CakNun.com

Raumdeuter di Kehidupan Nyata

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 6 menit

Saya meyakini bahwa saat ini semakin banyak orang yang sudah merasakan kejenuhan. Pandemi Covid-19 ini benar-benar menyiksa kita semua. Ruang gerak kita menjadi sangat terbatas, bahkan untuk keluar rumah, hati kita selalu was-was. Ada perasaan khawatir, tidak sepenuhnya aman. Hari-hari ini, kita sedang mengalami ketakutan yang luar biasa, menghadapi barang ghoib bernama Coronavirus.

Andaikan Coronavirus ini bisa kita lihat secara kasat mata, masih mendingan. Misalnya kita digigit nyamuk, bisa kita antisipasi agar kemudian kita tidak digigit lagi. Tapi ini bukan nyamuk, ini virus. Banyak informasi yang sudah menjelaskan bahwa Coronavirus ini mortality rate-nya cukup tinggi pada orang lanjut usia, tetapi itu juga tidak membuat kita merasa aman. Beberapa kasus terakhir banyak juga ternyata anak-anak muda bahkan bayi dan balita yang terjangkit Coronavirus ini.

Saat rasa jenuh sudah melanda, apapun yang kita lakukan akan sangat membosankan, meskipun yang kita lakukan adalah sesuatu yang kita sukai. Anda yang suka bermain game misalnya, berapa jam Anda kuat menghabiskan waktu Anda untuk bermain game?

Anda yang suka nonton film, berapa lama Anda kuat menghabiskan waktu untuk nonton film favorit Anda? Sekarang kita memasuki bulan puasa, Anda yang sangat rajin beribadah, berapa jam Anda kuat untuk tadarrus dan wiridan?

Work From Home, School From Home, semua hal sekarang mulai dibiasakan untuk dilakukan dari rumah. Bayangkan jika satu hal yang saat ini menjadi kebutuhan primer manusia juga terganggu seluruh dunia; Internet mati total.

Baiklah, tak usah dibayangkan. Ketika kehabisan kuota saja kita sudah belingsatan tidak karuan, kemudian berusaha agar perangkat di genggaman tangan kita kembali tersambung dengan koneksi internet. Ya kalau kita punya uang untuk beli pulsa. Kalau tidak punya uang? Masih enak jika ada tetangga yang langganan internet bulanan, kita bisa numpang wifi gratisan.

Coronavirus: Raumdeuter abad ini

Salah satu hal untuk menghilangkan rasa bosan yang saya alami adalah dengan menonton pertandingan-pertandingan legendaris sepakbola. Satu dari sekian pertandingan favorit saya adalah Semifinal Piala Dunia 2014 antara Brasil vs Jerman yang berakhir dengan skor 1-7. Keunggulan telak Jerman atas Brasil yang saat itu menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014.

Adalah Thomas Muller yang mengawali 7 gol yang dicetak Jerman pada pertandingan malam itu. Thomas Muller adalah pemain yang selama 90 menit bermain sangat buruk dalam sebuah pertandingan, tetapi ia mampu mencetak gol. Begitulah seorang Thomas Muller digambarkan oleh Hermann Gerland, sang asisten pelatih Bayern Munchen.

Jangan bandingkan Thomas Muller dengan seorang Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo yang mampu mencetak gol demi gol di setiap pertandingan. Jangan juga bandingkan Muller dengan Andrea Pirlo atau rekan senegaranya Toni Kroos yang memiliki akurasi umpan dan tendangan bebas yang sangat baik. Tidak, Muller tidak bisa dibandingkan dengan mereka.

Thomas Muller adalah seorang Raumdeuter. Ia adalah seorang ahli penafsir ruang. Ia adalah Raumdeuter yang terbaik saat ini. Ketika kita menyaksikan Muller bermain di lapangan hijau, tidak bisa kita prediksi kemana ia bergerak mencari ruang. Nomor punggung yang ia kenakan di Bayern Munchen pun sangat anti-mainstream: 25. Tidak bisa kita pastikan apakah Muller ini tipikal pemain nomor 9, 10, atau 11. Karena ia juga piawai menjadi pemain no 8 bahkan no 6. Sementara di timnas Jerman, Muller mengenakan nomor punggung 13. Sangat tidak biasa.

Coba Anda saksikan lagi replay pertandingan Brasil vs Jerman di Semifinal Piala Dunia 2014 silam. Bagaimana gol pertama Jerman dicetak oleh Muller. Berawal dari sebuah sepak pojok, semua pemain Brasil yang berada di kotak pinalti tertuju untuk mengunci Miroslav Klose dan Mesut Ozil, sementara Muller berhasil mencari ruang terbuka dari bola yang disepak oleh Toni Kroos. Gol pertama yang cukup mengagetkan, dicetak dengan gaya yang biasa-biasa saja.

Itulah gambaran Thomas Muller, Raumdeuter sejati, seorang penafsir ruang terbaik saat ini.

Lho, Kok sampai Thomas Muller? Apa hubungannya dengan Coronavirus?

Yang membuat saya menyukai gaya bermain Thomas Muller adalah karena kepiawaiannya menafsirkan ruang di lapangan hijau. Entah untuk mencetak golnya sendiri atau menciptakan peluang bagi pemain lain untuk menceploskan bola ke gawang lawan. Memang, tidak selalu Bayern Munchen atau Jerman mampu mengalahkan lawan-lawannya ketika Muller bermain. Tapi Muller adalah sosok yang sangat menakutkan bagi lawan. Karena ia bisa muncul di area kotak pinalti tanpa diduga-duga, kemudian mencetak gol.

Dan seperti itulah Coronavirus saat ini. Sudah cukup banyak penelitian yang menyatakan bahwa Coronavirus bukan sesuatu yang baru. Dan hari-hari ini di timeline media sosial kita sedang ramai diperbincangkan bahwa Coronavirus adalah salah satu konspirasi global saat ini. Lantas kenapa kemudian kita begitu kelimpungan menghadapi Coronavirus ini? Bill Gates bahkan sudah mewanti-wanti kita di sebuah forum bahwa dunia akan menghadapi pandemi yang jelas nyata dan ia memprediksikan dunia tidak akan siap. Sayang sekali prediksi Bill Gates itu sangat tepat. Kita semua kewalahan.

Ketika manusia merasa mencapai titik sempurna, dengan segala inovasi yang dicapai, banyak pencapaian yang sebelumnya mustahil kini menjadi sesuatu yang sangat biasa saja bagi kita. Tidak terbayangkan sebelumnya kita bisa memesan tiket pesawat, hotel, nonton konser, nonton film hingga memesan makanan favorit kita sambil selonjoran di rumah. Perilaku tradisional untuk antre di loket sudah sangat jarang kita rasakan saat ini. Kemudian Coronavirus datang, menafsirkan ruang dalam kehidupan kita, mengagetkan kita bahwa ternyata masih ada ruang yang bisa dimanfaatkan, bukan hanya memporakporandakan kehidupan manusia, tetapi lebih dahsyat, melumpuhkan dunia tanpa membuat kerusakan fisik dan materi.

Kita di Indonesia ini sudah merasakan, hanya kurang dari 2 bulan saja setelah Pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19, semua berubah drastis. Kita khawatir untuk keluar rumah, kita tidak bisa lagi bermuwajahah Maiyahan seperti sebelumnya, bisa ketawa haha-hihi, begadang sampai menjelang subuh Sinau Bareng. Dan di bulan puasa ini, kita tidak bisa merasakan suasana Ramadlan seperti tahun-tahun sebelumnya. Coronavirus menjadikan kita seperti kesebelasan Brasil yang hancur lebur di rumah sendiri, digilas oleh tim Panser Jerman.

Brasil di tahun 2014 menyambut Piala Dunia dengan gegap gempita, 12 stadion dibangun megah, pendapatan Negara meningkat meskipun kemudian pembangunan infrastruktur Brasil saat itu juga meninggalkan utang Negara yang tidak sedikit. Penampilan Brasil mulai dari babak penyisihan pun nyaris sempurna. Tak pernah kalah, hanya sekali seri melawan Meksiko di babak penyisihan grup. Hingga akhirnya luluh-lantak 1-7 di Semifinal, dengan diawali sebuah gol seorang Raumdeuter. Sekali lagi, itulah kita saat ini. Sombong bukan main di rumah kita sendiri, tapi kemudian kita juga sangat tidak berdaya, bahkan saat berada di rumah sendiri.

Saatnya Beradaptasi

Coronavirus telah mampu memerankan dirinya sebagai Raumdeuter, menafsirkan ruang di dalam kehidupan manusia untuk kemudian menghancurkan harmoni kehidupan manusia yang awalnya dianggap begitu sempurna, dan sedang menuju puncak dari pencapaian kecanggihannya. Mungkin, seandainya tidak ada Coronavirus, tahun depan kita sudah bisa merasakan piknik ke Bulan.

Lantas, apakah kemudian kita kalah? Tentu saja tidak. Jerman memang kemudian berhasil menjuarai Piala Dunia 2014. Tetapi kemudian di Piala Dunia 2018 lalu, Jerman mengalami kutukan juara bertahan. Gagal lolos dari fase grup, bahkan dikalahkan oleh Korea Selatan dengan skor meyakinkan 2-0.

Begitulah hidup, ada kalanya kita ada di atas, ada kalanya kita berada di bawah. Ketika Coronavirus ini datang menjangkiti dunia, kita semua kehilangan kontrol, kelimpungan, kewalahan, gagap, gupuh, ambyar seketika. Coronavirus mengontrol dunia, kita semua didikte oleh Coronavirus untuk melakukan hal-hal yang tidak kita lakukan sebelumnya. Jika kita tidak segera melakukan adaptasi dengan kondisi saat ini, kita akan terus kewalahan menghadapi Coronavirus.

Mas Sabrang, dalam Reboan on the Sky edisi 15 April 2020 menyatakan bahwa ketika masa-masa seperti ini kita akan mengalami kondisi: 1. Menjadi korban, 2. Mengambil tantangan. Kita harus sesegera mungkin untuk mengambil posisi nomor 2: mengambil tantangan. Dengan kita mengambil tantangan, kita akan kreatif beradaptasi agar kita bisa survive.

Krisis ekonomi sudah di depan mata, krisis pangan juga sudah ada di depan mata. Belum lagi jika kita berbicara mengenai ancaman PHK besar-besaran di dunia industri, aka nada jutaan orang yang menjadi pengangguran. Tidak perlu menunggu datangnya kecanggihan robot untuk menggantikan para pekerja di pabrik, era baru harus segera kita sambut. Jika kita tidak segera melakukan adaptasi, maka kita akan kembali menjadi pecundang di hadpaan Coronavirus.

Geliat teman-teman penggiat Simpul Maiyah di berbagai daerah dalam merespons situasi sudah terlihat. Pada awal-awal pandemic Covid-19, mereka turun tangan di lapangan, mulai dari menyebar semprotan disinfektan, membuat tempat cuci tangan untuk umum, hingga produksi masker dan juga menyalurkan bantuan logistik bahan makanan pokok kepada warga. Tapi itu saja tidak cukup. Ingat, pandemic ini bukan seperti bencana alam erupsi gunung berapi atau gempa bumi yang sebelumnya pernah kita alami. Bagi Coronaviurs ini adalah rakaat panjang mereka, ini adalah infinite game mereka. Tetapi, bukan berarti kita akan mengalah begitu saja.

Mbah Nun pernah menyampaikan kepada kita bahwa di tengah derasnya hujan sekalipun tetap ada ruang-ruang kosong yang bisa kita manfaatkan. Coronavirus telah memperingatkan kita dan telah membuktikan itu, saatnya kita sekarang mengaplikasikan apa yang sudah diajarkan oleh Mbah Nun itu. Jangan-jangan, Coronavirus sudah ikut Maiyahan sejak lama, sehingga ia mengaplikasikan ilmu ruang dalam derasnya hujan itu?

Banyak teman-teman penggiat Simpul Maiyah yang sudah mulai menginisiasi ketahanan pangan sejak beberapa tahun lalu. Mereka sangat istiqomah, dan saat ini terbukti bahwa apa yang mereka istiqomahi adalah sesuatu hal yang sangat penting. Saat ini, yang kita butuhkan adalah keselamatan dan keamanan pangan kita, jika kita berbicara jangka pendek, setidaknya kita harus memastikan bahwa stok pangan kita harus aman sampai akhir tahun 2020.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman Jamaah Maiyah semua untuk bersama-sama membangun ketahanan pangan bersama-sama. Segera inisiasi menanam dan berkebun di halaman rumah masing-masing, tanamlah sayuran dan juga bumbu-bumbu dapur yang mungkin bisa di panen dalam jangka waktu 2-4 bulan kedepan. Percayalah, sebanyak apapun uang yang kita punya tidak akan berguna jika nanti tidak ada bahan makanan pokok yang bisa kita beli.

Saatnya kita berbalik untuk menjadi Raumdeuter, saatnya kita berbalik untuk mengontrol Coronavirus. Ada banyak juga teman-teman penggiat Simpul Maiyah yang sudah berikhtiar menemukan rauan dan formula suplemen untuk menangkal Coronavirus ini. Dan saya yakin masih banyak lagi yang juga sudah menemukan inovasi serupa. Ingatlah selalu rumus Allah; Robbana maa kholaqta hadza bathila. Tidak ada sesuatu pun yang diciptakan sia-sia.

Jika memang kita meyakini bahwa diri kita adalah Khalifatullah, inilah saatnya kita beradaptasi dengan situasi. Jika kita meyakini apa yang pernah diucapkan oleh Mbah Nun bahwa kita adalah Man of all seasons, inilah saatnya kita membuktikan keyakinan kita. Kita tidak dapat memastikan apa rahasia Allah dibalik fenomena Coronavirus ini, bisa jadi Allah menyiapkan Coronavirus menjadi salah satu penghuni dalam tubuh kita, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mengontrolnya. Jika virus-virus sebelumnya bisa kita kontrol, tentu tidak mustahil jika Allah juga menghendaki bahwa Coronavirus ini bisa kita kontrol. Wallahu a’lam.

Lainnya

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Salah satu pertanyaan workshop dalam Sinau Bareng di balai desa Condongcatur pada hari Jum’at malam 20 Desember 2019 menarik perhatian saya.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil