CakNun.com

Qiraah dan Ro’iyah Anak-Anak Muda Islam

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Kepada Anda, ingin saya kemukakan refleksi dari peristiwa Pesantren Seni (Jamaah Salahuddin UGM Yogya) pada 25, 26, dan 27 April 1988, dan saya merasa harus memulainya dari sisi yang — saya sebut — paling mengerikan.

Yakni ketika pada malam terakhir kegiatan pesantren itu, diselenggarakan “Malam Apresiasi” yang menampilkan sebagian karya “mendadak” dari para santri yang meliputi bidang sastra, teater, musik, dan seni rupa. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 250 penonton, yang umumnya merupakan sebagian dari Jamaah Salahuddin yang sebelum itu tarawih di Gelanggang Mahasiswa UGM.

Mengapa mengerikan?

Mungkin ini kesan subjektif saya. Mungkin itu timbul karena saya secara serius bersimpati terhadap penyelenggaraan Pesantren Seni dan segala sesuatunya sedemikian “saya masukkan ke hati”. Namun, saya berusaha menuliskan apa yang saya yakini sebagai penglihatan dan analisis yang seobjektif mungkin.

Kebetulan saya ikut menemui keberlangsungan acara ini, terutama pada malam hari sesudah tarawih hingga menjelang sahur. Kemudian, pada Malam Apresiasi, tanpa diminta, saya merasa berbahagia untuk ikut baca puisi — pada akhir acara — bersama teman-teman saya: Novi Budiyanto, Jadug, dan Narto yang bermusik.

Dorongan untuk berpartisipasi di dalamnya adalah kehendak dan pikiran tentang penumbuhan kreativitas seni budaya muslim. Intinya: alangkah membahagiakan apabila anak-anak muda Islam yang bersedia belajar untuk menciptakan produksi-produksi seni budaya sehingga bisa mengurangi ketergantungan dan keterjebakan mereka di dalam konsumerisme budaya non-Islam yang selama ini memang menggelisahkan secara serius.

Sedemikian seriusnya saya menanggapi kegiatan itu sehingga barangkali saya menjadi sentimental. Kritik para santri menyuguhkan beberapa bagian dari karya mereka, tidak sedikit penonton yang tidak bersikap apresiatif. Mereka berteriak-teriak, melontarkan kata-kata yang sebenarnya kejam, dan ketika sampai di puncak keadaan ketika “selera mereka tak terpenuhi”, sebagian penonton itu pun berlalu pulang.

Sebenarnya itu merupakan hak penuh para penonton, apabila mereka sungguh-sungguh penonton dalam kerangka ideologi dan kebudayaan tertentu ketika ada yang nonton dan ada yang menonton, baik dengan membayar atau tidak.

Penonton itu memiliki otoritas untuk menentukan apa yang mereka tonton. Atau kalau mereka membayar, mereka adalah pembeli tontonan dan mereka berhak mengemukakan kekecewaan apabila tontonan itu tidak sesuai dengan kehendak mereka.

Akan tetapi, mungkin karena “sentimentalitas” itu, sesungguhnya malam itu saya tidak melihat mereka hanya sebagai penonton. Saya melihat anak-anak muda muslimin itu sebagai bagian dari proses kebudayaan kaum muslim.

Pesantren Seni ini memprakarsai proses belajar anak-anak muda muslimin untuk mendalami pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan berkesenian. Kegiatan ini relevan dan urgen di tengah kebutuhan kaum muslim untuk merintis menjadi nahkoda bagi perjalanan kapal kebudayaan sendiri. Maka, ketika panitia mengakhiri acara itu dengan “Malam Apresiasi”, kehendaknya ialah disediakan peluang agar setiap komponen umat Islam bisa saling mengapresiasi satu sama lain.

Mengapresiasi artinya menghargai. Menghargai itu pertama-tama adalah iktikad baik, sikap, solidaritas, baru kemudian kemampuan atau kapasitas untuk bisa menghargai. Untuk menghargai apa yang tersuguh malam itu, seseorang memerlukan energi untuk memikirkan serba sedikit apa yang sesungguhnya dilakukan oleh keseluruhan Pesantren Seni ini. Apa hubungannya dengan nilai Islam, dengan posisi umat Islam terhadap dirinya, serta terhadap dunia lingkungan selama ini.

Akan tetapi, — setidaknya sebagian — dari yang datang malam itu adalah penonton, bukan apresian. Itu pun mereka tidak harus membeli apa yang mereka tonton. Tetapi, memang biasanya justru orang yang tidak membeli tontonan itulah yang memiliki sikap paling egoistis dan otoriter terhadap tontonan. Apalagi, akhir-akhir ini berlangsung semacam tren ketika otoritarianisme penonton itu membengkak sedemikian rupa — mungkin sebagai salah satu akibat dari berbagai represi kehidupan — sehingga ada dua pilihan bagi para yang ditonton: kompromi dengan seleranya para penonton atau ambil keberanian untuk meninggalkan mereka sementara waktu dan beralih pada nilai yang lebih pantas diabdi.

Penonton tidak memerlukan apa-apa kecuali keinginan untuk memuaskan seleranya yang sesaat, sedangkan apresiasi memerlukan “qiraah” (kemampuan dan kesediaan membaca apa yang sedang berlangsung beserta segala sesuatu yang melatari dan menjadi tujuan prosesnya) dan ro’iyah (kapasitas dan kemampuan mencontoh sikap-sikap seorang pemimpin dalam setiap proses memahami kebudayaannya sendiri).

Dan, malam itu yang — setidaknya sebagian — datang bukanlah apresian dengan “qiraah” dan roi’yah semacam itu. Yang mengerikan bagi saya adalah bahwa itu terjadi justru di tengah gencar-gencarnya kaum muslim membicarakan begitu banyak hal yang bagus-bagus dan muluk-muluk tentang Islam. Gambaran yang tampak pada saya adalah keterpecahan diri kebanyakan kita. Kita terlalu banyak mikir-mikir segala keislaman yang bagus. Pada saat yang sama perilaku kita, kebudayaan kita, sistem-sistem hubungan kemanusiaan kita, belum teracik menjadi suatu bangunan islami seperti yang selalu kita gembor-gemborkan.

Kita baru sedikit menemukan Islam dalam fragmentasi- fragmentasi pikiran, tetapi dalam kebudayaan dan sejarah global maupun sehari-hari, kita belum lagi Islam tersemaikan.

Apa yang terjadi dalam “Malam Apresiasi” itu adalah ketidaksabaran kaum muslim terhadap proses serta “kebelet” terhadap hasil.

Kita ingin masuk surga dengan sekali lompat, itu pun kita tidak bersedia melompat dengan kaki kita sendiri. Kita ingin ada tali entah dari mana yang mengerek kita ke surga. Artinya, dalam mekanisme intelektual, kita bersikap menunggu respons. Dalam proses kebudayaan, kita bersikap konsumtif. Itu pun dengan kadar ketidaksabaran yang menjijikkan.

Pesantren Seni itu berlangsung tiga hari: dan apa yang bisa kita harapkan dari belajar tiga hari? Sedangkan, kita sudah mengalami belajar bertahun-tahun hanya untuk pintar ngomong, untuk menjadi penganggur dan berperilaku sebagai priyayi.

Maka dari itu, yang disuguhkan dalam “Malam Apresiasi” itu sama sekali cermin bahwa para santri kaligrafi itu langsung bisa menulis khath bagus dalam waktu tiga hari, tetapi itu hanya hasil pertemuan antara kemampuan mereka sebelumnya dengan pengalaman khusus selama pesantren berlangsung. Kalau Anda menjumpai karya sastra, itu juga bukan berasal dari para sastrawan mendadak, melainkan tahap dari pengalaman dan kelahiran mereka yang baru. Juga terdapat musik dan teater.

Kalau dalam workshop drama, Anda mengajarkan metode pernapasan untuk mengumpulkan konsentrasi dan penumbuhan energi, itu tidak berarti bahwa dalam tiga hari para santri sudah menguasai pemfungsian metode itu; tetapi metode itu akan mereka bawa pulang dan dipraktikkan dalam waktu yang panjang.

Juga kalau para santri itu belajar komposisi, blocking, teori konflik dramatik, penyutradaraan, akting, mimik, dan seterusnya; itu tidak berarti bahwa mereka paham dalam soal-soal itu.

Mereka sekadar akan membawa pulang tarekat-tarekat baru dalam pengembangan kreatif teater untuk proses panjang mereka hari esok. Bahkan, apa yang tersuguh pada “Malam Apresiasi” itu sama sekali jauh dari mampu mewakili apa yang sesungguhnya dialami dan diolah oleh para santri. Lebih-lebih lagi kalau kita tuturkan bagaimana pesantren seni itu bukanlah sekadar “kursus bikin karya seni”, melainkan penumbuhan daya kreatif manusia. Lebih luas dari itu: kita belajar memahami masyarakat, proses-proses demokrasi, proses bisa menjadi ro’in (pemimpin) pada masing-masing anggota umat.

Dalam pesantren itu misalnya kita belajar social approach. Bagaimana berteman dengan orang banyak, bagaimana tumbuh bareng-bareng, bagaimana mau’idhoh hasanah atau jaadilhum billati hiya ahsan. Pada setiap akhir sesi diselenggarakan evaluasi (“qiraah” kembali) dan para pemandu tidak memberitahukan apa pun, tidak menceramahi, tidak mengendalikan, tidak mengatur. Tujuannya: agar para santri terbiasa menjadi murid (orang yang berkehendak), bukan murod (orang yang dikehendaki); dan kelak mereka bisa melakukan hal yang sama di tengah jamaah muslimin di tempat mereka bergaul dan mengislamkan kebudayaan lingkungan mereka.

Qiraah dan roi’yah dilahani untuk berproses betul dalam manusia para santri. Baik qiraah terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap persoalan-persoalan lingkungan mereka, dari kebudayaan sehari-hari sampai politik besar. Tanpa mengerti bagaimana menjalani iqra ini maka kita menjadi tetap “jahiliah”.

Dan, kaum jahiliah tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam yughoyyiru maa biqoumin: kita tidak tahu akan mengubah apa, mengubah ke mana, dan bagaimana cara mengubah. Juga tanpa qiraah yang berada di shiroothol mustaqim, tidaklah sah kalau kita menerima kata-kata antum a’lamu bi umuuri dunyaakum dan kita menyia-nyiakan begitu banyak afalaa ta’qiluun afalaa tatafakkaruun, dan seterusnya. Secara keseluruhan kita juga tidak pernah mengerti, tidak tahu, dan tidak bisa menyelenggarakan pembebasan (nahyi munkar) serta pembangunan (amar ma’ruf).

Selama pesantren seni itu para santri menemukan betapa Islam, Al-Qur’an, dan Sunnah, karib dengan pekerjaan kesenian mereka. Betapa ayat Al-Qur’an seluruhnya berlaku kontekstual dan substansial bagi setiap seniman dan karya seni. Akan tetapi, yang terlibat pada “Malam Apresiasi” meskipun alhamdulillah berakhir dengan khusyuk — memang masih suatu keadaan saat muslimin masih melihat Islam sebagai sesuatu tersendiri, sementara kesenian dan kebudayaan adalah sesuatu yang lain. Itulah potret-potret pribadi pecah manusia dan budaya orang Islam.

Akan tetapi, situasi malam itu bisa saya maklumi kalau mengingat betapa kalangan pemimpin Islam kebanyakan masih acuh tak acuh terhadap keperluan menggarap kebudayaan. Akan tetapi, kalau itu berlangsung berkepanjangan, kita tak akan kaget kalau kelak melihat muslim-muslim yang berbakat dalam bidang-bidang kebudayaan pada akhirnya merasa tidak kerasan, sumpek, dan pergi — karena Allah, toh, bebas tempat.

Patangpuluhan, Ahad Wage 1 Mei 1988
(Dari buku: Sedang Tuhan Pun Cemburu)

Lainnya

Belajar Manusia Kepada Sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version