemakai barang produksi. Ada suasana ta’awanu bil birri wattaqwa di sini. Sedangkan dalam ekonomi-bukan-kerakyatan yang berlangsung adalah ta’awanu bil itsmi wal ‘udwan.

Oleh karena itu strategi yang konsisten dari ekonomi berbasis produksi adalah strategi alternatif total berkesinambungan. Strategi alternatif dalam membuka saluran hulu (bahan baku dan bahan pembantu), strategi alternatif dalam memproduksi (desain produksi alternatif berbasis ide alternatif, menggunakan teknologi alternatif dan energi alternatif), dan strategi alternatif dalam mendistribusikan barang-barang produksinya. Maksudnya jelas, jangan menggunakan jalur distribusi yang biasa saja yang telah digunakan oleh pihak ekonomi-bukan-kerakyatan. Kalau mau serba alternatif maka ada harapan ekonomi kerakyatan berbasis produksi ini akan selamat, berkembang permanen dan mendatangkan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat yang berkeadilan secara permanen, artinya terus berkelanjutan.

Selama ini ide ekonomi kerakyatan gagal dipraktikkan dan dikalahkan oleh pihak ekonomi-bukan-kerakyatan karena tidak konsisten dan tidak dalam menghidangkan semangat alternatif dan praktek alternatif. Namanya saja ekonomi kerakyatan kok menggunakan pola dan strategi ekonomi-bukan-kerakyatan. Ketika ekonomi-bukan-kerakyatan menggunakan basis konsumsi, investasi, dan regulasi (plus standarisasi) sepihak dan tidak adil, kok ekonomi kerakyatan mengekor dan meniru mereka. Tentu dalam waktu satu detik akan ketahuan kelemahan mendasanya. Dengan sekali hembusan atau sekali gebuk ekonomi kerakyatan akan sempoyongan dan pingsan.

Kita harus selalu ingat bagaimana tragedi koperasi sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan (merupakan bagian dari ekosistem ekonomi kerakyatan) dilumpuhkan dan dibuat kurang berfungsi maksimal oleh pihak pelaku ekonomi-bukan-kerakyatan. Demikianlah paparan singkat dan sederhana dan naif tentang ekonomi kerakyatan berbasis produksi.

Yogyakarta, awal Juli 2020
Mustofa W. Hasyim
Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya