Plonga-Plongo Alif Lam Mim
Kalau membaca “dzalikal Kitabu la raiba fihi hudan lil-muttaqin”, masih ada yang bergulir di kepala kita. Masih bisa disentuh, ditangkap, ditata pengertiannya. Tapi sebelumnya, ketika membaca “Alif Lam Miim” — kita plonga-plongo. Semua kita, ya yang pandai bahasa Arab atau yang buta bahasa Arab, yang terpelajar maupun yang tidak sekolah. Yang sarjana atau yang preman. Yang Ustadz atau Kiai atau Ulama bahkan Ulama Mufassir pun plonga-plongo. Kita Ummat Islam bertebaran di bumi, Allah melemparkan Alif Lam Mim di petak tanah sekitar kita. Dan kita semua, tanpa kecuali, tak punya mata untuk melihatnya, tak punya cara pandang untuk memahaminya, tak punya ilmu atau apapun yang bisa kita pakai untuk menerimanya sebagai informasi firman. Susahnya dulu tak ada juga sabahat Nabi yang bertanya kepada beliau Rasulullah Saw apa maksud atau makna Alf Lam Mim. Tiga huruf itu sampai ke kita yang buta dan plonga-plongo.
Di Ulangtahun Bangbang Wetan ke 14 di Rumah Maiyah Yogya, Kiai Muzzammil berkisah tentang seorang Madura penjual sate di Yogya yang bisa terhindar dari bahasa sangat besar yang menimpanya dan ia meyakini sebabnya: “Untung saya selalu berposisi Alif Lam Miim”.
Posisi Alif Lam Miim. Kuda-kuda Alif Lam Miim. Jurus Alif Lam Miim. Maqam Alif Lam Miim. Terserah apa yang dimaksudkannya, tetapi pokoknya Alif Lam Miim adalah suatu butiran makna dari Al-Qur`an yang bisa kita jadikan acuan psikologis, sandaran mental, atmosfer kejiwaan, kepercayaan diri atau apapun.
Dan kita semua juga tidak perlu punya parameter tentang harkat manusia, ukuran tentang mertabat manusia, rumus yang jelas tentang “ahsanu taqwim” manusia, sehingga kita ini dipimpin oleh Ketua yang plonga-plongo pun kita tidak merasa malu atau hancur harga diri. Ahli tafsir plonga-plongo terhadap Alif Lam Miim tidak masalah, bahkan menjadi pemimpin bangsa dan ummat manusia tapi plonga-plongo juga lazim-lazim saja.
Pada sejumlah narasi firman lainnya ada model informasi dari Allah misalnya “Alhaaqqatu malhaaqotu wama adroka mal haaaqqah”. Juga ada sejumlah kosakata ayat lain yang pakai model itu, yang Allah menerangkannya pada ayat berikutnya. Tetapi tidak ada “Alif lam miim, ma alif laam miim, wama adroka alif lam miim”. Kita ditaburi Alif Lam Mim tanpa pengetahuan dan ilmu, tanpa daya, buta sebuta-butanya. Belum lagi ada “Ya Sin”, “Qaf”, “Nun”, “Alif Lam Ra`”, “Kaf Ha Ya` ‘Ain Shad”.
Saya bertanya kepada sejumlah Ulama, Kiai, yang juga Mufassir, membaca teks sana sini, dan terhimpun jawaban berikut, yang mind-set berpikirnya adalah bahwa firman berupa huruf-huruf itu digolongkan sebagai ayat musytabihat, ayat yang samar, ambigu, ya ya tidak, tidak ya ya:
- Sebagian ulama menilai bahwa ayat mutasyabihat adalah nama surat atau cara dari Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan disampaikan pada ayat-ayat berikutnya. Sebab, segala sesuatu yang baru pasti akan menarik perhatian termasuk ayat mutasyabihat tersebut sebagai kosakata yang belum pernah didengar manusia sebelum Allah menurunkannya. (>> Ya Allah, ternyata Engkau repot caper alias cari perhatian).
- Ayat-ayat mutasyabihat sebagai penegas bahwa tidak mungkin ada satu pun manusia yang mampu menandingi keindahan Al-Qur’an. Sehingga bisa dikatakan ayat-ayat tersebut semacam tantangan kepada manusia bahwa untuk menirunya tidak mungkin ada yang sanggup baik dari redaksinya apalagi kandungannya. (Ya Allah, kelau Engkau menantang kami manusia yang dlaif dan faqir, pasti kalahlah kami).
- Ada pula yang berpandangan bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah kode rahasia dari Allah Swt bahwa hanya Dialah yang lebih mengetahui segala sesuatu. Sehingga dapat dikatakan, ayat ini semacam penegasan dari Allah bahwa semua ilmu pengetahuan datangnya dari Allah dan manusia tidak mungkin bisa menandingi apa yang diketahui-Nya. (>> Ya Allah kalau hanya Engkau yang maha mengetahui, dan manusia tidak sama sekali, lantas untuk apa Engkau firmankan itu kepada manusia yang mustahil memahaminya?).
- Ayat mutasyabihat menjadi informasi dari Allah tentang keterbatasan manusia terhadap ilmu serta menjadi keterangan dari Allah bahwa kemampuan manusia dalam memiliki ilmu tetap menyesuaikan level atau jenjangnya. (>> Ya Allah sedemikian dungunya manusia ciptaan-Mu ini, sehingga tidak mengerti bahwa ia dungu, sampai-sampai Engkau merasa perlu mendemonstrasikan kemahatahuan-Mu).
Sesudah plonga-plongo 14-15 abad, baru pada pergantian Abad 20-21 Maiyah menawarkan Revolusi Tadabbur, tawaran sikap kehambaan manusia di hadapan ka-Maha-an Allah Swt: “Ayat seperti Alif Lam Mim itu tidak untuk dipahami, tidak untuk dimengerti secara kognitif-intelektual, tidak untuk dirumuskan terjemahan, arti atau maknanya, tidak untuk ditafsirkan atau ditafsiri, melainkan ditadabburi”.
“Menafsirkan itu niscaya dan sangat utama, karena Allah sudah membekali manusia dengan alat yang namanya akal untuk berpikir. Maka mentadabburi bukan menolak tafsir, melainkan justru membuka ruang selebar-lebarnya kepada manusia untuk menafsirkan, tetapi dengan ikatan tadabbur. Tadabbur adalah kemerdekaan membaca, merespons, menghayati, mencintai, atau apapun yang dilakukan oleh manusia terhadap firman Allah, asalkan output-nya adalah ia menjadi lebih mendekat kepada Allah dan berbuat lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Allah. Prinsip tadabbur tidak terikat oleh kebenaran ilmiah tafsir, melainkan syarat peningkatan akhlaqul karimah para pelaku tadabbur.
Kalau kata Arab “tafsir” diadopsi resmi menjadi kosakata dalam bahasa Indonesia, kenapa “tadabbur” tidak sekalian ditransfer? Apalagi petunjuk dan perintah Allah di Al-Qur`an bukanlah menafsirkan, melainkan mentadabburi
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰ نَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَا لُهَا
A fa laa yatadabbaruunal-qur`aana am ‘alaa quluubin aqfaaluhaa
“Maka tidakkah mereka memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. 47: 24).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4: 82).
Perhatikan “yatadabbarun” di kedua ayat itu diterjemahkan menjadi “memperhatikan”. Kalau Anda mencari Kamus Arab-Indonesia atau sebaliknya, memperhatikan itu kata Arabnya “yubshiru”, “ya`buhu”, “yahtafilu”, “yusyrifu”, “ya’tabiru” dll tetapi tidak ada “yatadabbaru”. Terdapat semacam “kegamangan” pada para penerjemah atau penafsir Qur`an untuk bersikap “cespleng” dalam mengambil keputusan.
Contoh lain ismullah “Al-Khabir” selalu diterjemahkan “Yang Maha Mengetahui”, sama dengan “Al’Alim”, atau diberi kualitas “Yang Maha Mengetahui Segala yang tersembunyi” atau “Maha Mengetahui segala sesuatu secara amat teliti”. Terdapat kehati-hatian, kewaspadaan atau kekawatiran kalau menerjemahkan Al-Khabir menjadi Yang Maha Mengabarkan. Apa yang dikawatirkan pada peristiwa bahwa Allah Maha Mengabarkan, yang cara, jalan dan formula penginformasiannya maha tak terbatas. Bukankah Allah Maha Informatif, Maka Komunikatif dan Maha kreatif?
Apakah dikhawatirkan ummat akan mengimajikan Al-Khabir dengan membayangkan Allah adalah wartawan atau pemberi pengumuman dengan membawa corong pengeras suara di antara sesama manusia? Apakah manusia demikian bodohnya? Apakah manusia demikian “meterialistik”nya dalam menghayati kehadiran Allah. Kalau memang ada kecenderungan demikian, apakah tidak dibimbing, dipandu atau ditaburi informasi dengan kepandaian yang bijaksana?
Bukankah Allah memang Maha Mengabarkan kepada angin ke mana harus bertiup. Maha Mengabarkan kepada burung-burung ke mana harus terbang. Maha mengabarkan kepada gunung-gunung kapan bertugas untuk Meletus. Maha Mengabarkan kepada segala jenis hewan untuk menemukan makanannya, kepada segala tanam-tanamanan untuk tumbuh, menjadi bentuk dan menumbuhkan sel-sel warna warni?
Kecuali kepada manusia yang punya kecenderungan besar untuk merasa tidak butuh kabar dari Allah, karena lebih mengandalkan kemauannya sendiri, keinginan, ambisi dan nafsunya sendiri.
Di Maiyah kita tidak bernafsu untuk mengetahui atau mengilmui Alif Lam Miim. Di Maiyah kita mencintai dan memesrai Alif Lam Miim. Di Maiyah kita menikmati keagungan Allah melalui Alif Lam Miim. Di Maiyah kita mendayagunakan ketidaktahuan kita tentang Alif Lam Miim untuk mengkarimahkan akhlak kita, untuk melebarkan amal saleh kita, untuk bergerak mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Di Maiyah kita mentadabburi Alif Lam Miim untuk menyebarkan kebaikan, kamashlahatan dan keselamatan bersama. Di Maiyah kita melakukan Revolusi Tadabbur untuk mewujudkan “rahmatan lil’alamin”, tidak sekadar “rahmatan lim’alam”.