CakNun.com

Potensi Sesat

Ali Hasbullah
Waktu baca ± 3 menit
Image by Jens Johnsson from Pexels

Aku tidak suka berdebat, karena hampir pasti kalah, atau paling tidak kelihatan kalah. Apalagi berdebat dengan perempuan. Makhluk indah itu benar-benar berbakat menjadi jaksa penuntut umum, dan sekaligus hakim. Dalam perdebatan, mereka mampu secara spontan memunculkan fakta-fakta yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, yang benar tidaknya aku tidak dalam posisi untuk menyanggahnya karena mengingatnya saja aku sudah lupa. Mereka hapal di luar kepala semua kejadian, kesalahan apa yang dilakukan lawan debatnya, dan pasal apa yang bisa dikenakan kepadanya. Belum lagi emosi yang dilibatkan dalam penyampaian argumen, membuatku sama sekali tidak berkutik untuk membantah vonis yang dijatuhkannya.

Tetapi secara umum memang entah kenapa, di tengah-tengah perdebatan, seringkali aku mendapati diriku menemukan kebenaran dari apa yang diungkapkan lawan debatku, dan pada saat yang sama juga bisa melihat kelemahan di argumenku. Atau, kalaupun aku dalam posisi yang menang, sementara lawan debatku ngotot mempertahankan pendapatnya at all cost, aku kemudian memutuskan untuk diam dan mengakhiri perdebatan. Karena aku yakin, cara terbaik menghadapi orang bodoh yang tidak tahu kalau dia bodoh, dan apalagi kalau mereka mengeluarkan hinaan, cacian, bully, dan segala macam perkataan negatif dari mulutnya, adalah dengan meninggalkannya, tanpa perlu membalasnya sedikit pun. “Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil:10).

Aku kadang merasa sedih, karena dengan mindset ‘merasa mungkin salah’ seperti itu, aku menjadi terlihat peragu dan lemah. Aku tidak bisa menjadi pemimpin yang kuat bahkan dalam skala yang kecil. Aku kagum dengan dan ingin menjadi orang yang memegang teguh pendapatnya, dan yakin 100 persen bahwa dia berada dalam jalan kebenaran. Sepertinya menyenangkan untuk selalu merasa benar. Kalau perlu sedikit menyalah-nyalahkan orang yang berbeda pendapat karena dengan begitu aku telah menyampaikan kewajibanku menyampaikan kebenaran.

Tetapi apakah sikap mental seperti itu salah? Kita memohon minimal 17 kali sehari (dalam shalat ketika membaca surat Al-Fatihah) untuk diberikan petunjuk ke jalan kebenaran yang konsisten (shiratal mustaqim). Perjalanan hidup itu pasti melewati kelokan, tikungan, dan persimpangan. Jadi shiratal mustaqim harus dimaknai atau dibayangkan sebagai garis lurus secara prinsip dari awal ke ujung akhir kejadian atau sangkan paraning dumadi . Pada praktiknya dalam melalui jalan itu, kita harus berbelok-belok beradaptasi dengan situasi yang ada dan harus senantiasa waspada supaya tidak tersesat.

Oleh karena itu, bagaimana mungkin kemudian kita bisa merasa paling dan/atau selalu benar? Kita disuruh selalu meminta petunjuk, karena kita sangat berpotensi sesat. Kita berada di titik pusat salib. Kita mohon ditunjuki jalan menanjak vertikal ke atas menuju Ilahi, jalan orang-orang yang sudah diberikan nikmat. Bukan jalan orang yang menurun ke bawah menuju kebinasaan dan dimurkai. Dan juga bukan jalan orang-orang yang mengembara tanpa arah tujuan dalam garis horizontal kehidupan, jalan orang-orang yang tersesat (QS Al Fatihah: 6-7).

Dan siapakah orang yang telah diberikan petunjuk dan berada di atas jalan kebenaran? Hanya Allah yang tahu, tidak satu pun orang yang berhak mengklaim. “Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk” (QS Al An’am: 117)). Jadi jangan gampang menghakimi tentang sesat tidaknya seseorang.

Yang bisa kita lakukan adalah memperbesar peluang untuk menjadi orang yang diberi petunjuk dengan cara open minded, mau mendengarkan masukan, ide, pemikiran dari siapa saja, dan kemudian dengan akal sehatnya memilih yang terbaik di antaranya untuk diikuti. Allah memberi clue bahwa orang yang diberi petunjuk adalah orang yang “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat”. (QS. Az-Zumar:18). Di ayat sebelumnya (17) disebutkan bahwa orang-orang ini adalah yang menjauhi thaghut dan kembali kepada Allah. Jadi yang bisa mendengarkan dan mengambil yang terbaik hanyalah orang yang tidak menuhankan ego atau thaghut. Alias orang yang tidak merasa dan berperilaku paling benar sendiri.

Semua pendapat manusia, bahkan pun ulama, itu nisbi. Nisbi itu relatif, tergantung dinisbahkan kepada siapa atau apa. Yang Qath’i atau mutlak hanyalah pendapat Allah. Yang kita semua tidak akan pernah tahu persis seperti apa. Bagiku, yang pasti benar hanya Allah, Rasulullah, dan wahyu yang dititipkan kepadanya. Semua selain itu adalah relatif adanya, seperti halnya kecepatan setiap benda adalah relatif tergantung disandarkan kepada siapa yang mengobservasi. Hanya cahaya yang absolut kecepatannya.

Lainnya

Exit mobile version