Relevansi Tulisan Lama Mbah Nun di Zaman Sekarang
Belakangan ini aktivitas harian saya untuk tombo kangen Maiyahan adalah membaca buku-buku karya Mbah Nun. Semakin mengenal Mbah Nun pengalaman saya mengajak untuk menggali sejarah Mbah Nun mundur ke belakang. Untuk menggali dan mengerti proses panjang yang dilalui Mbah Nun sehingga bisa seperti sekarang ini. Salah satu langkahnya adalah dengan membaca tulisan-tulisan kolom Mbah Nun zaman dulu yang banyak dibukukan.
Sampailah pencarian saya sementara ini dengan bertemu buku Mbah Nun yang berjudul Kiai Sudrun Gugat. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan kolom Mbah Nun di Jawa Pos yang dibukukan oleh penerbit Grafiti pada 1994 silam. Pada tahun penerbitan itu mungkin saya masih dalam fase bayi abang, dan Mbah Nun sudah menulis tentang berbagai problematika sosial, komplit dengan rumusan masalah dan penyelesaiannya. Yang karyanya dapat saya sinauni saat ini.
Setelah saya baca dan pahami tulisan tersebut, pada rentang waktu penerbitan yang sama dengan tahun kelahiran saya itu — hingga saat ini saya berada pada fase belajar pendewasaan diri, masih sangat relevan dan bisa dijadikan cara pandang dan cara berpikir untuk merumuskan permasalahan yang terjadi saat ini.
Misalnya pada hari-hari ini yang sedang hangat adalah permasalahan pengesahan tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja — yang dirasa merugikan rakyat terutama buruh. Padahal mungkin saja keputusan itu merupakan wujud dari langkah kreatif pemerintah — yang tujuannya supaya konstruktif terhadap keadaan sekarang ini. Tapi mungkin keputusan langkah kreatif itu kurang tepat sehingga mengakibatkan ketidaksetujuan rakyat. Tapi saya tak ingin terlarut dalam emosi atau subjektivitas penilaian: siapa yang patut disalahkan.
Saya hanya bisa urun wacana tentang cara pandang Mbah Nun kala itu dalam menyikapi dan merumuskan permasalahan yang sedang terjadi untuk menemukan solusi yang tepat. Di dalam buku Kiai Sudrun Gugat tersebut, ada tulisan Mbah Nun berjudul “Manusia Kreatif, Si Khalik Kecil” — yang menurut saya relevan dijadikan pijakan dalam merumuskan permasalahan yang sedang kita hadapi saat ini. Dalam tulisan tersebut Mbah Nun mengutip kalimat Dr. Edward de Bono,”di masa depan, orang harus lebih konstruktif. Untuk menjadi konstruktif, manusia harus menjadi kreatif. Persoalan dunia tidak akan menjadi lebih sederhana. Pembangunan ekon0mi dan masalah lingkungan akan semakin kompleks. Untuk itu, manusia dituntut lebih kreatif dan kosntruktif”.
Tapi menurut Mbah Nun kreatif saja tak cukup untuk melangkahkan kaki menuju sistem sosial yang konstruktif. Sebab menurut Mbah Nun banyak hasil kreativitas: berbagai hasil teknologi, kepiawaian filsafat, dan kelicikan politik sama sekali tidak menjamin bahwa manusia atau sebuah sistem sosial akan bersifat konstruktif terhadap kehidupan warganya sendiri.
Maka dari itu, menurut Mbah Nun kalau kita bicara soal sikap konstruktif, sumur utamanya bukanlah kreativitas, melainkan etika. Karena kengerian terhadap bias destruktif dari kreativitas di sekitar kita, Mbah Nun dalam tulisan tersebut lebih memilih “orang baik” — meskipun barangkali tidak cukup kreatif — daripada “orang kreatif” tapi tak terjamin iktikad baiknya.
Jadi sudah semakin jelas permasalahan yang terjadi saat ini, jika kita merumuskannya dengan memakai cara pandang Mbah Nun dalam tulisan tersebut. Untuk menata, manusia membutuhkan cara berpikir kreatif. Tapi, agar penataan itu bersifat konstruktif, yang diperlukan bukan kreativitas melainkan akhlak.
Melalui tulisan Mbah Nun tersebut semoga kita bisa belajar agar tak salah melangkah untuk mengkonstruksi masa depan kita. Dan sebagai insight kita barangkali suatu saat dipilih untuk memimpin masyarakat — tak hanya mengutamakan kreativitas, melainkan akhlak.
Sebab di akhir tulisan tersebut Mbah Nun mengatakan, bahwa masa depan umat manusia lebih ditentukan oleh akhlak.
Surabaya, 8 Oktober 2020