Rasionalitas Akal dalam Beragama
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, al Insanu hayawanun nathiq. Tentu saja bukan secara harfiah menyebutkan bahwa manusia adalah hewan atau binatang. Dianugerahinya akal, menjadikan manusia menjadi makhluk yang lebih sempurna dibandingkan dengan binatang. Dalam Al Qur`an, Allah menyebut manusia sebagai ahsanu taqwim.
Dengan adanya akal, manusia memiliki kebebasan serta kedaulatan untuk berpikir. Sejatinya, manusia bukanlah makhluk yang mudah untuk taqlid, seandainya ia menggunakan akalnya secara merdeka. Sayangnya, asupan informasi yang dicerna oleh manusia terlampau banyak; banjir informasi yang dialami oleh manusia hari ini menjadikannya tidak terlatih untuk memfilter setiap informasi yang ia terima.
Tidak terkecuali dalam mencerna informasi mengenai agama, atau lebih tepatnya mengenai otoritas agama. Meminjam istilah yang digunakan oleh Syaikh Nursamad Kamba, agama saat ini lebih banyak diinformasikan oleh otoritas agama yang pada akhirnya menjadi seperti lembaga yang menyampaikan aturan-aturan dan undang-undang dalam hidup beragama. Informasi yang beredar seringkali ditelan mentah-mentah oleh umat beragama yang pada akhirnya menghadirkan perdebatan yang tidak ada akhirnya.
Kita sebagai umat Islam, hampir tiap tahun selalu ada momen-momen rutin perdebatan yang muncul, seperti misalnya boleh atau tidak mengucapkan selamat natal? Ketika memasuki bulan Ramadlan, muncul perdebatan apakah shalat tarawih jumlah rakaatnya 11 atau 23? Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat dalam urusan agama yang selalu menjadi perdebatan. Yang pada akhirnya justru semakin menjauhkan manusia dari esensi agama itu sendiri.
Sejatinya, manusia tidak memerlukan undang-undang hukum untuk memastikan bahwa ia tidak mencuri. Manusia tidak membutuhkan peraturan dan norma-norma untuk memastikan bahwa dirinya tidak mengancam nyawa, martabat dan harta orang lain. Pun dalam pencarian kebenaran, manusia secara naluri, andaikan menjadi manusia yang sejati, tidak mungkin memaksakan keyakinannya tentang sebuah kebenaran untuk diyakini oleh orang lain. Karena setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menemukan kebenaran. Maka agama bukanlah aturan mengenai cara hidup, ia sebenarnya hanya sebuah pagar atau semacam alarm yang mengingatkan manusia jika sudah melampaui batas kewajaran.
Syaikh Kamba berpendapat bahwa agama adalah situasi keilahian yang dialami oleh manusia yang menuntun pada kebaikan. Di dalam Al-Qur’an difirmankan oleh Allah: “Faman kana yarju liqôa robbihi falya’mal ‘amalan sholihan wala yusyrik bi ‘ibadati robbihi ahadan.” (Al-Kahfi 110). Dalam ayat ini Allah menjelaskan dengan sangat simpel bahwa barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan-Nya, hanya ada dua syaratnya: mengerjakan kebajikan dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Lantas bagaimana dengan ritual ibadah yang diatur dalam rukun Islam dan juga bagaimana dengan enam poin dalam rukun Iman? Syaikh Kamba dalam bukunya “Kidz Zaman Now Menemukan Kembali Islam” menjelaskan dimensi agama. Islam, Iman dan Ihsan. Mengenai rukun Islam dan rukun Iman, kita sudah hafal.
Bagaimana dengan Ihsan? Rasulullah Saw menjelaskan dalam sebuah hadits bahwa Ihsan adalah an ta’budullaha ka annaka tarohu, fa in lam tarohu fainnahu yarooka. Ihsan adalah kita beribadah kepada Allah dengan keyakinan saat kita beribadah kita menyaksikan Allah, apabila kita tidak menyaksikan-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat kita.
Agama pada dimensi Ihsan ini dijelaskan oleh Syaikh Kamba memiliki cakupan aktualisasi diri yang lebih luas dari sekadar dimensi Islam dan Iman. Jika kita berbicara Islam, maka akan selesai pada ritual kita bersyahadat, mendirikan shalat, berpuasa, menunaikan zakat dan melaksanakan haji. Sudah itu saja. Ketika memasuki dimensi Iman, kita meyakini sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Maka Mbah Nun sering menyampaikan bahwa ketika kita meyakini sesuatu dan ilmu yang kita miliki tidak mampu menggapainya, gunakanlah Iman.
Dalam satu kesempatan di Maiyahan, Mbah Nun pernah menjelaskan juga bahwa agama adalah sesuatu yang datangnya dari Allah, bukan sesuatu yang dikarang-karang oleh manusia. Semua ritual Ibadah yang dilakukan oleh umat Islam adalah sesuatu yang memang datangnya dari Allah melalui Rasulullah Saw. Dalam penjelasan lebih spesifik, Mbah Nun memperjelas dalam konteks Ibadah Mahdhloh dan Ibadah Mu’amalah. Penjelasan mengenai perbedaan Ibadah Mahdloh dan Ibadah Mu’amalah ini adalah jawaban dari perdebatan mengenai mana sesuatu yang bid’ah dan mana yang bukan.
Syaikh Nursamad Kamba adalah seorang praktisi Tasawuf. Beliau bukan hanya sekadar mempelajari Ilmu Tasawuf, tetapi juga menekuninya bahkan hingga pada titik beliau menemukan mursyid. Bagi seorang penganut tarekat seperti Syaikh Kamba, tidak membutuhkan waktu lama untuk merasa “klik” dengan pemikiran Mbah Nun di Maiyah. Salah satu sebabnya adalah karena di Maiyah kita dilatih oleh Mbah Nun untuk menggunakan rasionalitas akal dalam beragama. Mbah Nun melakukan dekonstruksi cara berpikir kita dalam memahami suatu persoalan, mengajak kita untuk melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Tidak selalu dikemas dalam diskusi yang serius, bahkan sering kali kelakar-kelakar dan guyonan khas Madura yang mengundang gelak tawa tanpa sadar telah mendobrak cara berpikir kita dalam memahami agama.
Satu contoh, kisah nelayan di laut yang sambat tidak dapat ikan, kemudian setelah mendapat ikan yang banyak, ia kembali ke darat mendapati rumahnya kebakaran. Yang kita ingat hanya umpatan, “Masalah di laut jangan di bawa ke darat.” Dalam cerita itu, Mbah Nun memberitahu kepada kita bahwa untuk meminta sesuatu ya kepada Allah, bahkan jangan sungkan-sungkan untuk meminta sesuatu kepada Allah. Jika peristiwa ini dijelaskan dengan menggunakan ayat Al-Qur`an beserta tafsir-tafsirnya, tentu akan membosankan.
Tetapi ingat, menggunakan rasionalitas akal dalam memahami agama bukan dengan serampangan. Tidak lantas kemudian tanpa dasar pengetahuan yang kuat, kemudian kita serta-merta menggunakan rasionalitas akal kita dalam memahami agama. Tidak demikian rumusnya. Kalau kita runut, setiap kita Maiyahan, selalu diawali dengan setidaknya nderes Al Qur`an, kemudian kita diajak bersholawat, dan tidak serta-merta kemudian Mbah Nun menjelaskan sesuatu dengan kelakar-kelakar yang mengundang tawa, terlebih dahulu Mbah Nun memberi alas sebagai dasar sebelum menjelaskan sesuatu.
Maka tidak berlebihan ketika Syaikh Kamba juga menyebutkan bahwa Maiyah adalah jalan pembebasan. Salah satu alasan mengapa Maiyah bagi Syaikh Kamba merupakan jalan pembebasan adalah Mbah Nun mengajak semua yang bersentuhan dengan Maiyah bersama-sama untuk membuktikan kepada malaikat bahwa asumsi dan praduga mereka terhadap Adam dan anak cucunya tidak tepat. Maiyah mengajak kita semua untuk membuktikan bahwa manusia tidak hanya sekadar menumpahkan darah dan menciptakan kerusakan di muka bumi.
Di Gontor, ada falsafah hidup yang ditanamkan kepada santri-santrinya. Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas. Empat falsafah ini tidak boleh diubah urutannya. Sebelum berpikiran bebas, harus bisa memastikan bahwa dirinya memiliki kepribadian yang luhur, badan yang sehat dan pengetahuan yang luas. Nomor satu yang diutamakan adalah mengenai akhlak. Dan kita semua mafhum, Rasulullah Saw menyatakan bahwa beliau Kanjeng Nabi diutus menjadi Rasul dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia. Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq.
Syaikh Kamba mentadabburi Surat Al-Baqarah ayat 269, bahwa seseorang yang bijaksana ialah ia yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam dibarengi olah pikir yang berkesinambungan, serta berhubungan dengan akal yang efektif sehingga mencapai taraf intuisi dalam pengetahuannya. Menjadi sesuatu hal yang sangat wajar jika kemudian kita mendapati orang yang bijaksana memperoleh banyak kebajikan. Kembali saya menggarisbawahi mengenai olah pikir, yang mana di Maiyahan kita selalu dipacu oleh Mbah Nun untuk selalu olah pikir, mendobrak kemapanan berpikir masyarakat mainstream, namun tetap dilandasi dengan tanggung jawab, bukan asal omong belaka.
Pada akhirnya, Syaikh Kamba menemukan fakta bahwa di Maiyah terdapat lima prinsip jalan kenabian, yang salah satunya adalah independensi dalam berpikir, atau sering juga Syaikh Kamba menyebut kedaulatan berpikir. Dengan kedaulatan berpikir, akan membebaskan diri kita dari sekat-sekat yang mengurung kita dalam beragama. Syaikh Kamba memberi istilah akuarium. Jika kita tidak berani membebaskan pikiran kita, maka kita tak ubahnya seperti ikan di dalam akuarium yang sangat terbatas ruang geraknya.
Kita memang dilatih untuk berpikir secara “liar” di Maiyah. Radikal. Tetapi bukan tanpa tanggung jawab. Pada metode Maiyahan yang kita alami, sudah seharusnya kita tidak hanya taqlid semata. Kita sudah sampai pada tahap bahwa ibadah yang kita lakukan bukan semata-mata karena mengharap surga dan menghindari neraka.
Syaikh Kamba menegaskan bahwa pengabdian dan bakti kepada Tuhan sesungguhnya adalah kesadaran beragama yang muncul dari dorongan batin dan penghayatan terhadap asal-usul hidup, serta orientasi perjalanan hidup manusia.